Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesuatu yang paling Diinginkan
Erick langsung pergi menuju ke kamar tamu yang saat ini katanya menjadi kamar Lalita. Dia hendak mengetuk kamar itu, tapi tangannya hanya menggantung di udara. Entah kenapa, dia merasa ragu untuk menemui istrinya itu di dalam sana, semacam ada dinding pembatas tak kasat mata yang kini Lalita bangun di antara mereka. Padahal, sebelumnya perempuan itulah yang terus berusaha untuk lengket padanya.
Urung mengetuk, tangan Erick pun beralih memutar knop pintu kamar tersebut. Ternyata tidak terkunci. Segera lelaki itu menyelinap masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintunya dengan sangat hati-hati. Suasana kamar terlihat temaram, namun Erick masih bisa melihat dengan jelas. Dipandanginya sekeliling kamar dengan perasaan yang kini dia pun tak mengerti seperti apa menjabarkannya.
Lalita terlihat sudah terlelap di atas tempat tidur. Sebagian barang-barang perempuan itu tampak sudah di tata di beberapa sudut kamar, tapi terlihat ada dua buah koper besar yang seakan sengaja disiapkan. Lalita tampak seperti orang yang akan bersiap pergi jauh.
Erick agak terkesiap dibuatnya. Hatinya semakin bertanya-tanya, apakah yang sebenarnya terjadi pada istrinya ini. Dia pun mendekati tempat tidur dan dan menatap dalam wajah Lalita yang saat ini tampak begitu damai. Mestinya dia merasa senang karena Lalita menjauh sengan sendirinya, tapi kenapa dia malah merasa tidak senang?
Karena tak mungkin membangunkan Lalita untuk meminta penjelasan padanya, Erick pun akhirnya keluar dari kamar tersebut dan kembali ke kamarnya yang berada di lantai atas. Dia segera membersihkan diri, lalu berbaring di atas tempat tidur dengan pikiran yang melayang entah kemana. Sebelumnya, setiap malam setelah membersihkan diri, Erick pasti akan cepat-cepat masuk ke ruang kerjanya dengan alasan ada yang mesti dia selesaikan segera, padahal hanya ingin menghindar dari Lalita.
Namun, sekarang saat Lalita sendiri yang memilih untuk pisah kamar, entah dengan alasan apa, Erick malah merasa tidak senang dan gelisah. Mestinya dia bahagia, kan? Terserah alasan apa yang mendasari perubahan sikap Lalita, yang penting perempuan itu tak lagi dekat-dekat dengannya. Bukahkah itu yang selalu dia inginkan selama dua tahun ini? Lalu kenapa sekarang dia malah merasa kalau itu bukanlah hal yang baik?
Karena kesal pada pikirannya sendiri, Erick pun mengguyar kepalanya beberapa kali. Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh lelaki itu jika ada masanya dia dibuat galau oleh Lalita, perempuan yang dia klaim sebagai penyebab hubungannya dengan Larisa kandas.
Malam semakin larut. Erick masih belum bisa memejamkan matanya karena terus terpikirkan pada Lalita. Baru saat waktu sudah menjelang subuh, dia pun berhasil memejamkan matanya. Hampir saja dia bangun kesiangan karena tak ada yang membangunkannya. Untung saja, sebelumnya dia masih sempat memasang alarm di ponselnya, jadi masih bisa bangun pagi, meski dengan kepala dan mata yang masih terasa berat.
Setelah menyegarkan diri dan berpenampilan rapi seperti biasa saat dia akan pergi ke kantor, Erick pun turun ke lantai bawah untuk sarapan di meja makan. Di sana tampak Lalita sudah duduk dan menikmati sarapannya sendirian.
Lalita hanya menoleh sekilas ke arah Erick, lalu kembali melanjutkan makan tanpa mengucapkan apapun. Untuk ke sekian kalinya Erick merasa heran dengan sikap yang Lalita tunjukkan. Dia pun duduk sembari mengamati istrinya itu lekat-lekat.
"Kenapa tiba-tiba pindah kamar?" tanya Erick kemudian membuka pembicaraan.
Lagi-lagi Lalita melirik sekilas ke arah lelaki itu.
"Ingin saja," sahut Lalita kemudian dengan santai.
"Tidak mungkin kamu tiba-tiba menjadi ingin pindah kamar begitu saja. Pasti ada penyebabnya, kan?" tanya Erick lagi.
"Penyebabnya?" ulang Lalita. "Oh, iya, ada. Aku merasa pengap di kamar itu, sulit bernafas. Makanya, aku memutuskan pindah ke kamar tamu karena di sana lebih lega."
Erick menatap Lalita tajam. Mau didengar dari segi manapun, alasan yang dilontarkan Lalita sangat tak masuk akal, mengingat kamar tamu memiliki ukuran luas yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kamar utama yang selama ini Lalita dan Erick tempati. Ada sesuatu yang sedang Lalita sembunyikan, Erick tahu itu. Tapi dia terlalu gengsi untuk bertanya.
"Kamu mau pergi kemana?" Erick kembali bertanya. Dia baru menyadari kalau penampilan Lalita saat ini terlihat seperti orang yang mau jalan keluar.
"Ada urusan," sahut Lalita, masih dengan nada santai dan tak acuh.
"Urusan apa?"
"Kamu tidak perlu tahu, yang jelas ini urusan penting."
Sekali lagi Erick membuang napas kasar. Entah mungkin sudah terbiasa dengan Lalita yang ramah dan lembut padanya, dia jadi merasa kesal sendiri dengan sikap Lalita yang sekarang.
"Kemarin sepertinya kamu juga pergi seharian dan pulang malam. Hari ini kamu juga mau begitu? Urusan penting apa yang membuatmu sampai harus pulang malam?" tanya Erick lagi dengan nada yang lebih menekan.
Bukannya merasa ciut, tanpa diduga, Lalita malah mengangkat wajahnya dan menatap Erick tajam.
"Kenapa kamu sibuk sekali bertanya? Bukankah selama ini kamu tidak pernah mau tahu aku pergi kemana? Bahkan, saat aku pernah tidak bisa pulang karena sebuah kecelakaan kecil yang membuatku harus ditahan di rumah sakit, kamu sama sekali tidak bertanya." Lalita menyahut dengan sarkas.
Erick terdiam sejenak. Dia tak menyangkal apa yang Lalita katakan karena semuanya benar. Selama ini, dia memang tak begitu peduli pada istrinya itu dan tak mau tahu apa yang sedang dia lakukan atau bahkan tak mau tahu apa yang terjadi padanya.
"Apa begitu caramu berbicara pada suamimu. Lita?" Erick akhirnya mengelak dengan kalimat keramat itu. Menyebutnya sebagai suami agar lebih mengintimidasi.
Namun, tanpa diduga, Lalita malah terkekeh mendengar pertanyaan yang Erick lontarkan padanya.
"Suami?" ulang Lalita setelah meredakan kekehannya.
Terang saja Erick terlihat mengerutkan keningnya.
"Kita memang sudah menikah sejak dua tahun yang lalu, Erick. Tapi sejak kapan memangnya kamu benar-benar menjadi suamiku?" Berganti Lalita yang bertanya, dengan nada yang sarkas tentunya.
"Apa maksudmu?" tanya Erick heran.
"Bukannya yang berusaha menjalani peran sebagai pasangan dengan sebaik mungkin itu hanya aku?" Lalita tersenyum miring.
Lagi-lagi Erick terdiam.
"Aku tidak mau mengungkit tentang sikap dan perlakuanmu selama ini padaku, Erick. Tanyakan pada dirimu sendiri, pernahkan kamu benar-benar menjadi suamiku selama dua tahun ini?"
Suasana hening sejenak karena Erick tak menanggapi keluhan Lalita terhadapnya.
"Lagipula, meskipun aku keluar, aku tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk. Hari ini juga aku mau keluar karena mau menyiapkan kado anniversary kita. Biarpun sudah lewat, tapi sepertinya belum terlalu terlambat. Aku akan memberikan hadiah yang paling kamu inginkan," ujar Lalita lagi.
"Tahu apa kamu dengan sesuatu yang paling aku inginkan?" tanya Erick dengan nada yang terdengar meremehkan.
"Aku tahu. Sebelumnya, aku memang tidak tahu. Tapi sekarang aku sangat tahu. Jangan khawatir, aku akan segera memberikannya padamu sebagai hadiah anniversary kita. Tunggu saja. Kamu pasti akan senang menerimanya." Lalita menyahut dengan santai, lalu melanjutkan sarapannya.
Bersambung ....
Mak othor kereeen /Good//Good//Good//Good//Good/