~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersikap Layaknya Orang Asing
Jingga dan Fajar, menganga mendapat pertanyaan seperti itu dari orang tua mereka, sejurus kemudian mata mereka berdua saling bertemu untuk beebrapa saat.
“Ehemmmm”.
Sebuah deheman dari Pak Angga, kembali membuat pasangan pengantin baru ini gelagapan salah tingkah.
“Kenapa Mama bertanya hal semacam itu pada mereka? Lihat wajah menantu sudah merah padam seperti kepiting rebus”. ledek Pak Angga dengan tersenyum geli memandang menantunya.
Sementara Fajar, ia masih mempertahankan wajahnya yang cool, ia tak tersenyum sedikitpun meski Mamanya menggoda.
“Tentu saja tidur mereka sangat nyenyak Pah, bukankah semalam menantu tertidur dengan cukup pulas dalam dekapan anak kita”.
Uhuk-uhuk....
Fajar menjeda sarapannya, ia tersedak kala mendengar ucapan Mamanya.
“Ups maaf”. Satu tangan Bu Nadin terangkat, untuk menutup mulutnya.
“Ah sepertinya aku harus sering membelikan baju-baju baru untuk menantu, juga membawanya untuk pergi perawatan”. Bu Nadin kembali tersenyum geli, kala melihat manantu dan anaknyya.
“Apa jadwalku hari ini?”, Tanya Fajar pada Reza, asistean pribadi yang baru saja memasuki ruang makan.
Reza mulai membacakan rincian jadwal Fajar hari ini, mulai dari berangkat ke kantor hingga menjelang malam.
Jingga yang mendengar saja sudah merasakan capek. Ia mengacuhkan percakapan suaminya dan Reza, dan kembali menyibukan diri dengan menghabiskan sarapan yang ada di hadapannya.
“Baiklah, aku berangkat dulu”. Pamitnya dengan dingin dan menyudahi sarapan paginya.
“Jingga, apa rencanamu hari ini nak?”, suatu pertanyaan kembali terucap oleh Pak Angga.
“Hari ini saya akan bekerja Pa”.
“Kamu berangkat jam berapa?”.
“Setelah ini Pa”.
“Fajar”. Teriak Pak Angga yang membuat langkah kaki Fajar, terhenti ketika menuju pintu keluar rumah mereka. Ia berhenti tanpa menoleh ke sumber suara.
“Antarkan istrimu terlebih dahulu”.
“Tidak Pa, saya bisa naik gojek nanti”.
“Tidak bisa, beranglatlah dengan suamimu sekarang”. Entah mengapa setiap perintah yang keluar dari Pak Angga, dalam rumah itu bagaikan suatu titah yang tak dapat di elak.
Jingga menggangukan kepalanya, kini ia kembali naik ke kamarnya untuk mengambil tas ranselnya.
Seperti biasa keduanya akan berangkat bersama dalam keheningan.
***
Resto Tempat Jingga bekerja
Waktu menunjukan pukul dua belas siang, sinar matahari tepat berada di atas kepala, sorotnya yang memanas kian menambah buliran keringat di tubuh setiap insan. Panas dan terik begitulah kira-kira, suasana siang hari di Surabaya. Meskipun sudah di rancang menggunakan nuansa alam, namun tidak dapat di pungkiri panas matahari masih menyengat di luar sana.
Jingga sedikit merenggangkan tangannya, membelokan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Entah sudah berapa ratus piring yang ia terbangkan hari ini untuk menjamu padatnya tamu. Ia benar-benar merasakan lelah yang luar biasa.
“Ternyata warga surabaya banyak yang kaya ya”. ucap Jingga dalam hati, kala melihat deretan pesananan setiap pengunjung. Hampir tidak ada yang memesan satu macam menu, mereka akan membeli berbagai macam menu yang ada di Resto.
“Jingga, tolong antarkan makanan ini ke ruang VIP no 212”, perintah salah satu senior dengan menunjuk deretan menu yang telah siap untuk di sajikan.
Jingga mengelap sejenak deretan peluh yang hadir di wajahnya, menyekanya dengan lembut menggunakan tangan. Merapikan jilbabnya yang sedikit bergeser karena terlalu banyak bergerak.
“Ah bailkah sepertinya sudah siap”. Kini tangannya terulur meraih nampan yang sudah berisi aneka menu makanan. Kakinya melangkah dengan cukup hati-hati agar tak terulang peristiwa awal ia bekerja dulu.
“Permisi”. Sapanya lirih saat hendak memasuki ruangan yang sudah di tunjuk.
“Silahkan masuk”, suara wanita mempersilahkan untuk masuk.
Dengan cukup santai dan percaya diri, Jingga melangkahkan kakinya untuk memasuki ruang VIP itu, ia meletakkan satu persatu menu yang telah di pesan tanpa melihat siapa yang memesannya.
“Sayang mkanannya sudah datang”. Ucap wanita itu kala Fajar baru memasuki ruang VIP. Reflek Jingga membalikan badannya melihat siapa yang datang.
Deg.
“Tuan Fajar”, ucapnya lirih, sangat lirih, hingga tak dapat terdengar oleh siapapun yang ada di situ.
Maura datang menghampiri Fajar, ia meraih tangan Fajar dan membawanya duduk di kursi yang ada. Tangannya kembali terulur membelai lembut wajah Fajar dan berakhir dengan memberikan sekilas kecupan.
Jingga menghela nafas panjang, ia mencoba biasa-biasa saja. Bukankah perjanjian di antara mereka jika di luar rumah, mereka adalah dua orang asing.
Fajar tampak kikuk dengan keadaan yang ada, ia mencoba melerai lembut pelukan Maura.
“Aku kangen sayang”, rancaunya dengan mengerutkan bibirnya.
Fajar masih diam saja, enggan memberikan tanggapannya.
“Pesanan sudah siap semuanya, jika membutuhkan sesuatu silahkan panggil kami”, pamit Jingga dengan sangat ramah dan mencoba tersenyum.
.
.
.
Satu jam berlalu, tibalah saat istrihata pergantian bagi karywan. Jingga mulai duduk di taman sebelah belakang Resto. Ia kembali merenggangkan otot-ototnya yang kaku setelah berjalan ke sana ke mari mengantarkan makan. Ia duduk dengan bersandar di salah satu pohon. Bulir-bulir keringat hinggap di keningnya, ia kembali menyeka wajahnya dengan ujung jilbab, lalu mengibas-ibaskan ujung jilbab itu sebagai kipas. Wajah cantiknya masih terpancar sempurna, meski tanpa polesan make up sedikitpun.
“Makanlah kamu pasti lapar sekali”. Sebuah kotak makan lengkap dengan minumannya, terulur tepat di hadapannya.
Jingga mendongok ke atas, menatap si pemberi makan tersebut. Laki-laki itu tersenyum manis dan sopan seakan penuh arti.
“Tuan Krisna”, ucap Jingga dalam hati saat prtama kali mentap wajahnya.
“Makanlah dulu, aku tahu kamu pasti lapar dan lelah”.
“Trimakasih Tuan”. Jingga meraih nasi kotak itu dan meletakkan di pangkuannya.
“Stop jangan panggil aku Tuan, aku sangat risih dengan panggilan itu, panggil saja aku Mas Krisna seperti karyawan lainnya”, perintahnya dengan memberikan senyum manis.
“Bukannya yang lain manggilnya pak ya”. Desis Jingga dalam hati, yang kemudian mengnanggukan kepalanya.
Krisna enggan untuk berlalu setelah memberikan kontak makan itu, ia memilih untuk duduk di sebelah Jingga dan menemani ia makan. Krisna memandang lekat wajah Jingga, dalam jarak yang paling dekat.
“Sepertinya wajahmu tidak asing, bahkan aku pernah melihatmu saat menghadiri pesta pernikahan semalam”.
Uhuk...uhuk...
Jingga tersedak, ia takut jika Krisna mengenalinya.
“Yang benar saja Pak, mana mungkin saya menghadiri undangan pesta pernikahan anak pengusaha, kecuali kalau bertugas sebagai pelayan di sana”. Jawab Jingga berusaha mengelak dengan memberikan senyuman kecil.
Krisna menganggukkan kepalanya, seakan setuju dengan jawaban dan pemikiran Jingga.
“Benar juga yang di katakan Jingga, bukankah wanita kemari memakai perhiasan dan baju yang mahal, tapi kenapa wajah mereka mirip sekali?”, ucapnya dalam hati.
Tanpa mereka sadari, Fajar melihat interaksi antara Jingga dan juga Krisna di Resto itu, mendadak Fajar merasakan kesal dengan pemandangan yang merusak matanya. Fajar tanpa sengaja mencengkram erat tangan Maura dan lekas membawanya keluar dari Resto. Sementara Maura, ia begitu tercengang dengan perlakuan Fajar, tidak biasanya ia bersikap seperti ini.
.
.
.
.
.
Mohon dukungannya teman-teman jangan lupa like, komen dan subscribe 😊