Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5.
Akhirnya perang pun pecah malam itu.
Mereka bertengkar selama setengah jam. Hingga akhinya pertengkaran itu berhenti karena pak Wahab memilih untuk menghindar dan berlalu pergi dengan setengah berlari.
Pertengkaran malam ini adalah awal dari ketidakharmonisan hubungan mereka selanjutnya.
Dalam suatu rumah tangga jika sudah dijalani dengan ketidakjujuran maka apa bila ketidakjujuran itu terbongkar siap-siap lah untuk menanggung akibatnya.
Gara-gara perselingkuhan pak Wahab yang terbongkar, hubungan mereka menjadi renggang.
Perhatian yang seharusnya mereka beri kepada Mirna menjadi saling mencari kesalahan dan membongkar aib masing-masing.
Mirna menjadi tambah stres!
Masalahnya belum kelar, sekarang ditambah lagi dengan masalah percekcokan kedua orang tuanya. Suasana rumah ini mulai menjadi bak neraka baginya.
Mirna kembali muntah. Kali ini hanya air yang keluar. Rasanya pahit sekali.
Biasanya tiap malam mamanya akan datang menjenguknya. Tapi malam ini tidak sama sekali.
Mirna menggeleng lemah. Dia memejamkan matanya berusaha untuk tidur. Tapi sulit.
Karena perutnya perih. Lapar.
Dipaksa makan masakan bik Esah pembantu rumahnya, baru sesuap akhirnya keluar lagi.
Mirna hanya bisa menangis.
Apakah ini hukuman akibat dosa yang dia lakukan?
Mirna sesenggukan!
Dia sangat menyesal. Jika waktu bisa diputar kembali, maka dia tak kan pernah melakukan kebod*han ini. Akibat ingin membuktikan kehebatan diri sendiri yang berujung petaka.
Tak ada obat untuk penyesalan. Tak ada penyesalan di muka. Penyesalan itu terjadi jika sesuatu yang tak kita inginkan sudah terjadi.
...****************...
Mumu sedang mempraktekkan cara mengobati penyakit dengan menyucuk titik-titik akupuntur menggunakan serangkaian jarum perak.
Hal ini sudah ia lakukan selama tiga bulan tanpa kenal lelah sehingga ia semakin mahir dalam mengenali letak titik akupuntur dan sangat lihai dalam memainkan jarum perak tersebut.
Tak jauh darinya terlihat seorang bapak tua yang menggunakan pakaian serba putih dan sorban putih tampak mengangguk-angguk dan tersenyum melihat hasil karya Mumu.
Senyumnya merekah. Nampak keikhlasan dan kedamaian di wajah yang mulai keriput tersebut.
Mereka sedang berada di sebuah Musholla yang terbuat dari papan. Musholla tersebut dikelilingi berbagai pepohonan yang membuat udara tetap sejuk dan asri.
Lima puluh meter dari Musholla itu mengalir air dari sebuah sungai yang sangat panjang.
"Kita akhiri latihan hari ini, Nak." Terdengar suara tua yang menenangkan hati dari pria tua itu.
"Insya Allah besok ba'da Subuh kita lanjutkan belajar ilmu pengobatan dengan cara melalui do'a dan tenaga dalam.
Mumu menganggukkan kepalanya, "Terima kasih atas kesempatan dan ilmu yang datuk ajarkan kepada saya, Tuk."
Pria tua itu hanya tersenyum. Sambil mengelus janggutnya yang memutih berkatalah dia, "Pada hakikatnya semua ilmu berasal dari Allah. Saya hanya sekadar perantara saja. Asalkan kamu belajar dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan ilmu ini di jalan kebaikan, itu sudah merupakan anugrah."
Jangan lupa untuk terus mendawamkan metode pernafasan yang telah saya ajarkan! Ilmu ini akan lebih berfaedah jika dipraktekkan dengan cara pernafasan tersebut."
"Baik, Tuk."
"Sekarang pulanglah! Sudah hampir masuk waktu sholat."
Pandangan Mumu mulai terasa kabur. Ia seperti melewati lorong dan waktu. Cepat sekali. Membuat kepalanya jadi pusing dan nafasnya sesak. Tapi untunglah perasaan itu tidak berlangsung lama.
Ketika Mumu bisa menghirup nafas dengan lancar, ia segera membuka matanya dan langsung melihat sekelilingnya. Ternyata ia berada di ruangan tempat tinggalnya bekas gudang buku.
Ternyata ia hanya mimpi!
Sudah sering ia mimpi seperti itu. Tapi biasanya ketika bangun tidur, ingatannya hanya samar-samar saja terhadap hasil mimpinya. Baru kali ini ia merasakan mimpinya sangat jelas. Seolah-olah memang ia mengalami langsung.
Mumu melihat jam. Ternyata sudah jam lima pagi. Udara terasa dingin. Di luar sana berkumandang suara azan.
Mumu merasakan hatinya tergerak untuk sholat. Perasaan itu sangat kuat.
Ini belum pernah terjadi! Apakah ini hidayah?
Tanpa menunda waktu lagi, Mumu segera menuju kamar mandi.
Waktu berlalu. Masih dalam keadaan duduk sehabis sholat subuh. Mumu penasaran ingin mempraktekkan metode pernafasan yang diajarkan oleh pria tua dalam mimpinya. Metode pernafasan tersebut terpatri kuat dalam fikirannya sehingga Mumu bisa mempraktekkan dengan mudah.
Mumu menarik nafas dengan perlahan melalui hidung dan menahannya sebentar di perut lalu pelan-pelan melepas nafasnya dan mengeluarkan melalui mulut. Terus diulang-ulang. Tanpa terasa sepuluh menit berlalu.
Mumu menyudahi latihan pernafasannya.
Ia tak tahu apakah metode pernafasan itu memang bermanfaat atau tidak. Tapi yang jelas Mumu merasakan seolah-olah dirinya menjadi lebih tenang. Fikirannya menjadi lebih terang. Ada rasa kepercayaan diri yang tumbuh dalam hatinya.
Mumu mulai bersiap-siap menuju ke rumah pak Wahab, tak lupa ia memasukkan buku pengobatan tradisionalnya.
Ia yakin karena membaca buku ini lah yang membawanya ke mimpi aneh tersebut.
Kelihatannya buku ini tidak sesederhana kelihatannya. Sehingga Mumu memutuskan tidak akan meninggalkan buku tersebut kemana pun ia pergi.
Cahaya mentari pagi menyambut Mumu ketika ia menyusuri jalanan menuju rumah pak Wahab.
Terasa hangat dan menyegarkan.
Mumu sudah mulai terbiasa mengedarai motor. Caranya tidaklah sekaku dulu. Paling tidak ia sudah bisa mengendalikan tarikan gas dan rem.
Rumah pak Wahab masih seperti yang dulu. Hanya saja kelihatan sepi. Pintunya pun masih tertutup rapat.
Mumu menekan bel. Tak lama kemudian muncul seorang wanita berjiwa keibuan berusia 47 tahun yang ternyata bernama Bik Esah pembantu rumah tangga di sini.
"Bapak ada, Buk?" Tanya Mumu sambil tersenyum.
"Bapak lagi keluar, Nak. Silahkan masuk! Sudah ditunggu Ibuk di ruang tamu."
"Terima kasih, Buk." Mumu langsung menuju ruang tamu. Sedangkan Bik Esah kembali ke dapur melanjutkan aktivitasnya.
"Silahkan duduk, Mumu!" Suara Buk Fatimah terdengar serak. Matanya sembab seperti habis menangis.
"Iya, Buk." Mumu langsung duduk. Baru sekarang Mumu menyadari bahwa sikapnya lebih tenang dan tidak gugup ketika bertemu buk Fatimah. Sangat berbeda saat pertama kali bertemu. Apa mungkin karena sudah merasa kenal? Mumu menepis dugaannya.
"Semalam Bapak memanggil saya, kira-kira ada apa ya, Buk?"
"Anak saya Mirna sedang sakit tak mau makan, ini sebenarnya karena proses kehamilannya. Jadi nanti tolong kamu bawa dia ke klinik dokter kandungan."
"Tapi, Buk..." Mumu tidak menyangka jika itu tugas yang harus dilaksanakannya. "Apa Kak Mirna mau jika saya yang membawanya? Walau bagaimana pun kami tidak saling kenal."
"Dia pasti mau. Apa lagi kondisinya sekarang sangat lemah karena tak mau makan." Ujar buk Fatimah dengan sedih.
Melihat sikap buk Fatimah, Mumu tak berani menolak, sebagai gantinya ia bertanya, Mana kak Mirna sekarang, Buk? Bolehkah saya melihatnya?"
"Ayo kita ke kamarnya!" Buk Fatimah bangkit dan berjalan menuju kamar Mirna sedangkan Mumu mengekorinya di belakang.
Setelah mengetuk pintu kamar, mereka pun masuk. Betapa terkejutnya Mumu melihat kondisi Mirna.