Rama Abimana, seorang pengusaha mudah yang di khianati oleh tunangannya sendiri. Dia dengan sengaja berselingkuh dengan sekretarisnya karena alasan yang tak masuk akal.
Hingga akhirnya dia memutuskan untuk membalas dendam dengan menikahi seorang wanita secepatnya.
Siapakah wanita yang beruntung di nikahi oleh seorang Rama Abimana?
Seorang pengusaha muda terkaya sekaligus pewaris tunggal perusahaan besar Abimana Corporation.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rishalin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
"Kalian tinggal berdua dirumah sebesar ini?" Darren menatap sekeliling setelah tiba halaman rumah Rama.
"Iya, tapi sebentar lagi rumah ini akan ramai dengan tawa anak kecil." Rama mengusap lembut perut Syarin dihadapan Darren.
"Jadi Istrimu sedang hamil? Pantas saja perutnya sedikit buncit." Darren berkata tanpa menoleh dan tetap fokus mengagumi luasnya rumah itu.
"Dia kok tidak sopan sekali sih." Syarin mengerucutkan bibirnya saat Darren mengatakan kalau perutnya buncit.
"Sudah tidak perlu di masukan kehati, maklum dia lama diluar negri tanpa pengawasan orang tua. Dia pasti sudah sedikit terpengaruh dengan budaya disana." Rama mengusap pelan bahu Syarin lalu menggiringnya menyusul Darren yang sudah melangkah masuk lebih dulu.
"Aku juga mau beli rumah sebesar ini setelah harta peninggalan Ayah sudah menjadi atas namaku." Darren duduk disofa dengan menaikan satu kakinya keatas lutut.
"Aku kekamar duluan ya." Syarin hanya mendelik malas menatap Darren yang bertindak kurang sopan lalu segera menuju lantai atas. "Semua keluarga Suamiku memang tidak ada waras ternyata." Syarin bergumam sambil menggelengkan kepalanya.
Sementara Rama kini ikut duduk disamping Darren.
"Sepertinya Istrimu kurang suka dengan kehadiranku disini?" Darren merasa tidak enak setelah melihat lirikan Syarin tadi.
"Namanya juga perempuan sedang hamil, memang suka agak sensitif. Dia hanya kurang suka, menurutnya kamu bertindak kurang sopan." Rama mengukir senyum saat menatap punggung Istrinya yang kini menghilang dibalik pintu kamar.
"Ahh iya, sorry. Aku lupa kalau budaya disini masih kuno." Darren dengan cepat menurunkan sebelah kakinya.
"Santai saja, aku tahu kalau kamu masih terbiasa dengan budayamu disana." Rama meraih remote TV lalu menyalakannya.
"Kalau kalian kurang nyaman dengan kehadiranku, aku bisa menginap dihotel saja."
"Aku kan sudah bilang santai saja, apalagi disini juga ada banyak kamar kosong, untuk apa repot-repot menginap dihotel. Jadi apa langkahmu selanjutnya?" Rama mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Besok aku akan mengunjungi restoran pusat, aku ingin melihat apa manajer disana menjalankan tugasnya dengan baik." kali ini Darren lebih memilih menyandarkan tubuhnya.
"Langkah awal yang bagus, semoga restoran berjalan dengan lebih baik setelah berada ditangan kamu." Rama taju betul jika manager yang sekarang terkadang memakai uang penghasilan resto untuk keperluan pribadi karena ia mengenal baik siapa orang itu.
"Ya semoga, aku sudah belajar banyak tentang mengelola usaha disana. Semoga saja perjuanganku menimba ilmu bisa bermanfaat disini." Darren mendongakan kepalanya menatap langit-langit.
"Ya, aku doakan yang terbaik untuk kamu. Kamu istirahat dulu gih, pasti cape setelah perjalanan jauh. Kamu pilih sendiri saja kamar yang menurut kamu nyaman."
"Kalau nyamannya dikamar kamu, bagaimana." Darren menoleh kearah Rama dengan senyum menyeringai.
"Boleh saja, kalau kamu ingin nyawamu menghilang hari ini juga." Rama menyalangkan tatapan dingin namun tampak menyeramkan.
"Galak banget sih! Sayang banget ya sama Istrinya?" Ucap Darren masih dengan candanya.
"Ya iyalah, kalau tidak sayang, mana mungkin dibuat bunting." keduanya pun tertawa bersama.
Selesai dengan candanya Darren memilih kamar dipojok lantai bawah, ia tidak ingin terganggu dengan permainan Rama dan Istrinya jika memilih kamar diatas, karena disana hanya tersedia dua kamar besar yang berdampingan.
Setibanya dikamar Darren segera membersihkan diri, deretan roti sobek yang terbalut dengan kulit putih bersih terlihat seksi kala dirinya mengguyur tubuh dibawah shower.
Memiliki wajah yang tampan, tubuh yang bagus dan juga kekayaan yang melimpah, segala yang dimiliki Darren adalah anugrah terindah yang diberikan Tuhan.
Tak heran jika banyak kalangan kaum wanita sosialita yang mengincarnya, karena Darren adalah calon suami idaman setiap wanita.
Selesai membersihkan diri Darren segera membuka lemari pakaian, disana sudah tersusun rapi deretan baju yang sudah disiapkan pelayan Rama sebelumnya.
Darren meraih satu stel piyama berwarna biru tua lalu memakainya, merebahkan diri atas kasur dengan tatapan kosong.
Lelah selama menempuh perjalanan jauh membuatnya terlelap lebih cepat.
"Kemana perginya saudara anehmu itu?" Tanya Syarin disela mengunyah makanannya.
"Saudara aneh?" Rama mengangkat sebelah alisnya.
"Si Durren itu loh, yang tadi kita jemput dibandara"
"Darren Sayang, bukan Durren." jawab Rama penuh penakan.
"Ya siapapun itu lah, jujur saja aku kurang suka padanya."
"Karena tadi dia bilang kamu buncit? Kan memang benar kamu buncit, namanya juga Ibu hamil." jawab Rama yang seolah membela Darren.
"Kamu mau ikut-ikutan aku benci juga?" Syarin berkata dengan mata yang hampir keluar seluruhnya.
"Iya.. iya maaf, mungkin dia sudah tidur dikamarnya, dia pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh." Rama menundukan pandangannya setelah ditatap tajam oleh sang Istri.
Rama yang arogan, galak dan sombong tidak ada artinya dimata Syarin, dihadapan Syarin Rama hanya seorang Suami yang penyayang dan penurut.
"Jadi dia akan tinggal disini?" Syarin berkata sambil kembali menyuapkan makanan kemulutnya.
"Hanya sementara, sampai semua harta warisannya dibalik nama atas nama Darren."
"Warisan?" Syarin yang belum tahu apa-apa sedikit mengerutkan dahinya.
Akhirnya Rama menceritakan asal-usul Darren yang ditanggapi oleh Syarin dengan anggukan kepala beberapa kali.
"Oh jadi dia anak yang malang ternyata, pantas saja kelakukannya seperti itu." Syarin sedikit mencebikan bibirnya.
"Kenapa kamu terlihat benci sekali padanya? Padahal menurutku dia tampan loh, kaya lagi, masa kamu tidak ada rasa tertarik sedikit pun padanya?" Rama menatap heran Istrinya itu.
"Memang harus banget ya aku tertarik padanya karena dia tampan? Dihadapanku ada pria yang menurutku lebih tampan darinya, dan juga lebih kaya." Syarin mengeluarkan kata-kata itu begitu saja tapi berhasil mengukir senyum di bibir Rama.
"Ternyata aku tidak salah memilih Istri." Rama mencubit gemas pipi Syarin.
"Ihh.. apaan sih, lebay deh! Memang kamu pikir aku tipe perempuan yang hanya memandang fisik dan materi? Maaf aku bukan wanita seperti itu. Bisa dinikahi oleh kamu saja, aku menganggapnya kejatuhan durian dari langit, meskipun awalnya terasa sakit, tapi kalau kita buka, isinya terasa manis." Syarin menggusuk pipinya yang terasa berdenyut setelah dicubit Rama.
"Ternyata Istriku ini pandai juga merangkai kata-kata." Rama kembali mencubit gemas pipi yang satunya.
"Gini-gini juga dulu aku mantan penulis tahu, sebelum kamu menganggapku ada." apa yang di ucapkan Syarin memang selalu bisa menjadi sebuah tamparan keras bagi Rama.
Selesai makan malam mereka berdua menghabiskan waktu sejenak diruang TV lalu segera kembali kekamar setelah Rama melihat Syarin sudah menguap beberapa kali.
Setibanya dikamar Syarin segera berbaring disamping Rama dengan tangannya yang dijadikan sebagai bantal.
Semenjak hamil kini Syarin bersikap lebih manja, setiap malam Syarin baru bisa tertidur setelah menyelusupkan wajahnya disela ketiak Rama.
Aroma maskulin yang menyeruak dari sana seolah bisa memanjakan hidung Syarin dan membuatnya terlelap dengan tenang.
***
Hari kembali berganti dengan cepat seiring jarum jam yang terus berputar tanpa henti.
Sesuai dengan rencana kemarin, hari ini Darren akan mengunjungi restoran pusat untuk memantau kinerja manager yang selama ini memegang kendali atas semua cabang restoran milik Ayahnya.
Darren berangkat kesana dengan mengendarai salah satu mobil mewah milik Rama, sebuah mobil sport berwarna merah dengan atap yang terbuka.
Setibanya diparkiran restoran banyak mata yang menatap kedatangan Darren, seorang pria tampan dengan mobil mewah.
Beberapa wanita bahkan menatapnya tanpa berkedip setelah Darren melepas kacamata hitam yang sejak tadi membingkai mata indahnya, sepasang mata dengan bulu mata lentik dan bola mata berwarna kecoklatan.
Tubuh tinggi tegap itu kini melangkah memasuki restoran mewah milik mediang Ayahnya dengan beberapa pasang mata yang terus mengikuti langkah Darren.
"Permisi Mbak? Apa Pak Managernya sudah datang?" Darren langsung bertanya setelah tiba dimeja kasir.
"Maaf sekali Pak, kebetulan Manager kami belum datang, mungkin masih sedang dalam..., ah itu dia beliau sudah datang." Wanita kasir itu menggantung kalimatnya lalu menunjuk seorang pria yang tengah melenggang santai dari arah pintu.
"Terlabat sekali dia datang." Darren melirik jam tangannya yang kini sudah menunjukan pukul 10:15.
"Selamat datang Pak Darren, kenapa Anda tidak mengabari saya kalau hendak pulang dari luar negeri, jika tahu mungkin saya akan menjemput Anda dibandara." Pria tadi segera berlari kecil setelah menyadari kehadiran Darren.
"Tidak perlu repot-repot, saya dijemput saudara saya kemarin. Kenapa Anda baru datang jam segini? Seharusnya sebagai seorang Manager Anda datang lebih dulu dibanding karyawan Anda." Darren menatap tajam pria paruh baya yang kini tengah berdiri dihadapanya.
"Iya maaf Pak, tadi jalanan sedikit macet." jawab pria itu beralasan.
"Basi." Gumam Darren pelan. "Mari kita keruangan Anda, saya ingin melihat data keuangan selama setahun terakhir."
"Baik Pak." pria itu mulai terlihat berkeringat setelah Darren mengakatakan data keuangan.
Setibanya diruangan, Darren mengedarkan pandangannya menatap sekeliling, ruangan tersebut lebih pantas menjadi kamar hotel dibanding ruang kerja.
Pria tadi segera menyodorkan sebuah laptop diatas meja dengan tampilan aplikasi berbasis data yang tertera pada layar.
Dahi Darren terus mengernyit ketika dirinya terus menggulir aplikasi tersebut, banyak sekali data kecurangan ia temukan disana.
Mulai dari harga bahan masakan yang tidak masuk akal, bahkan pengeluaran kantong plastik pun terbilang cukup fantastis.
Sedangkan pria dibelakangnya semakin berkeringat dingin sambil terus memantau pergerakan Darren.
*****
*****
jadi penisirin.