NovelToon NovelToon
Pria Pilihan Sang Perawat

Pria Pilihan Sang Perawat

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Tamat / Nikahkontrak / Cintamanis
Popularitas:476.5k
Nilai: 4.9
Nama Author: SHIRLI

Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.

Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan tak terduga

Sembari melangkah, tangan Amara juga bekerja mengetikkan pesan pada Dokter Khanza untuk memberi tahukan hal ini. Begitu juga pada sopir agar menunggu mereka di lobi.

Namun saat mendongak, ternyata dirinya sudah jauh tertinggal dari Dimas. Sehingga membuatnya kembali harus berlari agar bisa mencapai sisi lelaki itu.

"Tuan, saya harus selesaikan pembayaran perawatan anda, bagaimana kalau Tuan duduk di sofa dulu?" tanya Amara saat mereka sampai di depan resepsionis.

Meski malas, namun Dimas mengikuti perkataan Amara dan kemudian duduk di sofa ruang tunggu rumah sakit itu.

"Jangan lama-lama. Kepala gue pusing." Dimas berpesan dengan nada datar tanpa menatap lawan yang ia ajak bicara.

"Ya kalau masih pusing kenapa malah minta pulang, Tuan?"

"Kan ada elo!" Dimas menatap tajam kearah Amara penuh peringatan. "Lo mau lari dari tanggung jawab dengan bawa gue kesini, kan?!"

Amara menggeleng cepat. "Tidak Tuan, bukan begitu!"

Dimas berdecih sembari membuang muka. Namun ketika menyadari Amara belum beranjak juga, ia pun kembali menatap gadis itu dengan wajah kesal.

"Buruan bayar! Lo mau bikin gue pingsan lagi!"

"Tidak Tuan, saya permisi." Amara membungkuk sopan lalu berbalik badan dan berjalan menuju resepsionis menghampiri teman-temannya yang sedang bertugas disana. Sembari menyelesaikan pembayaran, ia pun pamit pada teman-temannya.

Namun bukannya langsung menghampiri Dimas, gadis itu justru mengambil kursi roda lalu mendorongnya menuju tempat Dimas yang duduk di sana.

"Tuan, silahkan duduk disini," ucap Amara dengan nada perintah.

"O-gah!" Tolak Dimas dengan penuh penekanan sembari bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan Amara. Gadis itu memberengut dan berdecak kesal, dengan pandangan mengawasi langkah Dimas yang menjauh.

Amara lantas mendorong kursi roda itu kembali ke tempatnya, sebelum kemudian setengah berlari menyusul Dimas yang terlihat sudah berada di lobi.

Saat dilihatnya Dimas tengah meringis sembari memegangi kepalanya, Amara terlihat begitu khawatir. Gadis itu segera berlari mendekat Dimas, lantas berjongkok untuk mengimbangi Dimas yang terduduk di tangga lobi.

"Tuan, anda baik-baik saja?" Amara menyentuh kepala Dimas dengan hati-hati. Diamatinya Dimas dengan penuh kekhawatiran.

"Jangan pegang-pegang!" bentak Dimas sembari mendorong tubuh Amara dengan kuat hingga gadis itu terjengkang ke belakang.

Dimas merasakan pusing yang teramat hingga membuatnya tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Entah mengapa rasa sakit ini selalu tiba-tiba datang menyerang tanpa ampun, tapi kemudian sirna begitu saja seperti tak terjadi apa-apa, hingga Dimas merasa seperti sedang dipermainkan oleh penyakitnya.

Namun karena hal itu sering terjadi belakangan ini membuat Dimas sudah merasa terbiasa dengan kondisi seperti ini. Hingga dia lambat laun bisa mengatasi rasa sakit itu dengan sendirinya.

Pak Mamad yang sudah berada di lobi segera berlari tergopoh menghampiri Dimas dan Amara.

"Mas Dimas kenapa?" tanya Mamad dengan wajah penuh kekhawatiran sambil menatap Amara dan Dimas bergantian.

"Nggak apa-apa Pak, cuma pusing sedikit. Nanti juga baik," Dimas menyahut dengan nada santai meski tangannya masih bergerak memijit pelipisnya.

Pak Mamad terbengong mendengar jawaban Juan, lalu menatap Amara dengan ekspresi penuh tanya. Amara sendiri hanya menggeleng samar, sebab ia sendiri tak tahu apa yang sedang Dimas rasakan.

Dimas mendadak bangkit dari duduknya hingga membuat Amara dan Mamad terkejut dan sontak ikut bangkit.

"Mas Dimas mau kemana?" tanya Mamad bingung.

"Ya pulang, lah! Masa iya jaga parkir." Dimas menjawab acuh sambil mulai melangkah meski sedikit tertatih.

Mamad segera menyusul. "Mari bapak bantu masuk mobil, Mas," ajak Mamad sembari meraih tangan Dimas untuk membantu lelaki itu berjalan.

Sedang Amara hanya mendesah pelan sambil geleng kepala menatap Dimas yang keras kepala. Ia membungkuk untuk meraih tas berisi perlengkapan Dimas. Sudah hendak melangkah namun tertahan saat seseorang dengan cepat mencengkeram tangannya untuk menahan.

Amara yang terkejut sontak menoleh. Sejenak ia terpaku dengan mulut ternganga melihat sosok yang tengah menggenggam tangannya. Ia bahkan membulatkan bola matanya seolah tak percaya.

Seraut wajah tampan yang begitu ia rindukan nampak jelas di depan mata. Bahkan tersenyum sangat manis dan menatapnya penuh haru. Sesaat Amara terpesona hingga ia lupa segalanya. Lupa ia ada di mana, lupa jika Dimas tengah menunggunya dan lupa jika ia tengah berusaha keras menghindari pria di depannya.

Yang Amara rasa sekarang hanyalah bahagia, serta deguban jantung yang bertalu-talu di dalam dada. Semakin bergemuruh menyuarakan cinta. Hatinya yang beku karena kerinduan kini mencair oleh pertemuan.

Hanya menatapnya saja sudah seperti mendapatkan angin segar bagi Amara. Seperti hujan di tengah kemarau panjang. menghidupkan kembali sesuatu yang telah mati, menyegarkan kembali sesuatu yang telah layu.

Tanpa sadar mata bening Amara dilapisi oleh riak-riak air. Matanya berkaca-kaca dilingkupi rasa haru yang luar biasa. Bahkan ia bisa merasakan panas dingin di sekujur tubuhnya.

"Amara. Mar, kau kemana saja? Aku mencarimu selama ini!" Juan mengguncang lengan Amara karena begitu antusiasnya. Amara tersentak lalu mengerjap-ngerjapkan mata. "Kau tahu, setiap hari aku datang kemari untuk menemuimu! Kenapa tiba-tiba pergi tanpa kabar? Kau kemana saja, Amara!" Juan mencecar Amara dengan pertanyaan.

Sementara Amara mendadak terengah-engah. Ia meneguk salivanya berat. Gadis itu masih berusaha menguasai dirinya. Sadar, Amara lalu menggeleng pelan. Ada yang salah di sini. Pertemuan tak terduga ini, seharusnya tak perlu terjadi.

"Amara?" panggil Juan lagi untuk menyadarkan gadis itu dari lamunannya. "Kau baik-baik saja?"

Amara tergagap. Lalu menggeleng cepat. "A-aku baik-baik saja, Juan." Amara menjawab dengan terbata. Lalu menunjukkan senyum yang sangat ia paksakan. "Seperti yang kau lihat sekarang ini," sambungnya lagi untuk meyakinkan.

"Selama ini kau kemana! Apa kau sengaja menghindariku?" Juan mendesak dengan ekspresi wajah penasaran.

"Aku sedang bekerja Juan. Maaf, aku harus pergi." Amara menarik tangannya, mencoba melepaskan diri dari Juan. Namun lelaki itu seolah enggan melepaskan. Juan bahkan semakin mengeratkan cekalan.

"Iya Amara, aku tahu. Kau saja masih memakai pakaian dinasmu. Tapi katakan dulu, kau bekerja dimana sekarang?"

"Maaf Juan, aku harus pergi," pamit Amara lirih. Tangan kirinya memegang lengan Juan lalu menariknya hingga lelaki itu melepaskan. Sejenak mereka saling menatap, sebelum kemudian Amara berlari menuju mobil setelah berhasil melepaskan diri. Dan dengan cepat masuk ke sisi kiri disamping sopir.

Juan tak menyerah begitu saja, ia pun melangkah cepat menghampiri mobil dan mengetuk kaca mobil tempat Amara duduk.

"Mara, tolong buka! Kita belum selesai bicara! Amara buka!" desak Juan sambil menggedor kaca mobil itu. Lelaki itu semakin terlihat gelisah saat melihat Amara tak meresponnya.

Tiba-tiba kaca di baris kedua terbuka, dan muncul wajah Dimas yang terlihat marah menyembul ke luar dari sana.

"Woy! Nggak punya sopan santun, lo!" teriak Dimas dengan sorot mata yang menyalang tajam.

Namun Juan hanya melirik singkat kearah Dimas. Berniat mengabaikannya, Juan pun kembali menggedor pintu Amara yang masih tertutup rapat sembari memanggil gadis itu.

"Amara plis! Kita bicara sebentar. Amara!"

"Kurang ajar lo! Lo mau ngerusak mobil gue, hah!" Dimas terlihat semakin geram melihat tingkah Juan. Namun ia merasa hal ini tak penting dan membuang waktu sehingga memilih mengabaikannya. Ia menarik kepalanya, menatap Mamad lalu berucap, "Jalan pak!" perintahnya pada Mamad sembari menutup kaca mobil.

Mobil sudah melaju kencang. Namun hingga beberapa lama meninggalka rumah sakit, hanya keheningan yang membentang.

Dari tempatnya, Juan yang duduk tepat di belakang Mamad tampak memperhatikan Amara yang duduk di depan. Meskipun tak bersuara, namun Dimas bisa memastikan jika Amara tengah menangis melalui bahunya yang berguncang hebat. Terlebih sejak tadi gadis itu selalu menyembunyikan wajahnya. Tangannya pun terlihat membungkam mulut. Mungkin memang sengaja untuk menahan suaranya.

Dimas berdecak sambil geleng kepala. Lelaki itu kemudian tertawa tanpa suara. "Dasar cewek munafik," gumamnya pelan kemudian.

Dimas mendesah pelan lalu mengarahkan pandangan ke arah Mamad. "Berhenti pak!" pintanya kemudian.

Mamad pun seketika menepikan mobil itu dan berhenti perlahan. Lalu memutar tubuhnya dan menoleh ke arah Dimas. "Ada apa Mas, apa ada yang tertinggal?"

Tak merespon Mamad, Dimas justru mengarahkan tatapan penuh peringatan ke arah Amara. "Hey, Lo! Pindah ke sini!" ucap Juan sambil menepuk jok kosong di sampingnya.

Amara segera mengusap matanya lalu buru-buru menoleh ke belakang. Ditatapnya Dimas yang tengah bersedekap dada dengan wajah bingung. "Maksud Tuan, saya pindah ke belakang?" tanyanya kemudian sambil mengarahkan telunjuk pada dirinya sendiri.

"Ya iyalah! Kalau Pak Mamad yang pindah, terus siapa yang nyetir!"

Amara menganggukkan kepala dengan terpaksa. "Baik Tuan," jawabnya patuh, lalu bergerak keluar dari mobil dengan perlahan. Ia pun membuka pintu lalu masuk dan duduk di sana dengan hati-hati.

Dimas memperhatikan Amara yang tampak murung, lalu menyodorkan tangannya hingga membuat gadis itu terlonjak. "Pijat tangan gue!" perintahnya dengan nada memaksa.

Bukannya langsung melakukan keinginan Dimas, Amara justru mengerjap bingung lalu menatap Dimas dengan ekspresi penuh tanya.

"Tangan gue kram!" Dimas berucap seolah mengerti maksud tatapan bingung Amara.

Amara mengangguk. "Baik Tuan," jawabnya patuh, lantas meraih tangan kiri Dimas yang masih menggantung di udara sebelum kemudian memijitnya dengan hati-hati.

Bersambung

1
Sumarni Tina
akhirnya Dimas ketahuan
Sumarni Tina
Luar biasa
Enjelika h
Lumayan
Sulistiawati Kimnyo
semangat lg kakak....
Via
kebanyakan dram jd bosen bacanya
Via
huhhh TOLOL si Amara goblok anjing gitu aj mau ngalah setan😤😤😤😏😏😏
Firda Fami
dah tinggalin aja tuh si Dimas biar mati sekalian 👿
beybi T.Halim
gak asek .., karakter wanitanya seharusnya keren.,barbar dan gak gampang ditindas.,biasanya anak yatim-piatu itu punya sifat yg keren😊
Fa Rel
amara bodoh mending minta cerai biarin dimas nyesel seumur idup
Fa Rel
rasain lu dimas emang enak di.bhongin biar amara ma juan aja lah dripada.ma.dimas g tau trima kasih
Zahra Cantik
masa udah tamat thor 😔😔
kasih bonus dong 😘😘😘
Nina Latief
Lanjut thooorrr...nanggung nih
Bagus X
tamat ?
😨😨
Bagus X
wah wah wah,,tanda tanda wereng coklat ini😌
Bagus X
💖💞👄
Bagus X
eeelahdalah,,,
Bagus X
wadaw,,dalem bngeeeet
Bagus X
😁😁😁😁😁😁😁😁 sa ae mu Thor idenyaaa
Bagus X
ooohhhh,,,so swiiiitttt 😜
Bagus X
ya'ampun othooor,,,benar benar tega dehhh🤦
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!