Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 6 Pertemuan Dengan Daniel
Hari itu terasa panjang bagi Nadia. Ia baru saja menyelesaikan presentasi besar yang menguras energi di depan jajaran manajemen perusahaan. Ketika ia melangkah keluar dari ruang rapat, Nadia memutuskan untuk pergi ke pantry untuk sekadar mengambil segelas kopi hitam yang mungkin bisa membantunya bertahan hingga sore.
Saat ia mengaduk kopinya, seseorang yang tidak familiar berdiri di sampingnya, mencoba membuka toples gula yang tampak terlalu rapat. Pria itu tampak sedikit bingung sambil mengerutkan kening.
“Kelihatannya toples itu butuh bantuan ekstra,” komentar Nadia sambil melirik ke arah pria itu.
Pria itu menoleh, tersenyum lebar. “Sepertinya begitu. Atau mungkin ini hanya trik perusahaan untuk mengurangi konsumsi gula karyawan.”
Nadia tersenyum kecil, tertawa tipis. “Kalau begitu, biar saya bantu.”
Ia mengambil toples itu dan dengan sedikit usaha, akhirnya tutupnya terbuka. “Mungkin trik perusahaan ini tidak cukup kuat melawan saya,” katanya, menyerahkan toples itu kembali.
“Wah, terima kasih, penyelamat kopi saya,” kata pria itu sambil menambahkan gula ke dalam cangkirnya. “Saya Daniel, by the way. Baru pindah ke departemen pemasaran.”
Nadia mengangguk sambil mengulurkan tangan. “Nadia, dari tim kreatif. Selamat datang.”
Daniel tampak santai, tidak canggung seperti kebanyakan orang baru. Mereka akhirnya berbicara lebih lama dari yang Nadia perkirakan.
“Jadi, kau sudah lama di sini?” tanya Daniel sambil menyeruput kopinya.
“Cukup lama untuk tahu siapa yang harus kau hindari ketika mereka terlihat membawa dokumen setumpuk,” jawab Nadia sambil tersenyum, mencoba bercanda.
Daniel tertawa, dan nadanya terdengar tulus. “Baiklah, aku akan mengingat itu. Tapi sepertinya aku harus menghindari lebih banyak orang di timku sendiri.”
Mereka berbincang ringan tentang pekerjaan, rekan kerja, dan bahkan hal-hal kecil seperti tempat makan terbaik di sekitar kantor. Daniel memiliki cara bicara yang santai dan penuh humor, sesuatu yang membuat Nadia merasa nyaman meskipun ini adalah pertama kalinya mereka bertemu.
Namun, meski Nadia tertawa dan terlibat dalam percakapan, ada perasaan yang tidak bisa ia abaikan. Setiap kali Daniel tersenyum atau melontarkan lelucon, pikirannya melayang ke seseorang dari masa lalunya Reza.
Sebelum mereka berpisah, Daniel berkata, “Sepertinya aku beruntung hari ini, bisa bertemu seseorang yang membuat hari pertama jadi lebih mudah.”
Nadia tersenyum tipis. “Yah, aku rasa aku hanya memenuhi tugas untuk menjadi rekan kerja yang baik.”
“Tentu saja,” Daniel mengangguk dengan gaya bercanda. “Kalau begitu, kita harus mengulang ini. Mungkin makan siang bersama? Kau bisa memberi tahu aku siapa lagi yang harus kuhindari.”
Nadia terdiam sejenak, terkejut dengan tawaran itu. Tapi kemudian, ia mengangguk pelan. “Mungkin. Kita lihat saja nanti.”
Ketika Daniel pergi, meninggalkan Nadia sendirian di pantry, ia menyadari sesuatu. Meski pria itu terlihat baik dan menarik, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Nadia ragu untuk benar-benar membuka diri.
Bukan karena Daniel kurang baik. Tapi karena Reza, dengan segala kenangan yang ia tinggalkan, masih menghantui pikirannya.
“Apakah aku benar-benar siap untuk melangkah maju?” pikir Nadia sambil mengaduk sisa kopinya.
Pertemuan itu mungkin sederhana, tetapi Nadia tahu, itu adalah awal dari sesuatu yang bisa mengubah hidupnya atau malah membuatnya semakin sadar akan luka yang belum sembuh.
Malam telah larut ketika Nadia melangkah keluar dari Pantry. Langit kota dipenuhi cahaya lampu jalan, tetapi dinginnya malam tetap meresap hingga ke kulitnya. Dengan lelah, ia mengangkat tangan, memanggil taksi yang melintas di jalan depan gedung kantornya.
Taksi berhenti tepat di hadapannya. Pengemudi, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, membukakan pintu untuknya.
“Ke mana, Mbak?” tanya sang sopir setelah Nadia duduk di kursi belakang.
“Ke Apartemen Lestari, Pak,” jawab Nadia singkat.
Di dalam taksi, Nadia menyandarkan kepalanya ke jendela, membiarkan pemandangan kota yang bergerak cepat menjadi latar belakang pikirannya yang penuh. Ia merasa kelelahan, bukan hanya fisik tetapi juga mental. Percakapan panjang dengan Daniel sore tadi entah kenapa terasa melelahkan.
Bayangan Reza kembali menyelinap ke benaknya. Kata-kata terakhirnya, senyumnya, bahkan caranya menatap Nadia dengan penuh perhatian—semuanya terasa begitu nyata seolah-olah Reza masih ada di sana. Nadia menghela napas panjang, mencoba mengusir pikiran itu, tetapi semakin ia mencoba, semakin bayangan itu mendominasi.
“Kau baik-baik saja, Mbak?” suara pengemudi memecah keheningan.
“Oh, iya, Pak. Saya hanya lelah,” jawab Nadia dengan senyum tipis.
Pengemudi itu mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi.
Sesampainya di apartemen, Nadia membayar ongkos taksi dan mengucapkan terima kasih. Ia melangkah masuk ke lobi yang sudah sepi, hanya ditemani suara langkah kakinya sendiri yang menggema di lantai marmer. Lift yang ia naiki bergerak perlahan ke lantai tempat apartemennya berada.
Begitu pintu apartemen terbuka, Nadia disambut oleh keheningan yang familiar. Apartemen itu kecil, tetapi cukup untuk dirinya sendiri. Ia meletakkan tas kerjanya di sofa, melepas sepatu, dan berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air.
Sambil menyeruput air dingin, matanya melirik meja kecil di sudut ruangan. Di sana, masih tersimpan sebuah bingkai foto lama—foto dirinya dan Reza, diambil pada hari ulang tahunnya dua tahun lalu.
“Kenapa aku masih menyimpan ini?” Nadia bergumam, tetapi ia tidak bisa membiarkan dirinya membuangnya. Foto itu adalah satu-satunya kenangan fisik yang ia miliki dari Reza.
Setelah mengganti pakaian kerja dengan piyama yang nyaman, Nadia merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar ia matikan, membiarkan hanya cahaya remang-remang dari lampu jalan yang masuk melalui jendela.
Namun, meskipun tubuhnya lelah, pikirannya terus berputar. Pertemuan dengan Daniel tadi seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan, tetapi justru memunculkan lebih banyak pertanyaan dalam dirinya.
“Kenapa aku tidak bisa melupakanmu, Reza?” Nadia bertanya dalam hati.
Ia mencoba memejamkan mata, tetapi bayangan Reza kembali muncul—senyumnya, caranya memandangnya, dan tawa yang dulu membuat hari-harinya begitu berwarna.
Air mata tanpa sadar mengalir di sudut matanya. Nadia membalikkan badan, memeluk bantalnya erat-erat, mencoba menghibur dirinya sendiri.
“Aku harus kuat,” bisiknya pelan, meskipun ia tahu, kekuatan itu tidak semudah yang ia bayangkan.
Perlahan, lelah akhirnya mengalahkan segalanya. Nadia tertidur dengan sisa air mata di pipinya, berharap esok hari akan membawa sedikit ketenangan yang ia cari.