Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Leon duduk di sofa ruang keluarga, mengenakan kaus santai dengan ekspresi serius, netra hijaunya menatap dokumen hasil kerja seharian. Sementara, Reina duduk di lantai tak jauh darinya, tampak sibuk mencatat sesuatu di buku catatannya. Suasana hening dan damai, sampai terdengar suara langkah tumit sepatu yang disengaja menghentak.
Arina muncul dari arah tangga, mengenakan gaun tidur satin yang terlalu mencolok untuk suasana rumah. Rambutnya disanggul asal, tapi dengan riasan wajah berlebihan yang seakan mencoba menarik perhatian.
“Leon,” panggilnya, nada suaranya menyeret penuh keluhan.
Leon menghela napas, menurunkan dokumennya, lalu menatap wanita itu dengan pandangan datar. “Apa lagi?”
Arina mendekat, menghempaskan tubuhnya ke sofa sebelah Leon dengan gerakan berlebihan. “Aku tidak tahan lagi tinggal di rumah ini. Kau tahu? Aku ini istrimu! Tapi aku tidak diperlakukan seperti ratu. Lihat rumah ini! Terlalu sederhana! Aku butuh liburan, Leon. Liburan mewah ke luar negeri! Aku lelah hidup seperti ini.”
Leon mendengus, lalu melemparkan pandangan sekilas ke arah Reina yang menatap situasi itu dengan datar. “Liburan? Untuk apa? Kau bahkan tidak melakukan apa-apa sepanjang hari kecuali bermimpi dan membuat masalah.”
Arina mendesah keras, memasang wajah memelas. “Kau tidak peduli padaku! Kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu dan… anak itu!” Dia melirik ke arah Reina dengan tatapan penuh kebencian.
Reina hanya menaikkan alis, lalu kembali fokus pada catatannya.
“Leon, aku istrimu! Bukankah seharusnya aku yang menjadi prioritasmu? Bukan gadis itu!” tambah Arina, suaranya meninggi.
Leon menutup dokumen di tangannya dengan keras, menatap Arina dengan tatapan tajam. “Cukup, Arina.”
“Tapi—”
“Cukup!” Leon bangkit dari sofa, berdiri menjulang di hadapannya. “Dengar baik-baik, aku sudah cukup bersabar. Kau mau liburan? Bekerja sendiri dan bayar sendiri. Aku tidak akan menghabiskan uang hasil kerja kerasku untuk seseorang yang bahkan tidak mau mencuci piringnya sendiri!”
Arina tertegun, tapi masih mencoba melawan. “Aku ini istrimu, Leon! Kita sudah menikah dua tahun lalu!”
Leon tertawa sinis, suaranya penuh amarah yang ditahan. “Istri? Arina, aku tidak pernah menikahimu untuk memanjakanmu. Kau pikir aku tidak tahu? Kau hanya memanfaatkan aku, berpura-pura mencintaiku, lalu berharap aku akan tunduk pada semua tuntutanmu. Tapi dengar ini: aku bukan pria bodoh seperti yang kau kira.”
Reina menatap Leon dengan tatapan puas, meski dia berusaha menahan senyumnya.
Arina, yang tidak tahan dengan penghinaan itu berdiri dengan marah. “Kau tidak tahu bagaimana menjadi suami yang baik! Kau lebih peduli pada gadis itu daripada padaku!”
Leon menunjuk pintu dengan gerakan tegas. “Kalau kau merasa aku tidak cukup baik, pintunya di sana. Kau bebas pergi kapan saja.”
Arina terdiam, wajahnya memerah karena marah dan malu. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan naik ke kamarnya dengan langkah menghentak.
Leon menghela napas panjang, lalu kembali duduk di sofa, mengambil dokumennya.
“Drama selesai,” ucap Reina santai, membuat Leon tersenyum tipis. “Ayo lanjutkan pekerjaan kita.”
✨
Suasana makan malam di rumah Leon terasa hening. Hanya bunyi dentingan alat makan yang memecah keheningan, sementara aroma sup hangat memenuhi ruangan. Leon, seperti biasa, duduk dengan ekspresi datar, mengamati kedua gadis di hadapannya yang sibuk dengan makanan mereka. Di sisi lain meja, Arina merengut tanpa menyentuh piringnya, tampak kesal tanpa alasan jelas.
"Oh, ya, Arina." Leon menyandarkan punggungnya ke kursi, menyeka sudut bibirnya dengan serbet. Tatapannya dingin dan penuh makna, membuat suasana meja makan yang sudah tegang menjadi semakin mencekam. "Kita tidak menikah secara sah di mata hukum, lho."
Arina, yang tengah mencoba menyendok supnya, berhenti di tengah gerakan. Wajahnya langsung memucat, namun dia mencoba memasang senyum kecil yang terkesan dipaksakan. "Apa maksudmu, Leon?"
Leon menyilangkan tangan di dadanya, menatap Arina dengan pandangan menusuk. "Soalnya, waktu aku mencoba mengurus drama pernikahan buatanmu, ternyata... kamu masih memiliki suami. Ya, Arina. Suami. Lengkap dengan surat-suratnya."
Reina hampir tersedak supnya, lalu buru-buru menutup mulutnya dengan tangan agar tidak tertawa keras. Althea memandang ibunya dengan mata membelalak, sementara wajah Arina semakin memerah.
"Itu... itu tidak benar! Aku sudah bercerai bertahun-tahun lalu!" Arina mencoba membela diri, suaranya terdengar tergagap.
Leon mengangkat alisnya, memberikan senyuman penuh ejekan. "Oh, benar? Sayangnya, menurut dokumen hukum yang aku temukan, perceraianmu tidak pernah selesai. Aku bahkan sudah mengonfirmasi hal ini dengan suamimu yang resmi. Dia cukup kaget saat tahu istrinya menikah lagi tanpa sepengetahuannya."
Althea memandang ibunya dengan campuran kebingungan dan rasa malu. "Ibu, apa itu benar?"
"Tentu saja tidak!" Arina membentak, namun suaranya terdengar terlalu tinggi, terlalu panik.
Leon mendengus, menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil melipat tangan. "Arina, berhentilah mempermalukan dirimu sendiri. Aku tahu kau menikahiku hanya demi uang, tapi setidaknya, aku berharap sedikit kejujuran. Atau... sedikit rasa malu."
Reina akhirnya tidak bisa menahan tawanya lagi. "Ayah, kau benar-benar jahat," katanya sambil terbahak.
Leon mengabaikan Reina, menatap tajam ke arah Arina. "Jadi begini, mulai sekarang, jangan pernah mencoba mengatur rumah ini lagi. Kau di sini hanya sebagai tamu yang kebetulan kubiarkan tinggal. Itu pun hanya karena aku terlalu malas berurusan dengan drama."
Arina tidak menjawab. Wajahnya berubah pucat, sementara Althea terlihat semakin bingung dan malu. Suasana meja makan menjadi sunyi setelahnya, hanya terdengar suara Reina yang berusaha menahan tawa dan Leon yang kembali makan dengan tenang.
"Wah, Ayah." Reina menyeka sudut bibirnya dengan tisu, lalu menyeringai mengejek. "Aku pikir Althea anak yatim. Ternyata masih punya ayah juga, ya? Tapi kenapa dia malah sibuk mencari perhatianmu, Ayah? Apa nggak cukup kasih sayang dari 'ayah resminya' di luar sana?"
Reina tertawa kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke Arina yang wajahnya semakin pucat. Senyum di bibir gadis itu berubah sinis. "Oh, atau mungkin Arina ini punya tujuan lain. Jangan-jangan dia cuma ingin menghangatkan ranjang Ayah, tapi... ya, nggak kesampaian, kan? Tahu diri dikit, deh."
"Reina, jaga mulutmu!" Arina membentak, suaranya terdengar parau.
"Eh, tunggu dulu. Aku belum selesai." Reina berdiri, mengeluarkan beberapa foto dari saku jaketnya, lalu menaruhnya di atas meja dengan gerakan yang disengaja, cukup keras untuk menarik perhatian semua orang.
Leon, yang tadinya makan dengan tenang, mengangkat alis dan mengambil salah satu foto itu. Wajahnya berubah dingin. Foto-foto itu jelas menunjukkan Arina bersama beberapa pria yang berbeda, memasuki rumah mereka di waktu yang berbeda pula.
Reina bersandar ke kursinya, menatap Arina dengan mata berkilat penuh kemenangan. "Jangan-jangan tindakanmu ini bisa dibilang mirip... apa ya? Seorang pelacur? Ups, aku nggak bermaksud kasar, lho. Tapi bukankah ini bukti nyata?"
Arina terlihat hampir pingsan. Dia membuka mulutnya, mencoba mengatakan sesuatu, namun tak ada kata yang keluar.
"Reina," Leon akhirnya berbicara, suaranya rendah namun tajam, "darimana kau mendapatkan ini?"
Reina tersenyum cerah, seolah tidak menyadari ketegangan di ruangan itu. "Oh, aku cuma membersihkan gudang tadi pagi dan menemukan kamera yang Ayah pasang. Kupikir, apa salahnya memeriksa isinya? Siapa tahu ada sesuatu yang menarik. Eh, ternyata jackpot."
Leon mendengus, meletakkan foto-foto itu ke meja dengan kasar. Dia menatap Arina dengan pandangan menusuk, lalu berkata dengan nada dingin, "Keluar dari rumah ini sekarang juga. Aku sudah cukup sabar. Kalau kau masih di sini saat aku selesai makan malam, aku akan memastikan kau tidak bisa menginjakkan kaki lagi di kota ini."
Arina terdiam, tubuhnya gemetar. Althea, yang biasanya penuh percaya diri, duduk diam tanpa suara, menatap ibunya dengan ekspresi campuran kebingungan dan ketakutan.
Reina hanya tersenyum puas, menyendok makanannya dengan santai. "Wah, makan malam ini jadi jauh lebih menarik dari biasanya. Terima kasih, Arina."
Arina tidak bergerak. Wajahnya pucat pasi, seperti kehilangan seluruh darah di tubuhnya. Dia membuka mulut, mencoba berbicara, tetapi hanya suara parau yang keluar. "Leon... aku bisa jelaskan..."
Leon meletakkan garpunya dengan tenang, lalu menatapnya dengan pandangan dingin. "Jelaskan apa? Bahwa kau mengkhianati kepercayaan yang bahkan aku tak pernah benar-benar berikan? Atau jelaskan bagaimana kau membawa pria lain ke rumah ini di belakangku untuk mengotori rumahku? Jangan buang waktuku, Arina. Rumahku ini bukan tempat pelacuran."
"Aku... aku melakukannya karena kesepian," ujar Arina dengan suara gemetar, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kau selalu dingin padaku, Leon. Kau tidak pernah mencintaiku. Aku hanya ingin... perhatian."
Leon tertawa pendek, sebuah tawa yang tidak membawa kebahagiaan sama sekali. "Perhatian? Kau pikir aku tak tahu kenapa kau menikahiku? Kau hanya menginginkan uangku dan berpikir aku ini pria kaya raya, yang ternyata tidak sesuai khayalanmu. Sekarang kau bahkan tidak bisa menyembunyikan kebusukanmu. Kalau kesepian, kenapa tidak tinggal bersama suamimu yang sebenarnya? Oh, maaf, aku lupa. Dia sudah menendangmu keluar duluan, kan?"
Arina terisak, tetapi Leon mengangkat tangannya untuk menghentikannya berbicara. "Aku tidak ingin mendengar satu kata lagi darimu. Pergi. Malam ini juga."
Althea, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Ayah! Jangan seperti ini! Ibu hanya..."
Leon menoleh tajam ke arah Althea, membuat gadis itu terdiam. "Dan kau, Althea. Jangan pikir aku tak tahu apa yang kau lakukan selama ini untuk menarik perhatianku. Aku tahu kau memanipulasi orang, menjatuhkan Reina di setiap kesempatan, dan berpura-pura sebagai anak baik. Kalau kau ingin tinggal di rumah ini, mulai sekarang, ubah sikapmu. Atau kau bisa ikut ibumu keluar."
Mata Althea membesar. "Ayah... aku..."
"Diam." Suara Leon memotongnya seperti bilah pedang. Dia bangkit dari kursinya, mengambil jaketnya yang tergantung di kursi. "Reina, bersihkan ini kalau sudah selesai. Aku butuh udara segar."
Reina, yang sejak tadi menahan tawa, hanya mengangguk dengan santai. "Siap, Ayah. Jangan lupa pulang sebelum tengah malam. Kalau tidak, aku bakal kunci pintunya."
Leon tersenyum tipis, lalu pergi tanpa menoleh lagi.
Di belakangnya, tangisan Arina semakin keras, sementara Althea menundukkan kepala, tampak bingung antara marah dan takut. Reina hanya menyeka mulutnya dengan tisu, lalu menatap keduanya dengan santai.
"Yah, setidaknya sekarang makan malam kita punya hiburan," katanya ringan, sebelum berdiri dan mulai membereskan meja.