Luna terpaksa menjadi istri ke-3 dari seorang Tuan yang bernama Daru. Suami Luna sebelumnya di nyatakan telah meninggal dunia dan rupanya memiliki banyak hutang.
Mereka harus Menjadi Pelunas Hutang Suami nya yang katanya berjumlah puluhan Triliun. Luna hanyalah seorang Ibu Rumah Tangga yang tidak memiliki penghasilan sendiri.
Ia tidak sepenuhnya percaya bahwa suami yang sangat di cintai nya meninggalkan penderitaan untuk nya dan anak-anak.
Ibu dari tiga orang anak itu harus membayar semua hutang suaminya dengan menikah dan menjadi budak. Luna hanya bisa pasrah menerima namun kesedihan selalu melanda kala anak-anaknya harus ikut mendapatkan siksaan.
Mampukah mereka menjadi takdir yang mengejutkan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jumli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rio Hilang
"Ayah mertua, Ibu mertua. Supir nya sudah datang. Sebaiknya kita langsung pulang," ujar Luna pada dua mertuanya itu.
Mereka mulai berjalan sementara Damar di dorong di atas kursi roda, Damar dan Kartika telah duduk dengan nyaman di dalam. Pengawal yang menemani Damar juga sudah naik di mobil lain yang ada di belakang mobil yang di tumpangi oleh Tuannya itu.
Luna juga ikut masuk dan duduk di samping kemudi di mobil yang sama dengan kedua mertuanya.
Ddrrtttt....
Mobil belum bergerak dan ponsel Luna tiba-tiba berdering nyaring membuat wanita itu takut menyinggung kedua mertuanya yang ada di belakang. Dengan cepat Luna mematikan panggilan yang masuk tersebut karena tidak enak pada Damar dan Kartika.
"Jalan Pak," kata Luna namun ponselnya kembali bersuara seperti sebelumnya nya dan Luna sekali lagi mematikan benda tersebut karena nomor yang tertera tidak terdaftar dalam kontak.
"Ayo Pak," ujar Luna lagi.
Ddrrtttt....
Tapi sepertinya yang menghubungi Luna ini ingin membicarakan hal penting sampai tidak mengerti walau tidak di angkat panggilan nya.
"Jangan membuat kami tuli dengan bunyi telepon mu itu. Cepat angkat!" sarkas Kartika.
Ia mengerti pasti Luna tidak nyaman mengangkat panggilan itu di depan mereka, tapi Kartika juga jengkel benda tipis itu terus saja berdering.
"Baik, Bu."
Luna segera menyambungkan sambungan telepon.
"Selamat sore, ini Luna, ibu dari Rio?" suara di ujung telepon terdengar cemas.
"Ya, benar. Maaf, Ada apa?" Luna bertanya, suara di tenggorokannya tercekat. Ia tiba-tiba merasa was-was, rupanya itu dari pihak rumah sakit.
Kebetulan kemarin Rio belum di izinkan pulang, katanya harus di rawat inap beberapa hari agar tidak terjadi infeksi pada lukanya.
"Maafkan kami, Bu. Kami baru saja ingin memberitahukan bahwa anak Ibu... Rio... hilang dari ruang perawatan. Kami sedang mencari-cari, tapi hingga kini belum ditemukan."
Luna merasa darahnya berdesir dingin, padahal dia belum lama meninggal rumah sakit, bagaimana Rio bisa hilang.
"Apa maksud Anda hilang? Bagaimana bisa?" suaranya bergetar, cemas.
"Kami mohon maaf sekali, Bu. Kami akan segera menghubungi Ibu lagi jika ada perkembangan."
Luna menutup telepon dengan tangan yang gemetar, matanya mulai berkaca-kaca. Dia menoleh ke arah kedua mertuanya yang duduk di belakang.
"Maaf, Bu, Pak... Rio... anak saya hilang di rumah sakit. Saya harus pergi sekarang," ujar Luna, suara wanita itu hampir serak, tidak berani membayangkan bagaimana nasib Rio.
Mertuanya saling berpandangan, ragu sejenak. Akhirnya, ibu mertuanya membuka mulut dan bersuara.
"Baiklah luna. Jangan khawatir, kami akan baik-baik saja. Pergilah, dan hati-hati di jalan."
Kartika yang melihat kecemasan Luna melunak, Ia sebagai orang tua juga pasti cemas jika terjadi sesuatu pada anaknya, apalagi Rio masih kecil.
Luna mengangguk cepat, meskipun hatinya terasa berat.
"Terima kasih," katanya lirih, lalu menoleh ke supir.
"Pak, tolong antar Bapak dan Ibu ke rumah. Saya akan pergi ke rumah sakit."
"Baik, Nyonya," jawab supir singkat.
Luna membuka pintu mobil dan melangkah keluar, menyapu pandangannya ke jalanan yang sepi. Dia berbalik, berjalan ke arah yang berlawanan. Setiap langkah terasa semakin cepat, pikirannya dipenuhi rasa khawatir yang mendalam.
______________________
Luna buru-buru melangkah masuk ke dalam rumah sakit, nafasnya tersengal-sengal. Setiap langkahnya terdengar seperti dentingan yang mengisi lorong sunyi itu. Dia mendekati meja resepsionis dan segera bertanya pada perawat yang sedang duduk di sana.
"Permisi, saya mencari anak saya, Rio. Diberitakan dia hilang. Bisa tolong beri informasi?" suaranya hampir tak terdengar, tercekat oleh kecemasan.
Perawat itu mengangkat wajahnya, menatap Luna sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke layar komputer. "Ibu Rio... saya akan cek sebentar," jawabnya, nada suara perawat itu terdengar profesional namun sedikit cemas.
Luna meremas tangan, menunggu dengan sabar meskipun hatinya berdebar hebat. Tak lama, perawat itu menatapnya kembali, ekspresinya berubah sedikit lebih serius.
"Saya minta maaf, Bu, kami masih dalam pencarian. Pihak keamanan sedang memeriksa setiap sudut rumah sakit," kata perawat itu dengan suara lembut, mencoba menenangkan Luna, meski jelas terlihat ada kekhawatiran di matanya.
Luna menggigit bibir, hampir tidak bisa menahan air matanya. "Tapi bagaimana bisa? Anak saya tidak mungkin pergi begitu saja tanpa ada yang tahu," ujarnya, suaranya mulai bergetar.
Perawat itu mengangguk dengan penuh simpati. "Kami mengerti, Bu. Kami akan menghubungi Ibu segera setelah ada kabar. Mohon bersabar."
Luna menghela nafas panjang. "Tolong... segera temukan dia," ucapnya, hampir tak bisa menahan emosi yang membuncah.
Perawat itu memberi senyuman tipis, meskipun tampak khawatir. "Kami akan berusaha, Bu. Kami akan segera memberi kabar."
Luna mengangguk, berbalik dan melangkah pergi, hatinya berdebar kencang, berharap akan ada kabar baik segera datang.
Luna melangkah gontai meninggalkan meja resepsionis, langkah kakinya terasa berat, seolah beban dunia terletak di pundaknya. Saat keluar dari ruang itu, matanya tertumbuk pada sosok yang tiba-tiba muncul di depannya. Daru, suaminya, sedang berdiri di ujung koridor dengan wajah cemas. Di sampingnya, Nisa, istri pertama Daru, duduk di kursi roda, tampak pucat dan lesu. Di belakang mereka, Andre, adik Daru, berdiri dengan tangan terkepal juga tampak khawatir.
"Mbak Nisa... Tuan Daru," Luna bergegas menghampiri mereka, hatinya berdebar.
Daru menatapnya dengan pandangan yang penuh kebingungan, tapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa cemas tentang apa yang terjadi pada Nisa
"Luna, kenapa kamu di sini?" tanya Daru dengan suara pelan.
Luna menghela napas panjang, matanya berbinar sejenak sebelum berbicara,
"Rio... anakku ... dia hilang di rumah sakit. Aku baru saja diberitahu," ujarnya dengan suara serak.
Daru terdiam dengan ekspresi datar, lalu menatap Nisa yang terlihat lemah duduk di kursi rodanya.
"Astaga, Luna... Kami akan membantu. Tapi Nisa... dia tiba-tiba sakit perut. Kami harus bawa dia ke sini lebih dulu," timpal Andre menjawab, suaranya penuh penyesalan tapi mereka juga tidak tahu jika Rio hilang.
Nisa yang duduk dengan wajah pucat, memiringkan kepalanya dan mencoba tersenyum kecil. "Maaf... Luna, aku tidak bisa membantu banyak. Sebelumnya Aku sering sakit perut seperti ini. Hari ini tiba-tiba perut ku kambuh, padahal sudah lama aku tidak merasakan nya" ujar Nisa dengan suara lemah, mata gelap dan lesu, seperti menanggung beban yang tak terucapkan.
Luna menatap Nisa, rasa empati muncul begitu saja di dalam hatinya.
"Mbak Nisa... kamu tidak perlu merasa bersalah," katanya dengan lembut.
"Tapi, aku harus tahu lebih banyak tentang Rio. Aku... aku harus menemukannya," lanjut Luna dengan suara bergetar, suaranya mulai penuh harapan meskipun masih terbungkus kecemasan. Tapi Nisa tidak tahu harus mencari Rio ke mana.