Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Setelah berkeliling selama beberapa jam, barang-barang yang dibutuhkan Siera akhirnya terkumpul semuanya. Beberapa kali ia menatap jam tangan, menandakan betapa lelahnya ia setelah beberapa jam berkeliling mencari barang kurang yang sulit ditemukan.
“Gimana, sudah lengkap semua, Sie?” tanya Arka, yang sejak tadi setia menemani Siera berkeliling. Ia memperhatikan ekspresi lelah yang tampak jelas di wajah Siera.
“Sudah, Ka,” jawab Siera sambil memeriksa kembali belanjaannya, memastikan semuanya tak ada yang terlewat. Tangannya sedikit gemetar, mungkin karena sudah terlalu lama beraktivitas tanpa istirahat yang cukup.
“Mau langsung pulang, atau barang-barangnya dibawa ke studio dulu?” tanya Arka, ingin memastikan keinginan Siera. Ia bisa merasakan aura lelah yang begitu kuat dari Siera.
“Kayaknya langsung pulang aja, Ka,” jawab Siera dengan suara yang sedikit pelan, seolah-olah menginginkan kelegaan setelah hari yang panjang. Wajahnya terlihat lelah, energi hari ini sepertinya sudah terkuras.
“Baiklah, kalau gitu,” kata Arka sambil mengambil semua kantong belanjaan yang ada di tangan Siera. Ia melihat bagaimana Siera berusaha untuk tetap kuat, meski tubuhnya sudah sangat kelelahan.
“Eh... eh... biar gue yang bawa, Ka,” ucap Siera terkejut, merasa tidak enak. Ia tidak ingin merepotkan Arka lebih jauh, namun Arka sudah lebih dulu mengambil alih.
“Enggak, nggak apa-apa Sie. Biarkan aku saja,” kata Arka dengan senyum penuh perhatian, seolah ingin memastikan Siera tidak perlu khawatir.
Setibanya di mobil, Arka langsung memasukkan semua barang belanjaan ke dalam bagasi. Tangannya cekatan, dan sikapnya begitu tenang, memberi rasa nyaman yang langka di tengah hari yang penuh tekanan. Kemudian, ia dengan gesit membuka pintu untuk Siera. Siera melangkah pelan menuju mobil, matanya sedikit terpejam sejenak, menikmati keheningan setelah hiruk-pikuk yang panjang.
Siera sebenarnya belum sepenuhnya terbiasa dengan perhatian tulus dari Arka. Namun, ia hanya bisa menerima itu semua dengan senyum tipis di bibirnya, meskipun hatinya terasa hangat. Mungkin, perhatian sederhana seperti ini memang yang ia butuhkan untuk membuat segalanya terasa lebih baik.
“Sie, kamu istirahat dulu, ya? Nanti kalau sudah sampai, aku bangunin,” kata Arka dengan suara lembut yang penuh kehangatan.
Siera menoleh, dan tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu dalam pandangan Arka yang membuatnya merasa dunia ini seolah hanya milik mereka berdua. Beban-beban yang ia rasakan mendadak menghilang, digantikan oleh ketenangan. Tapi, Siera masih berusaha mempertahankan egonya, merasa canggung menerima perhatian itu.
“Nggak, Ka. Aku nggak ngantuk kok,” jawabnya, meski tubuhnya jelas memberontak. Ia tahu betapa lelah dirinya, tapi hati kecilnya masih sulit untuk benar-benar menerima kebaikan Arka.
“Sie,” Arka kembali bersuara, nadanya lembut namun penuh ketulusan. “Kamu kelihatan capek banget. Istirahat dulu, ya? Biar nanti kamu lebih nyaman.”
Siera terdiam. Ia tidak bisa memungkiri bahwa dirinya lelah, lebih lelah dari yang ia akui. Menuruti kata-kata Arka sepertinya bukan hal buruk kali ini. Mungkin, sudah saatnya ia belajar untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri, membiarkan orang lain peduli tanpa merasa tertekan. Kadang, tidak apa-apa melepaskan kendali, meski hanya sesaat.
Dengan perlahan, Siera memundurkan kursinya. Ia mengatur posisi hingga merasa nyaman, lalu memejamkan mata. Tubuhnya tenggelam dalam kelelahan yang selama ini ia abaikan, namun kali ini, ada rasa damai yang mulai mengisi kekosongan dalam dirinya. Hanya sejenak, tapi itu cukup. Cukup untuk membuat segalanya terasa sedikit lebih ringan.
Arka, yang mengamati dari balik kemudi, merasa lega. Kekhawatirannya terhadap kondisi Siera sedikit mereda. Ia tahu betapa kerasnya Siera bekerja, betapa melelahkannya hati ini baginya. Melihat Siera akhirnya terlelap, meski hanya dalam perjalanan singkat ini, memberi Arka kelegaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Setelah berkendara selama 45 menit, mobil Arka akhirnya berhenti di depan rumah Siera. Ia melirik ke kursi penumpang, ke arah sosok Siera yang masih terlelap. Arka menatapnya lama, enggan membangunkan. Wajah Siera terlihat begitu damai, seolah kelelahan yang selama ini ia pendam akhirnya menemukan jeda.
Cantik. Pikir Arka, sebuah gumaman dalam hati. Siera selalu cantik baginya, bahkan saat terlelap sekalipun. Tidak perlu riasan, tidak perlu usaha keras, Siera adalah keindahan alami yang justru terpancar lewat kesederhanaan dan ketulusannya.
Memandangi Siera dalam beberapa menit membuat Arka tersenyum, hati yang sebelumnya sedikit gelisah kini merasa lebih ringan. Namun, masih ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Satu masalah yang harus segera ia selesaikan.
Dengan perlahan, Arka mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia mengetik pesan singkat, lalu mengirimkannya ke Jevian, seseorang yang ia percayai untuk urusan-urusan yang lebih rumit.
"Jev, tolong lo cek lokasi nomor ponsel ini terakhir dipakai di mana?" tulis Arka, meminta bantuan.
"Siap Pak," balas Jevian dengan cepat.
Tak lama kemudian, pesan baru pun masuk. Arka membacanya dengan hati-hati.
"Kenapa, Ka? Sama pemilik nomor ini?" jawab Jevian.
"Ada yang harus gue pastiin, Jev," balas Arka singkat, matanya kembali terarah ke Siera yang masih tertidur. Ia tahu, masalah ini harus segera diselesaikan, demi Siera.
Siera perlahan terbangun, merasakan kesegaran yang menyelimuti tubuhnya meski matanya masih terasa berat. Ia membuka kelopak mata, pandangannya langsung tertuju pada langit-langit mobil yang kini diam, tak lagi bergetar, tanda bahwa kendaraan itu telah berhenti. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang samar dan melihat sekeliling untuk mengetahui di mana mereka berada.
Lambat laun, kesadarannya kembali sepenuhnya. Matanya tertuju pada Arka, yang duduk di kursi pengemudi dengan fokus penuh pada layar ponselnya. Jari-jarinya bergerak lincah, namun ekspresinya tetap tenang. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis muncul di wajah Siera.
“Ka?” panggilnya pelan. Suaranya serak, masih terbungkus sisa kantuk.
Arka segera menoleh, matanya berbinar lega. “Sie, kamu sudah bangun?”
Siera mengusap wajahnya dengan telapak tangan, merasa sedikit canggung. Ia sadar bahwa dirinya pasti terlihat berantakan setelah tertidur. “Iya... maaf, gue ketiduran. Kok lo nggak bangunin gue kalau kita udah sampai?”
Arka hanya tersenyum kecil, penuh pengertian. “Aku nggak tega bangunin kamu, Sie. Kelihatan lelap banget. Lagi pula, kita juga baru sampai.”
Siera merasa wajahnya memanas, malu karena telah tertidur begitu nyenyak. Namun, hatinya tak bisa mengabaikan rasa hangat yang menjalari dirinya karena perhatian Arka.
“Oh ya, Sie,” Arka melanjutkan dengan nada lembut, “Masalah di studiom kamu, biar aku yang urus, ya. Kamu fokus aja sama persiapan workshop hari Minggu nanti aja yah.”
Siera menggeleng cepat, menatapnya dengan sorot menolak. “Nggak perlu, Ka. Jangan malah bikin lo repot gara-gara gue.”
Arka tertawa kecil, santai namun tetap meyakinkan. “Nggak sama sekali, Sie. Serius, aku senang bisa bantu kamu. Lagi pula, aku tahu kamu sudah cukup sibuk. Biarkan aku meringankan sedikit bebanmu.”
Siera terdiam sejenak. Ada rasa canggung yang menggantung di udara, namun di balik itu, ia tidak bisa menutupi rasa terima kasihnya. Ia tersenyum kecil, kali ini tanpa ragu, dan mengangguk pelan.
“Terima kasih, Ka,” ucapnya tulus.
Arka balas tersenyum, matanya menunjukkan bahwa semua itu tulus ia lakukan, tanpa pamrih.
walah sipa yah...