abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Jejak yang Tak Terhapuskan
Isabella berjalan di sepanjang jalan yang sunyi, meninggalkan desa yang telah menjadi tempat berlindungnya setelah malam yang penuh teror. Hari itu mendung, dengan awan hitam menggantung rendah di langit. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menahan tubuhnya. Meski kastil itu telah hancur, meski pria bertopeng itu telah pergi, sesuatu yang tak terlihat masih membayangi dirinya.
Ada perasaan yang tidak bisa ia hilangkan, perasaan bahwa meskipun fisiknya bebas, bagian dari dirinya masih terjebak dalam kekelaman yang ia tinggalkan.
Hatinya masih berdebar, pikirannya masih dipenuhi bayangan-bayangan yang tak bisa ia hapus. Bahkan saat ia melihat desa kecil yang kini jauh di belakang, seakan ada sesuatu yang terus mengikuti. Bayangan itu tidak pernah benar-benar pergi.
---
Isabella tiba di hutan, tempat di mana jalan setapak mengarah ke desa lainnya yang lebih besar. Ketika ia memasuki hutan yang rapat, udara terasa lebih berat dan bau tanah basah menyengat hidung. Tidak ada suara burung, hanya angin yang bersiul pelan melalui pepohonan yang rimbun. Di sini, Isabella merasa seolah-olah waktu berjalan lebih lambat.
Lama kelamaan, rasa cemas mulai menguasai dirinya. Ia merasakan kehadiran yang aneh, sesuatu yang tidak bisa ia lihat tetapi sangat nyata. Langkahnya semakin cepat. Ada yang salah, ia bisa merasakannya.
Tanpa peringatan, seberkas cahaya terang memancar dari balik pepohonan. Isabella berhenti, tubuhnya kaku, memandangi cahaya yang semakin mendekat. Dengan hati-hati, ia melangkah maju, meski dalam dirinya ada rasa takut yang semakin mendalam.
Di antara pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, Isabella melihat sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Sebuah pintu kayu besar berdiri di tengah hutan, terkubur dalam kegelapan. Pintu itu tidak seharusnya ada di sana.
---
Isabella mendekati pintu itu dengan penuh ketakutan. Di atasnya, ada ukiran yang terlihat familiar—liontin yang telah dihancurkannya. Ia merasakan keringat dingin mengalir di sepanjang tengkuknya. Bagaimana bisa?
Tanpa sadar, tangannya terulur, dan jari-jarinya menyentuh gagang pintu itu. Sebuah getaran aneh mengalir ke seluruh tubuhnya, seolah pintu itu sedang mengundangnya.
Tiba-tiba, suara berbisik datang dari dalam hutan. "Isabella... Kembali... Kembali ke tempatmu."
Isabella menarik tangannya seketika, tubuhnya bergemetar. Ia tahu suara itu—suara pria bertopeng yang telah menghancurkan hidupnya. Suara yang begitu mengerikan dan mengintimidasi, namun saat itu juga mengundang rasa penasaran yang tak terhindarkan.
Dengan perasaan campur aduk, Isabella mundur beberapa langkah. Namun, sebelum ia bisa berbalik, pintu itu terbuka dengan sendirinya, menunjukkan sebuah lorong yang gelap dan berangin. Dari dalam, tercium bau busuk yang memuakkan, mencampur dengan aroma tanah basah yang mengingatkannya pada kastil yang telah hancur.
"Isabella... kau tidak bisa melarikan diri," bisik suara itu lagi, kali ini lebih jelas, lebih dekat.
Isabella menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. Ia tahu bahwa jika ia melangkah maju ke dalam, ia mungkin akan mengulangi kesalahan yang sama—membuka kembali pintu yang seharusnya tidak pernah ada.
Tapi, entah mengapa, ia merasa seolah-olah sesuatu yang lebih besar sedang menunggunya di dalam sana. Suatu kekuatan yang lebih kuat dari dirinya.
---
Dengan napas yang tercekat, Isabella mengambil langkah pertama menuju lorong gelap itu. Setiap detik yang berlalu, ia merasa dirinya semakin terperangkap dalam lingkaran yang tidak berujung.
Saat kakinya menyentuh tanah, pintu itu menutup dengan suara gemeretak yang mengerikan, seakan mengunci dirinya di dalam. Dalam sekejap, seluruh ruangan diselimuti kegelapan. Hanya ada desiran angin yang membuatnya merasa lebih kesepian daripada sebelumnya.
"Apakah kau ingin mengakhiri ini sekali dan untuk selamanya, Isabella?" suara itu terdengar lagi, kali ini tidak dari luar, tetapi dari dalam dirinya sendiri.
Isabella menoleh, mencoba mencari sumber suara itu. Hanya bayangan yang bergerak cepat di dalam kegelapan. Lalu, sesuatu bergerak cepat di depan matanya, membuatnya terkejut dan melangkah mundur.
Itu adalah bayangan pria bertopeng, lebih besar, lebih gelap, dengan wajah yang kini semakin kabur dan mengerikan. Matanya bersinar merah, dan setiap gerakannya mengeluarkan suara berderak, seperti tulang yang retak.
"Kenapa kau kembali?" Isabella berteriak, suaranya menggema dalam lorong itu. "Kenapa aku harus kembali ke sini?!"
Bayangan itu hanya tersenyum. "Karena kau adalah bagian dari siklus ini, Isabella. Kau tidak akan bisa melarikan diri."
Isabella merasa seolah-olah dinding-dinding ruangan itu mulai menekan dirinya. Udara semakin sesak. Ia mencoba berlari, tetapi kakinya terasa berat, seolah sesuatu yang tak terlihat menghalangi jalannya.
Tiba-tiba, suara derapan langkah kaki terdengar dari ujung lorong, semakin mendekat, semakin nyata. Isabella merasa ketakutan, namun juga ada rasa penasaran yang tidak bisa ia abaikan. Siapa yang datang?
Ketika sosok itu muncul, Isabella hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Seorang pria berjalan ke arahnya dengan tenang. Dia mengenakan jubah panjang berwarna hitam, wajahnya tersembunyi di balik tudung. Di tangannya, ia memegang sebuah buku besar, dengan sampul yang tertulis dalam huruf yang tidak Isabella pahami.
Pria itu berhenti beberapa langkah darinya. "Kau kembali juga," katanya dengan suara berat.
Isabella menatapnya dengan penuh kebingungan. "Siapa kau?"
Pria itu tersenyum kecil. "Aku adalah penjaga dari semua yang telah kau coba hancurkan. Aku menjaga keseimbangan antara dunia yang kau kenal dan dunia yang tersembunyi di baliknya."
---
Isabella merasa terpojok. "Aku tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang ingin kau lakukan?"
Pria itu mengangkat buku di tangannya. "Kau harus memilih, Isabella. Pilih apakah kau ingin menjadi bagian dari dunia ini atau menghancurkannya untuk selamanya."
Sebelum Isabella bisa menjawab, lorong itu tiba-tiba bergetar hebat. Dinding-dindingnya berderak, dan suara tawa pria bertopeng kembali terdengar mengerikan di udara.
"Ini belum berakhir, Isabella," suara itu berteriak. "Siklus ini akan terus berlanjut, dan kau tidak bisa menghentikannya. Tidak pernah."
Isabella menatap pria yang berdiri di depannya, menyadari bahwa ia sedang berdiri di persimpangan yang lebih gelap dari sebelumnya. Siklus itu tidak akan pernah selesai, dan mungkin, ia adalah satu-satunya yang bisa menghentikannya.
Dengan suara gemetar, ia berkata, "Aku akan menghancurkannya. Sekarang juga."
Pria itu tersenyum. "Jika itu yang kau inginkan."
Dan begitu, Isabella memilih jalan yang lebih gelap—jalan yang harus ia tempuh untuk mengakhiri kegelapan yang tidak pernah bisa ia hindari.