Felicia, seorang mahasiswi, terpaksa menjadi jaminan hutang keluarganya kepada Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam. Dia harus bekerja keras untuk melunasi hutang tersebut, menghadapi tekanan moral dan keuangan, serta mencari jalan keluar dari situasi sulit ini. Hubungannya dengan Pak Rangga pun menjadi kompleks, menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran, kekuasaan, dan keberanian.
Felicia berjuang untuk menyelamatkan keluarganya dan menemukan kebebasan, tetapi tantangan besar menanti di depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Jaminan
Mentari pagi kembali menyapa Kota Bandung, namun suasana di rumah Pak Budi masih diliputi oleh kegelisahan. Pak Budi terlihat lebih murung dari biasanya. Ia duduk termenung di ruang tamu, tatapan matanya kosong. Ia terlihat sangat lelah dan putus asa. Ibu Ani mencoba mendekatinya, memberikan dukungan dan semangat. Namun, Pak Budi hanya diam, tidak merespon.
Lusi, yang memperhatikan orang tuanya dari kejauhan, merasa semakin khawatir. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh ayahnya. Ia ingin berbicara dengan ayahnya, ingin tahu apa yang terjadi. Ia ingin membantu ayahnya mengatasi masalah ini.
Setelah sarapan, Lusi mencoba untuk berbicara dengan ayahnya. Ia mengajak ayahnya untuk berjalan-jalan di taman, berharap bisa berbicara dengan lebih nyaman.
"Pa, aku ingin bicara denganmu," kata Lusi, suaranya lembut. Ia duduk di samping ayahnya, mencoba untuk menenangkannya.
Pak Budi menghela napas panjang. Ia menatap Lusi dengan mata berkaca-kaca. "Sayang, aku… aku sedang mengalami kesulitan keuangan," katanya, suaranya terdengar lirih. Ia mencoba untuk menjelaskan situasinya, namun ia masih enggan untuk bercerita secara detail.
Lusi mendengarkan dengan sabar. Ia mencoba untuk menenangkan ayahnya. Ia mengatakan bahwa mereka akan menghadapi masalah ini bersama-sama. Ia memeluk ayahnya, memberikan dukungan dan semangat.
"Pa, ceritakan semuanya padaku. Aku ingin membantumu," kata Lusi, suaranya penuh keyakinan. Ia merasa harus lebih kuat untuk keluarganya.
Namun, Pak Budi tetap enggan untuk bercerita secara detail. Ia takut Lusi akan terlalu khawatir. Ia ingin melindungi putrinya dari beban dan kekhawatiran. Ia ingin tetap menjadi sosok ayah yang kuat dan tangguh di mata putrinya.
"Tidak apa-apa, sayang. Aku akan mengatasinya sendiri," kata Pak Budi, suaranya terdengar lemah. Ia mencoba untuk menyembunyikan keputusasaannya.
Lusi tidak menyerah. Ia merasa bahwa ia harus tahu apa yang terjadi. Ia ingin membantu ayahnya mengatasi masalah ini. Ia kembali ke kamarnya, mencari petunjuk tentang masalah keuangan keluarga.
Ia memeriksa dokumen-dokumen di meja kerja ayahnya, mencari laporan keuangan dan catatan transaksi. Ia menemukan beberapa dokumen yang mengindikasikan hutang yang besar kepada Rangga, perusahaan properti besar di Jakarta. Jumlah hutang tersebut sangat besar, melebihi kemampuan Pak Budi untuk melunasinya.
Lusi juga menemukan beberapa surat peringatan dari bank, yang mengindikasikan bahwa Pak Budi sedang mengalami kesulitan keuangan. Ia juga menemukan beberapa pesan singkat dari teman-teman Pak Budi, yang menolak untuk meminjamkan uang kepadanya.
Lusi merasa sangat terkejut dan khawatir. Ia tidak menyangka bahwa keluarganya sedang mengalami masalah keuangan yang begitu besar. Ia merasa harus membantu orang tuanya mengatasi masalah ini. Ia bertekad untuk mencari solusi, untuk menyelamatkan keluarganya dari kehancuran. Ia merasa harus lebih dewasa, lebih bertanggung jawab. Ia harus menjadi tulang punggung keluarganya.
Namun, di tengah tekadnya itu, rasa takut dan ketidakpastian mulai menggerogoti hatinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik. Ia harus menemukan cara untuk membantu ayahnya, untuk menyelamatkan keluarganya dari jurang kehancuran. Ia bertekad untuk tidak menyerah, untuk terus berjuang sampai akhir.
Mentari sore mulai tenggelam di ufuk barat, menorehkan warna jingga dan merah di langit Kota Bandung. Namun, kehangatan senja tak mampu menembus suasana mencekam yang menyelimuti rumah keluarga Lusi. Ketegangan telah mencapai puncaknya. Rangga, dengan wajah dingin dan tatapan tajamnya, telah tiba.
Mobil mewah hitam mengkilat berhenti di depan rumah sederhana keluarga Lusi. Dari dalam mobil, muncul sosok Rangga, berpakaian rapi dan berwibawa. Ia berjalan dengan langkah pasti menuju pintu rumah, tanpa menyapa siapa pun. Aura dingin dan tegasnya terasa begitu kuat, mengintimidasi siapa pun yang berada di dekatnya.
Pak Budi, yang sudah menunggu dengan perasaan cemas, menyambut Rangga di pintu. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi dahinya. Ia terlihat sangat tegang. Ibu Ani dan Lusi berada di belakangnya, menatap Rangga dengan pandangan penuh kekhawatiran.
"Masuklah," kata Pak Budi, suaranya gemetar. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun ia tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.
Rangga masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia duduk di sofa ruang tamu, tatapannya tetap tajam dan dingin. Suasana di ruangan itu terasa begitu tegang, hanya terdengar suara detak jantung yang berdebar kencang.
Pak Budi mencoba untuk bernegosiasi dengan Rangga. Ia menjelaskan kembali situasinya, mencoba untuk memohon keringanan pembayaran. Ia menawarkan beberapa asetnya sebagai jaminan, namun Rangga menolak semua tawarannya.
"Saya tidak tertarik dengan aset Anda, Pak Budi," kata Rangga, suaranya dingin dan tegas. "Anda telah berhutang kepada saya selama berbulan-bulan. Anda telah menunda pembayaran berkali-kali. Saya tidak bisa lagi memberikan keringanan."
Pak Budi semakin putus asa. Ia memohon kepada Rangga untuk memberikan sedikit waktu lagi. Ia berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk melunasi hutangnya.
"Saya tidak punya waktu lagi, Pak Budi," kata Rangga, suaranya tanpa ampun. "Anda telah menghabiskan kesabaran saya. Anda tidak mampu membayar hutang Anda. Oleh karena itu, saya akan mengambil tindakan lain."
Rangga menatap Pak Budi dengan tatapan tajam. Ia menyatakan bahwa ia akan mengambil Lusi sebagai jaminan hutang. Kalimat itu seperti petir di siang bolong, menghantam keluarga Lusi dengan keras.
Ibu Ani menjerit, menangis histeris. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia memeluk Pak Budi, mencoba untuk menenangkannya. Lusi terpaku di tempat, matanya berkaca-kaca, tubuhnya gemetar hebat. Ia tidak menyangka bahwa ia akan menjadi korban dari hutang ayahnya.
Pak Budi mencoba untuk mencegah Rangga, namun ia tak berdaya. Rangga tetap bersikeras. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya pilihan lain. Ia harus mengambil tindakan tegas.
Rangga mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya. Ia menyodorkan dokumen tersebut kepada Pak Budi. Dokumen tersebut adalah perjanjian yang menyatakan bahwa Lusi akan menjadi jaminan hutang. Pak Budi menolak untuk menandatanganinya, namun Rangga memaksanya. Ia mengancam akan mengambil tindakan hukum jika Pak Budi menolak.
Dengan tangan gemetar, Pak Budi menandatangani dokumen tersebut. Air matanya mengalir deras. Ia merasa sangat bersalah kepada keluarganya. Ia telah gagal melindungi mereka.
Lusi menangis tersedu-sedu. Ia merasa sangat shock dan terpukul. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi korban dari hutang ayahnya. Ia merasa hidupnya telah hancur. Ia merasa tak berdaya, terjebak dalam situasi yang sangat mengerikan. Kehidupan yang tadinya terasa begitu indah dan penuh harapan, kini berubah menjadi gelap dan penuh keputusasaan.
Rangga meninggalkan rumah keluarga Lusi dengan wajah dingin dan tanpa ekspresi. Ia meninggalkan keluarga Lusi yang hancur dan terpukul.
Lusi, yang tak mampu menahan kesedihannya, menangis tersedu-sedu di pelukan ibunya. Kegelapan malam semakin terasa mencekam, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti keluarga kecil itu.