Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Setelah istirahat semalaman, kondisiku sudah lebih baik pagi ini.
Berulang kali aku menggumam syukur karena tidak mengalami demam. Kata mas Juna, jika suhu badanku naik, aku harus di bawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan intensive.
Tapi semalam, selain mama yang menjagaku, mas Juna ku lihat juga bolak-balik masuk ke kamarku untuk mengecek keadaanku.
Mungkin iguana itu memang ketidak sengajaan mas Juna, sebab dia seperti merasa bersalah sudah membuatku celaka.
Menuruni anak tangga, ku lihat mbak Dini sedang membantu mama memasak sarapan saat langkahku sudah ada di dapur. Wanita itu bersama suami serta anaknya memang menginap di sini.
Sudah kebiasaan mas Reski selalu tidur di rumah mama setiap malam minggu.
"Sayang, kok turun?" Kata mama saat melihatku menghampiri meja makan. "Memangnya sudah enakan?"
"Sudah lebih baik, mah"
"Syukurlah"
Aku duduk, menuang air ke dalam gelas untuk ku minum.
"Sudah nggak ada iguana sayang, mas Juna sudah menjualnya ke mas Gerry"
Mas Gerry adalah teman baik mas Juna. Profesinya dokter juga, tapi dokter hewan.
"Untung nggak kejadian sama si kembar atau Tara. Masih lebih bagus kalau Yura yang celaka, kasihan kalau menimpa anak-anak" Itu kata mbak Dini, yang membuat mama langsung melotot menatapnya.
"Kamu ini ngomong apa, Din? Mau itu menimpa Yura atau siapapun, nggak ada yang lebih baik. Nggak ada yang untung. Namanya musibah, pasti itu buruk"
"Maksudku beruntung bukan anak-anak yang kena mah. Jangan salah paham" Sergah mbak Dini gugup.
"Terus kalau itu menimpa mama, apa juga masih mending dari pada menimpamu?"
"Bukan begitu, mah"
"Bukan begitu gimana? Narasi kamu itu loh, seakan_"
"Mah" Potongku kilat. "Benar kata mbak Dini. Masih mending bukan anak-anak yang celaka"
"Enggak! Mama nggak setuju sama pernyataan kalian. Nggak ada namanya musibah yang mending ini, mending itu, nggak ada" Kesal mama dengan begitu judesnya. "Nggak ada yang menginginkan musibah terjadi pada kita"
Memang benar apa yang mama katakan, dan narasi mbak Dini tersirat kalau seakan-akan dia menyukuri musibah yang aku alami ini.
"Ada apa, ribut-ribut?" Tanya mas Juna yang tiba-tiba memasuki area ruang makan yang menyatu dengan dapur.
"Ini semua gara-gara kamu, Juna! Coba kamu kemarin langsung nurut apa kata mama, nggak usah tuh iguana di bawa pulang, pasti Yura nggak akan kayak gini"
"Maaf, mah"
"Maaf-maaf" Sinis mama. Kini giliran mas Juna yang mendapat tatapan tajam dari sepasang bola mata mama. "Orang tua kalau ngomong itu dengarkan, terus patuhi, jangan malah di bantah"
"Iya, mama.. Aku ngaku salah" Ucapnya sendu. Pria itu lantas duduk di kursi tempat biasa ayah tempati ketika makan. Dia menatapku lekat-lekat, dan aku langsung buru-buru memalingkan wajah. Ku tundukkan kepala menatap gelas yang sedang ku pegang.
"Aku minta maaf, ya. Aku janji nggak akan buat kamu kesakitan lagi"
"Hmm.. Bagus itu. Harus tanggung jawab, antar jemput Yura kalau kerja" Ucap mama.
"Nggak perlu mah" Tolakku cepat, sambil mengangkat kepala lalu memindai wajah mamah.
"Kamu nggak mungkin nyetir sendiri, mama juga nggak ijinin kamu naik grab. Jadi biarkan pria nakal ini mengantarmu kemana kamu pergi selama kamu belum sembuh"
"Aku bisa sendiri kok, mah. Jangan terlalu memanjakanku"
"Nggak apa-apa, Ra. Aku masih ada cuti dua minggu. Aku siap jadi supir kamu"
Ku telan ludah usai mendengar kalimat mas Juna.
Ada angin apa, kenapa pria itu benar-benar jadi baik?
Tunggu!! Mengenai obrolan mas Juna dengan papa kemarin, kenapa mas Juna sering menghubungi ustad Zaki saat tugas di Papua?
Dia belajar agama? Makannya berubah seratus delapan puluh derajat?
Baguslah, kalau itu benar.
"Hari ini jadi ke rumah ummah, sayang?" Tanya mama sambil menata piring-piring untuk sarapan.
"Jadi, mah"
"Ada urusan apa sama ummah Khadijah?"
"Nggak ada urusan apapun, mah. Cuma pengin main aja"
"Nanti ku antar, kebetulan aku juga mau menemui ustad Zaki"
Mama langsung memindai wajah mas Juna.
"Kamu lagi, ada urusan apa sama ustad Zaki?" Tanya mama penuh selidik.
"Kan belum ketemu sejak pulang dinas, pengin ketemu, lah"
Kemudian hening, dari kami tidak ada yang bersuara hingga beberapa detik.
"Ke rumah ummah jam berapa, Ra?" Tanya mas Juna.
"Jam dua"
Pria itu hanya mengangguk seraya mengunyah roti tawar yang baru di gigitnya.
****
Jujur aku masih belum percaya dengan sikap mas Juna yang berubah menjadi sangat baik.
Terlintas bayangan perlakuannya di masa lalu membayang-bayang dalam pikiranku. Dia yang pernah menyuruhku mengerjakan PRnya, padahal jelas dia tahu aku tidak bisa, tapi masih memaksa, pernah juga aku mencuci mukena-mukena milik sekolah dia jaman SMA, gara-gara mas Juna nongkrong di kantin saat jam pelajaran, guru BP menghukum dan menyuruhnya membawa pulang mukena untuk di cuci. Ada lagi saat mas Juna ketahuan merokok, dan guru menghukumnya untuk mencatat ulang materi yang ada di lembar tugas siswa, mas Juna pun menyuruhku menuliskan sebanyak lima lembar. Juga saat mama memarahinya, maka dia akan membalas dengan memarahiku habis-habisan.
Ah masih banyak lagi perlakuan buruk mas Juna padaku dulu.
Dan kini sikap mas Juna berbanding terbalik dengan sikapnya saat dulu.
Dia bahkan sampai rela membukakan pintu mobil untukku, padahal sebelumnya jangankan membukakannya, masa bodoh mau naik mau enggak, dan jika kelamaan, dia akan meninggalkanku.
"Makasih" Kataku datar.
"Kamu temuin ummah ya, aku mau ke pendopo buat nemuin ustad Zaki"
"Iya"
"Kalau sudah selesai urusanmu, kamu bisa menelfonku"
"Iya" Sahutku lagi.
Mas Juna langsung mengarahkan kakinya menuju tempat biasa untuk kajian, sementara aku melangkah ke rumah ustad Zaki, menemui ummah.
"Assalamu'alaikum" Aku sedikit kaget sebab ternyata sudah ada Hasan tengah mengobrol dengan ummah dan juga ustad Zaki.
"Wa'alaikumsalam, Yura" Ummah tersenyum. Tak ada raut terkejut saat melihat lukaku.
"Gimana lukamu?" Tanya ummah saat aku mengecup punggung tangannya.
"Sudah membaik, ummah. Kok ummah tahu?"
"Iya, tadi pagi mamah kamu telfon, terus kasih tahu kalau kamu jatuh"
"Oh!"
"Berhubung nak Yura sudah datang, saya tinggal dulu ya, nak Hasan, sudah waktunya anak-anak mengaji" Ustad Zaki bangkit dari duduknya. "Ada ummah yang akan temani kalian"
Iya, ustad" Sahut Hasan. Dan aku menyunggingkan senyum tipis.
Di jam segini beliau memang harus mengajar ngaji untuk para santrinya. Ada mas Juna yang sepertinya akan beliau temui.
Selang sekian detik aku ambil posisi duduk setelah di persilakan oleh ummah.
Dengan perasaan canggung campur gugup, juga malu-malu, aku dan Hasan mulai melakukan penjajakan dengan saling melempar pertanyaan dan jawaban.
Menit berganti, banyak hal yang sudah kami bicarakan mengenai seputar pernikahan, karir, maupun kehidupan sehari-hari. Juga tentang keluarga kami masing-masing.
Dari sini aku bisa menilai kalau mas Hasan adalah pria tampan, mapan, dan berwiba. Sejajar dengan ilmu agama yang sepertinya tidak di ragukan lagi kesholehannya.
Sampai kemudian sepasang netraku tiba-tiba mendapati mas Juna berdiri di luar rumah, tepatnya bersembunyi di balik pilar besar yang menyangga teras rumah.
Wajahnya sendu sementara matanya menyorot nanar.
Ada apa dengannya? Kenapa aku mendadak gelisah?
Bersambung.
Tadi malam kirain sudah di up, pas lihat draft kok masih utuh, dan belum ada part lanjutannya. Eh ternyata mimpi..
bgitulah kl pnya rasa iri sama orang baik,ada aja balesannya din 😏😏
smg dengan ini dini bisa sadar dan lbh baik lg sikap sm yura..krn yura tdk ada masalah sm dini..yg ada sini membuatasalah sendiri dengan iri hatiy..
ini maksudnya si dini udah pernah keguguran ya? kasian sih tapi mungkin akibat busuk hati sama yura tuh
q bacanya sambil senyam senyum Dewe..