WARNING ***
HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN!!!
Menjadi istri kedua bukanlah cita-cita seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun bernama Anastasia.
Ia rela menggadaikan harga diri dan rahimnya pada seorang wanita mandul demi membiayai pengobatan ayahnya.
Paras tampan menawan penuh pesona seorang Benedict Albert membuat Ana sering kali tergoda. Akankah Anastasia bertahan dalam tekanan dan sikap egois istri pertama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikmatinya
Saat Ana hendak keluar dari kamar, Ben menghentikannya. Laki-laki itu menarik Ana untuk kembali naik ke atas tempat tidur dan menindih tubuh gadis itu dengan posesif.
Ana tidak menolak, gadis itu menutup mata dan menikmati setiap sentuhan tangan kekar di tubuhnya. Saat tangan Ben mulai turun dan meraba, seluruh syaraf dalam tubuh gadis itu mengejang.
"Kita bisa melakukannya?" tanya Ben berbisik. Ia tidak merasakan halangan apapun di bagian bawah tubuh istrinya. Laki-laki itu menggigit kecil telinga Ana, membuat seluruh bulu kuduk Ana meremang.
"Hmm." Ana mengangguk. Tidak ada gunanya menolak, memang inilah tujuan mereka menikah.
Melihat gadis dalam dekapannya setuju, Ben tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Dengan perlahan tapi pasti, Ben mulai melepas semua kain yang menghalangi penglihatannya.
Mereka memulai permainan dengan baik. Sebagai laki-laki berpengalaman, Ben terus membimbing Ana agar bisa mencari titik tertentu untuk merangsang seluruh syaraf tubuhnya.
Untuk saat ini, Ben dan Ana tidak peduli tentang keberhasilan hubungan ini. Mereka hanya ingin menikmatinya, melakukannya, dan menuangkan seluruh hasrat yang tengah menggelora.
Decit suara tempat tidur yang rapuh terdengar berisik, namun sama sekali tidak menjadi penghalang. Ben tidak segan-segan mengguncang rumah ini demi mengerahkan seluruh kekuatannya.
Ana mengerang, ia menggigit bibir bawahnya untuk mengurangi suara rintihan yang tak tertahankan. Dengan kekuatan penuh, Ben membiarkan seluruh tenaga berpusat pada satu titik yang sedang bekerja.
Tidak satupun di antara mereka peduli saat suara tempat tidur semakin menjerit. Saat keduanya hampir mencapai puncak, ranjang tua itu tidak lagi bertahan menahan beban.
"Aww!!!" Ana hampir berteriak ketikan kasur telah jatuh ke lantai dan ranjang kayu itu hancur di bawah tubuhnya.
"Kita menghancurkannya?" tanya Ben sambil mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Tidak, kau yang menghancurkannya," jawab Ana sambil tertawa kecil. Keduanya bersenang-senang dan menyelesaikan permainan mereka setelah puncak telah tergapai bersama.
Ben berguling dan berbaring di samping Ana, menatap gadis yang sedang tertawa karena ranjangnya telah hancur akibat ulah mereka.
"Jangan khawatir, aku akan membeli ranjang baru yang lebih kuat," ucap Ben sambil mnarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka berdua.
"Kita harus punya ranjang dengan rangka besi agar kau bisa mengerahkan seluruh tenagamu," canda Ana.
"Ah, bagaimana jika rangka besi berlapis baja? Aku khawatir kita juga akan menghancurkannya," ujar Ben. Ia gemas melihat Ana meledek kekuatannya.
Setelah sekian lama bersama, ini adalah tawa pertama Ana yang Ben lihat. Gadis itu nampak tertawa senang dengan tulus.
"Kau terlihat lebih cantik saat senang dan ceria. Lihat, kau menggemaskan," ucap Ben. Ia mengusap rambut Ana.
"Hmm, benarkah? Dulu aku gadis periang, tapi setelah kematian ibu dan ayah jatuh sakit, duniaku berubah," jawab Ana. Gadis itu berbaring miring sambil meletakkan tangannya di atas dada Ben.
"Maka Ana yang dulu harus kembali. Aku akan membantu pengobatan ayahmu meski Rosalie menghentikannya. Jangan khawatir."
"Benarkah? Terima kasih."
"Aku tidak akan menerima ucapan terima kasih seperti ini," ucap Ben. Laki-laki itu mengangkat sebelah kaki Ana dan meletakkannya di atas perutnya. "Aku mau kau seperti ini," lanjutnya.
Ana merasa heran, apakah di pikiran laki-laki itu hanya ada keinginan untuk melakukan ini?
"Kenapa? Kau berpikir aku mesum?" tanya Ben. Ia melihat tatapan aneh Ana pada dirinya.
"Bagaimana kau tahu?"
"Ah, aku bisa membaca pikiranmu," jawab Ben. Lagi-lagi Ana tersenyum, membuat laki-laki itu sangat senang.
"Kenapa kita tidak melakukan program bayi tabung? Bukankah hasilnya akan lebih menjanjikan?"
"Kau masih muda dan sehat, untuk apa kita melakukannya? Untuk apa aku meminta dokter menanam benih di rahimmu sementara aku masih sanggup melakukannya sendiri?" Ben balik bertanya.
"Ah, baiklah. Itu jawaban masuk akal, namun semua ini akan membuat Kak Rose cemburu dan tersakiti."
"Dia yang memutuskan. Aku sudah menolaknya berkali-kali sebelum dia menawarkanmu," ujar Ben.
Ana hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala pelan, berpikir jika Ben hanya ingin menggodanya dengan memberi jawaban yang membuatnya malu.
Ben memeluk Ana, membenamkan wajah gadis itu di depan dadanya. Saat keduanya masih asik bertukar cerita, terdengar suara ponsel Ben yang berdering terus menerus dari arah ruang tamu.
"Sepertinya ada telepon," ujar Ana.
"Aku tidak ada pekerjaan, lalu siapa yang menelepon?" Ben balik bertanya.
"Kak Rose, mungkin."
"Ah, Rosalie." Ben menggaruk rambutnya.
"Tunggu di sini, aku akan mengambilnya," sela Ana. Gadis itu beranjak dari tempat tidur dengan bagian depan tubuh yang hanya di tutupi oleh kaos milik Ben.
Setelah menemukan ponsel milik suaminya, Ana kembali masuk ke dalam kamar.
"Sepertinya memang Kak Rose," ucap Ana sambil menyerahkan ponsel tanpa ingin melihatnya terlebih dahulu.
Namun Ben tidak langsung melihat ponselnya, laki-laki itu lebih tertarik untuk mengambil kaos miliknya dan membiarkan tubuh Ana terekspos oleh matanya.
"Hei!" Ana berteriak. Ia segera naik ke atas tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
Saat Ben kembali merangkak di atas tubuh istrinya, dering ponsel kembali mengganggu.
"Rosalie," gumam Ben.
🖤🖤🖤
karena tidak semua hal di dunia ini terwujud sesuai keinginan mu