Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Psikop4t Gila
...----------------...
"Heri, kalau ngomong jangan sembarangan! Bang Ryan kenal si Rara juga belum lama. Mau modus apa dia?" Mita dengan cepat menyanggah perkataan Heri. Sebagai penggemar berat Ryan, gadis itu tidak rela jika idolanya difitnah seperti itu.
"Dih, memangnya lo lupa insiden waktu Rara lomba peragaan busana? Bukannya lelaki itu yang tiba-tiba naik panggung terus meluk si Rara. Padahal katanya Rara nggak kenal sama dia."
Bukan hanya wajah Ryan yang terlihat panik dengan perkataan Heri, Rara pun sama paniknya. Gadis itu sudah berjanji dengan Ryan agar tidak mengungkit masalah tersebut di depan orang tua Rara. Sesuai kesepakatan mereka semenjak merawat kucing kesayangannya.
Kedua mata Rara langsung melotot tajam kepada Heri agar lelaki itu berhenti berkata. Ingin sekali rasanya membungkam mulut lelaki itu. Benar-benar tukang ikut campur.
"Memangnya ada kejadian kayak gitu, Ra? Kok, kamu nggak pernah cerita sama ibu dan bapak?" tanya Aji penasaran.
Pandangan Rara langsung beralih kepada Aji, lalu menggigit bibir bawahnya sembari berpikir. Ekor matanya melirik ke arah Ryan seolah meminta pertolongan, tetapi lelaki itu masih terdiam. Dia juga bingung mau berkata apa untuk menjelaskan.
"Ehm ... sebenarnya ... itu cuma kesalahpahaman aja, Pak. Bang Ryan cuma salah orang waktu itu. Iya, kan, Bang?" Rara bertanya pada Ryan sambil menautkan kedua alisnya diiringi kode kedipan mata. Seolah memberikan kode agar Ryan selaras dengan alasannya tersebut.
Akan tetapi, Ryan masih enggan membuka mulutnya. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Sangat sulit untuk dilontarkan.
"Bohong, Pak. Aku yakin laki-laki itu memang punya modus jahat sama Rara. Waktu itu dia sampe berdebat dengan Kepala Sekolah. Dia kekeuh ngaku-ngaku pacarnya Rara. Padahal Rara aja nggak kenal sama dia. Semua orang di sekolah juga nyangka kalau dia itu 'si psikop4t gila'." Heri langsung menyanggah. Ia menjelaskan kejadian waktu itu sekaligus menuduh Ryan yang tidak-tidak.
Tak berhenti di sana, tatapan Heri pun beralih kepada Rara dengan tatapan tajam, "Lo kenapa jadi belain dia, sih, Ra? Bukannya lo benci banget sama dia? Jangan-jangan dia udah ngelakuin sesuatu sama lo ...."
"Ngelakuin apa maksudnya?" Salma yang ikut mendengarkan sedikit terganggu dengan perkataan Heri. Sebagai seorang ibu, tentu dia merasa khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap anak gadisnya itu.
"Lo bisa diem nggak, sih? Omongan lo tadi bisa menimbulkan fitnah tahu!" geram Rara.
"Iya, ih. Lo nggak punya hak buat nggak percaya sama bang Ryan. Dia bukan orang jahat. Buktinya, si Rara baik-baik aja sampe sekarang." Mita ikut menimpali.
Ryan masih bergeming sambil berpikir. Ia tidak menyangka jika lelaki yang bernama Heri itu akan mengungkap kejadian waktu itu di hadapan orang tua Rara. Ryan bingung mau memulai dari mana menjelaskannya. Mau jujur juga tidak akan ada yang percaya.
"Kalau gitu biar Nak Ryan saja yang menjelaskan semuanya. Apa benar apa yang dikatakan oleh Nak Heri tadi?"
Ryan meneguk saliva. Ia belum mendapatkan jawaban yang tepat untuk menyanggah perkataan Heri. Otaknya tiba-tiba saja buntu. Pandangannya menatap wajah setiap orang satu-persatu dengan tatapan yang sulit diartikan. Apakah Ryan harus jujur sekarang?
"Bang Ryan pasti agak berat jika mengingat kejadian itu lagi, Pak." Rara membantu Ryan mengawali pembicaraan.
"Cuma disuruh jawab aja, kenapa berat? Lagian bapak nggak minta kamu yang jawab." Aji tidak mau mendengarkan Rara. Tatapannya seperti mendesak Ryan untuk bersuara.
Hening sejenak melingkupi atmosfer di sana. Tatapan semua orang tertuju kepada Ryan, membuat lelaki itu semakin gugup saja. Rasanya seperti ditodong memakai senjata di kepala. Namun, Ryan harus menghadapinya. Cepat atau lambat kejadian itu pasti akan terdengar juga oleh orang tua Rara. Dia harus punya alasan yang tepat untuk menjelaskannya.
"Ehm ... Heri memang benar. Waktu itu, aku memang seperti psikop4t gila yang tiba-tiba memeluk Rara dan mengaku sebagai pacarnya." Pengakuan Ryan tersebut membuat semua orang di sana sontak ternganga.
Salma sampai bergerak mendekati Rara lalu memeluk tubuh anaknya itu seolah memberikan perlindungan dari Ryan. Ia takut jika Ryan melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Namun, tak ada satu pun di antara mereka yang berani menyanggah. Mereka seperti menunggu Ryan untuk melanjutkan kalimatnya.
"Itu karena Rara sangat mirip dengan pacar aku yang sudah meninggal dunia. Mirip sekali ...." Ryan sejenak menjeda kalimatnya. Tatapannya menerawang sambil menatap wajah cantik Rara. Sudut matanya pun mulai berkaca-kaca.
"Aku pikir pacarku telah hidup lagi. Makanya aku terus mencari informasi dan kebetulan rumah kalian dikontrakkan. Aku seperti mendapatkan kesempatan untuk mencari informasi lebih banyak tentang Rara. Tapi ... setelah beberapa saat aku tinggal di sini, aku tahu jika mereka adalah orang yang berbeda. Jujur aku menyesal telah melakukan itu. Aku minta maaf," lanjut Ryan dengan sorot mata penuh penyesalan.
Penjelasan itu cukup meyakinkan keluarga Rara. Terlihat dari caranya mereka menatap Ryan dengan tatapan iba. Namun, hati Ryan masih ketar-ketir karena orang tua Rara masih diam saja. Dia berpikir jika alasan tersebut bisa lebih mudah dicerna daripada harus mengatakan jika Ryan mengalami perjalanan waktu dari masa depan.
...----------------...
...To be continued...