Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17.
Seorang pemuda dengan perlahan mendekatinya.
"Maaf, Pak, saya Mumu. Apakah boleh saya melihat kondisi putri, Bapak?"
"Apakah kamu seorang tabib?" Bukannya menjawab pertanyaan Mumu, Pak Samsur malah bertanya balik.
Orang-orang yang datang sebelumnya rata-rata sudah berumur paruh baya. Ada juga yang agak muda tapi tak lah semuda pemuda yang di hadapannya ini.
"Dikatakan tabib tidak juga, Pak. Cuma bisa sedikit mengobati patah tulang atau terkilir." Jawab Mumu merendah.
Pak Samsur berfikir sejenak lalu tak lama kemudian dia langsung menyunggingkan senyumnya dan berkata, "Ayo di sebelah sini." Pak Samsur tak mau merendahkan orang lain. Beda waktu dia masih muda dahulu. Seiring bertambahnya usia maka pengalaman hidup juga bertambah.
Ibaratkan kelapa semakin tua semakin banyak santannya. Semakin tua semakin banyak pengalamannya.
Mumu langsung mengikuti Pak Samsur memasuki ruangan samping yang ternyata adalah ruangan TV.
Putrinya sedang menonton sambil berbaring. Di sebelahnya duduk dengan manis Buk Maya ibu Mala. Dilihat secara kasat mata, Malasepertinya sama sehat dengan orang lainnya cuma karena pelapukan pada tulang membuat dia tak bisa beraktivitas seperti orang lain. Di telinganya ada semacam alat bantu dengar yang dipasang di sana.
"Siapa nama putri Bapak?" Tanya Mumu.
"Malahayati. Panggilannya Mala." Jawab Pak Samsur.
Mumu berjalan mendekati Mala, "Mala sedang nonton apa?" Sapanya.
Mala melihat Mumu dengan penuh selidik. "Nonton Tv." Jawabnya manyun. Mungkin dia mulai bosan dengan kedatangan orang-orang yang menganggu ketenangannya.
Oleh karena itu Mumu sengaja mengobrol terlebih dahulu dengan Mala.
Pak Samsur hanya melihat dari samping. Anak muda ini boleh juga pikirnya.
Setelah Mala menjadi terbiasa, Mumu berkata dengan lembut, "Biar abang pegang sebentar tangannya ya, Mala. Mana tahu ada penyakit di tangan Mala bisa nanti abang ambil."
Mala tidak berkata apa-apa. Dia langsung menjulurkan tangannya.
Mumu mendiagnosis melalui pergerakan urat nadi dan aliran darah.
Sepuluh menit kemudian ia kembali membuka matanya dan menoleh ke arah Pak Samsur.
"Saya lihat penyakit anak Bapak sudah lumayan parah. Penyakit ini membawa dampak buruk terhadap organ tubuh yang lain jika dibiarkan terlalu lama.
Pendengarannya terganggu juga efek samping dari penyakit yang dideritanya."
Pak Samsur sedikit terkejut dengan hasil diagnosa Mumu tapi dia tak menampakkan di wajahnya. Sebaliknya setelah melirik sebentar ke arah istrinya, lalu dia bertanya, "Penyakit apa sebenarnya yang diidap putri kami menurutmu? Kami sangat berterima kasih sekali jika kamu bisa mengobati putri kami ini."
Mumu tahu jika pertanyaan itu bukan ingin mengetahui penyakit putri mereka tapi lebih kepada keingintahuan mereka terhadap kemampuannya.
Setelah menghela nafasnya, Mumu berkata, "Saya tidak menjamin bahwa diagnosa saya sudah benar seratus persen tapi menurut saya, anak Bapak ini mengidap penyakit tulang rapuh. Saya tak tahu istilah medisnya apa, tapi yang jelas penyakit ini biasanya karena kelainan genetik yang dialami sejak lahir."
Pak Samsur dan istrinya ternganga. Penjelasan Mumu sesuai apa yang dikatakan oleh dokter rumah sakit ternama.
Penyakit anaknya dikenal sebagai Osteogenesis Inperfecta. Saat ini belum ada obatnya. Hanya sebatas penanganan dengan cara fisioterapi dan rehabilitasi.
Tapi mereka berdua tak ingin melihat anak mereka menderita jika harus difisioterapi mau pun rehabilitasi.
"Tolong obati anak kami, Mumu! Berapa pun biayanya akan kami tanggung." Mohon Pak Samsur.
Kali ini dia benar-benar berharap.
Pada awalnya dia hanya sekadar menganggap Mumu sebatas anak muda yang tertarik akan imbalannya saja. Tapi sekarang pandangannya jauh berbeda.
Mungkin inilah orang yang berjodoh untuk bisa menyembuhkan putrinya.
Tapi harapannya menjadi sirna ketika melihat Mumu menggelengkan kepalanya dan berkata, "Mohon maaf Bapak, Ibuk, saya tidak bisa mengobati putri anda."
"Kenapa??" Pak Samsur dan istrinya merangsek maju. "Apa yang kamu inginkan? Uang, rumah, mobil? Kami akan penuhi. Tapi tolong...tolong sembuhkan anak kami." Ucap Pak Samsur dengan mata memerah.
Buk Maya masih bisa berfikiran jernih. Tadi dia mendengar Mumu berkata 'Tak bisa' bukan tak mau atau tak mampu. Tentu ada alasan di balik itu.
"Duduk dulu, Yah!" Buk Maya membawa suaminya duduk di kursi dan mempersilahkan Mumu duduk di kursi yang lain.
"Mumu," Panggilnya pelan sambil menatap ke arah Mumu.
Kalau boleh tahu apa alasan kamu mengatakan tidak bisa mengobati putri kami? Ibuk kira kamu punya kemampuan untuk itu. Kamu juga bukan tipe orang yang materil dan juga bukan termasuk orang yang tanpa belas kasihan."
"Ibuk terlalu tinggi menilai saya." Ujar Mumu dengan nada malu.
"Saya tak yakin mampu menyembuhkan penyakit Mala seratus persen tapi saya bisa mengurangi sedikit penderitaannya." Pak Samsur mau berkomentar tapi langsung dihentikan oleh istrinya.
"Tapi yang jadi persoalannya adalah metode pengobatan saya tidak bisa saya praktekkan kepada Mala."
"Apa masalahnya?" Tukas Pak Samsur.
"Metode pengobatan saya adalah dengan cara urut dan jarum akupuntur di tubuh pasien. Karena penyakit yang diderita Mala, saya harus mengurut dan menancapkan jarum akupuntur di sekitar tubuh yang terlarang tanpa dibatasi oleh pakaian atau sejenisnya. Jadi saya harap Bapak dan Ibuk mengerti akan alasan saya."
Pak Samsur dan istrinya saling pandang. Ini memang suatu masalah yang pelik. Masih baik-baik saja jika mereka berdua setuju dengan alasan demi kesembuhan putri mereka. Tapi bagaimana dengan Mala?
Apakah dia mau tubuhnya diperlihatkan kepada orang lain? Sedangkan kepada orang tuanya saja dia malu.
"Bisakah kamu membiarkan kami berdiskusi dengan Mala sebentar, Mumu?" Tanya Buk Maya.
"Baik, Buk." Mumu pun langsung ke luar dan duduk di teras rumah.
Setengah jam berlalu dalam sekejap mata.
Tak lama kemudian Pak Samsur datang.
"Akhirnya Mala sudah setuju. Mari Bapak antar ke kamarnya." Ajak Pak Samsur langsung.
Kamar Mala berada tak jauh dari ruang TV tadi.
Setelah mempersilahkan Mumu untuk masuk, Pak Samsur langsung menutup pintu dari luar. Dia tidak ikut masuk.
Kini hanya mereka bertiga yang berada di kamar itu.
"Bisa kita mulai sekarang, Buk?" Buk Maya mengangguk. Sedangkan wajah Mala memerah jengah.
"Mohon Mala tidak berfikiran buruk terhadap Abang! Ini demi pengobatan. Tolong berbaring tengkurap dan alat pendengarannya dilepas saja." Ujar Mumu dengan nada minta maaf.
Jika masih ada pilihan, Mumu lebih memilih tidak mengobati Mala. Tapi penyakit Mala sudah sangat parah.
Ada hal yang tidak ia sampaikan tadi kepada Pak Samsur dan Buk Maya. Dampak penyakit Mala bukan hanya mempengaruhi pendengarannya tapi sudah mulai merembes ke jantung.
Jika tidak cepat diobati, Mumu tak yakin apakah Mala bisa bertahan hidup dalam sebulan. Tapi kembali lagi, kehidupan, kematian dan jodoh berada dalam lingkar takdir yang Maha Kuasa.
Mumu hanya bisa memprediksikan saja dengan melihat tanda-tanda di tubuh Mala.
Mumu mengeluarkan jarum perak dari tas kecil yang selalu dibawa ke mana-mana.
Setelah diseteril dengan air panas yang tadi diminta olehnya Mumu mulai menancapkan jarum tersebut di titik-titik saraf bagian punggung tubuh Mala.
Mala hanya bisa menggigit bibir saat jari Mumu mengenai tubuhnya.
Sedangkan Buk Maya duduk di samping dengan mata tak berkedip.
...****************...
Raminten