Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mendiamkan
Calista terus saja menjadi misteri bagi Kenneth sejak perpisahannya dengan Randy. Sudah hampir dua minggu berlalu, tetapi sikap Calista yang jutek dan acuh membuat Kenneth semakin bingung. Hubungan yang awalnya tampak tenang berubah menjadi situasi penuh ketegangan dan konflik, dengan Calista sering kali meledak dalam kemarahan tak jelas atau menjadi sangat diam hingga Kenneth tidak tahu harus berbuat apa.
Pagi itu hujan turun sangat lebat. Calista duduk di meja makan dengan wajah kosong, memandangi piring di depannya. Kenneth sibuk menyiapkan makanan, berharap bisa membujuk Calista untuk makan dengan baik kali ini. Meskipun hampir selalu berakhir dengan penolakan, Kenneth tetap berusaha, merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan Calista yang tengah hamil.
"Jangan bengong, ini makan buburnya," ujar Kenneth dengan nada lembut, meletakkan semangkuk bubur di depan Calista.
Calista memandang bubur itu tanpa minat, memasukkan satu sendok ke mulutnya, tetapi wajahnya tiba-tiba berubah.
"Huekk..." Calista berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan bubur yang baru saja ia makan.
Kenneth hanya bisa menghela napas panjang, mengerti bahwa morning sickness yang dialami Calista semakin sulit dihadapi. Ia pun mengikuti Calista ke kamar mandi, membantunya dengan memijat lembut lehernya, berharap bisa sedikit meringankan rasa tidak nyaman yang dialami istrinya. Setelah beberapa saat, Calista tampak sedikit lebih baik, dan Kenneth membawanya kembali ke ruang tamu.
Calista duduk di sofa, tatapannya kembali kosong, seakan tidak ada hal di dunia ini yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Kenneth, yang sudah terbiasa dengan suasana hati Calista belakangan ini, mendekatinya dengan susu dan sepiring potongan buah.
"Makan buahnya ya, Cal. Biar perutmu nggak kosong," Kenneth berusaha menawarkan buah dengan nada sehalus mungkin, tetapi tangannya langsung ditepis oleh Calista.
"Nggak," jawab Calista dingin, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Kenneth menahan emosinya. Ia tahu, ini bukan salah Calista sepenuhnya. Perubahan hormon dan emosi yang tidak stabil selama kehamilan memang sering membuat seorang perempuan menjadi lebih sensitif. Namun, kesabaran Kenneth mulai diuji. Ia mencoba lagi menyuapi Calista dengan sepotong buah, tapi sekali lagi, tangannya ditepis.
"Calista, makan!" Kenneth akhirnya membentak. Ini pertama kalinya ia bersikap begitu kasar pada istrinya, dan itu pun terjadi karena ia benar-benar sudah berada di ujung kesabarannya.
Calista terkejut mendengar nada suara Kenneth yang tinggi, tapi ia tidak mau kalah. "Aku nggak mau! Jangan paksa aku!" bentak Calista balik.
Kenneth menaruh piring buah itu dengan kasar ke atas meja, dan piring itu pecah berkeping-keping. Amarahnya tidak lagi bisa ditahan. Ia sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjaga ketenangan, tetapi hari ini semua usahanya seperti tak berarti.
"Bisa nggak sih kamu berhenti egois, Cal? Kamu harus makan! Kamu nggak cuma mikirin diri sendiri sekarang, ada anak kita di dalam sana!" Kenneth hampir berteriak, emosinya meluap.
Calista terdiam sesaat, tapi kemudian balas berteriak, "Aku nggak pernah minta kamu buat peduli! Jangan ngatur-ngatur aku!"
Kenneth menatap Calista dengan mata berkaca-kaca, merasa seluruh usahanya untuk menjaga Calista selama ini sia-sia. "Aku suami kamu, Cal. Aku berhak ngatur kamu kalau itu buat kebaikan kamu dan anak kita. Aku cuma nggak mau kamu atau anak kita kekurangan gizi. Kamu tuh lagi hamil, Cal! Ini bukan soal kamu doang."
"Aku nggak peduli!" teriak Calista, matanya penuh amarah dan kepahitan yang mendalam.
Kenneth merasa seperti tertusuk. Sakit hati yang dirasakannya semakin mengeras. "Ini semua karena Randy, kan? Yaudah, pergi aja sama dia kalau itu yang kamu mau! Aku capek, Cal! Aku udah coba, tapi di hidup kamu cuma ada Randy! Kamu sama sekali nggak lihat aku!"
Ucapan Kenneth itu seperti memukul Calista tepat di jantung. "Stop! Kenneth, stop! Kamu nggak tau apa-apa! Aku lama-lama bisa gila kalau kamu terus-terusan kayak gini!" teriak Calista, air matanya jatuh deras. Ia merasa terpojok, terbakar oleh rasa bersalah yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Aku nggak butuh kamu peduli! Aku nggak butuh apa-apa dari kamu!" teriak Calista lagi, sebelum berlari ke lantai atas dan membanting pintu kamarnya dengan keras.
Kenneth hanya bisa terdiam di ruang tamu, merasakan amarah dan keputusasaan yang menguasai dirinya. Ia tidak pernah bermaksud untuk bersikap kasar atau menyakiti perasaan Calista, tetapi situasi ini sudah terlalu sulit baginya. Ia mencintai Calista, tetapi sulit baginya untuk terus menghadapi sikap dingin dan ketidakpedulian istrinya.
Setelah beberapa saat, Kenneth mulai membereskan pecahan piring yang tadi ia banting. Tindakan itu seperti ritualnya untuk mendinginkan kepala. Meskipun pecahan piring itu kecil dan sepele, ia merasa seperti tengah membereskan serpihan-serpihan hatinya sendiri. Ia tidak ingin menyerah pada Calista, tetapi ia juga merasa semakin terpojok dalam hubungan yang dipenuhi oleh rasa sakit.
Kenneth merenung saat membersihkan ruang tamu. Ia tahu bahwa kemarahan Calista mungkin berakar dari rasa kehilangan yang dalam terhadap Randy, pria yang pernah sangat dicintainya. Meskipun Kenneth ingin memahami itu, sulit baginya untuk menerima bahwa Calista masih belum bisa melupakan Randy. Kenneth telah berusaha keras untuk membangun kehidupan baru bersama Calista, terutama setelah mengetahui bahwa mereka akan memiliki anak. Tapi rasa cemburu dan kekhawatiran bahwa Calista mungkin masih mencintai Randy, membuat Kenneth terus merasa tidak pernah cukup bagi istrinya.
Setelah selesai merapikan ruang tamu, Kenneth memutuskan untuk memberi waktu bagi Calista. Ia tahu bahwa memaksa Calista untuk bicara atau makan saat ini tidak akan menyelesaikan masalah. Kenneth juga tidak ingin pertengkaran mereka semakin membesar. Mungkin yang dibutuhkan Calista adalah ruang untuk menyendiri dan menenangkan diri.
Sementara itu, di kamar atas, Calista menangis terisak-isak, berbaring di tempat tidur dengan wajah tertutup bantal. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Ia tahu bahwa Kenneth benar, bahwa ia harus menjaga kesehatan dirinya dan bayinya. Tapi perasaan bersalah dan kehilangan terhadap Randy masih menghantui setiap sudut pikirannya. Ia tahu bahwa Kenneth mencintainya, tetapi cinta itu terasa berat dan penuh tekanan.
Di sisi lain, Calista tidak bisa begitu saja menghapus kenangan tentang Randy, meskipun ia tahu bahwa jalan hidup mereka kini sudah berbeda. Calista merasa tersesat di antara masa lalu yang menghantuinya dan masa depan yang semakin menekan.