Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konten yang Mulai Menyebar
Keesokan harinya, Luvi memulai langkah pertamanya. Di pagi yang cerah, dia menyiapkan kamera, tripod, dan pencahayaan seperti biasa di apartemennya. Kali ini, isi kontennya sedikit berbeda dari yang biasa ia buat. Alih-alih sekadar vlog ringan atau cerita sehari-hari, Luvi memilih untuk membahas ketidakadilan ekonomi yang sedang banyak dibicarakan.
“Ada yang harus kita bahas, guys,” suara Luvi terdengar mantap di depan kamera. “Akhir-akhir ini, gue nggak bisa berhenti mikirin satu hal—kenapa rakyat kecil makin hari makin susah? Gue tau, ini bukan hal yang sering kita obrolin di sini, tapi gue rasa ini penting.”
Setelah selesai merekam, Luvi segera mulai mengedit video tersebut. Dengan keahliannya sebagai konten kreator, ia membuat konten yang menarik dan mudah dipahami, namun di dalamnya tersembunyi pesan-pesan yang kuat tentang ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat. Ketika video itu akhirnya diunggah, Luvi duduk dengan jantung berdebar-debar, menunggu reaksi dari penontonnya.
Sementara itu, di toko roti tempat Haki bekerja, kabar tentang video tersebut mulai menyebar. Beberapa mahasiswa yang menjadi pelanggan tetap toko itu membicarakannya, dan Haki mendengarkan dengan seksama. “Lo udah nonton videonya Luvi? Kayaknya kontennya beda dari yang biasa, tapi bener-bener menyentuh,” salah satu pelanggan berkata kepada temannya.
Haki tersenyum kecil sambil melayani pelanggan. Dia tahu, ini baru langkah awal, tapi dampaknya sudah mulai terasa. Luvi berhasil menyentuh hati banyak orang dengan caranya yang cerdas, tanpa terlalu mencolok.
Di tempat lain, Dito juga mulai bergerak. Dengan laptopnya, dia mulai mengeksplorasi sistem IT kampus, mencari data mahasiswa yang bisa menjadi target rekrutmen gerakan mereka. Dia tahu risikonya, tapi keahliannya dalam teknologi memberinya kepercayaan diri. Dalam hitungan jam, Dito berhasil mengakses data mahasiswa dan mulai menyusun daftar mereka yang berpotensi sepikiran dengan mereka.
Setiap langkah yang mereka ambil penuh kehati-hatian, namun perlahan gerakan ini mulai mendapatkan momentum. Di kalangan mahasiswa, video-video Luvi mulai viral, dan banyak dari mereka yang mulai membuka mata terhadap isu-isu yang sebelumnya dianggap tidak penting. “Gue nggak pernah kepikiran soal ini sebelumnya, tapi setelah nonton kontennya Luvi, gue jadi mikir… Kita harus ngelakuin sesuatu,” seorang mahasiswa berkata kepada temannya di salah satu kantin kampus.
Yudi, yang hari itu sedang bekerja di lapangan, menerima pesan dari Haki. “Konten Luvi udah mulai viral. Banyak yang ngomongin soal ketidakadilan sekarang. Lo siapin orang-orang Teknik buat diskusi lebih lanjut. Gue rasa ini waktunya kita mulai bicarain aksi yang lebih nyata.”
Yudi membaca pesan itu dengan senyum di wajahnya. Meski sedang berkutat dengan alat-alat listrik, pikirannya sudah jauh melampaui pekerjaannya. “Gue bakal atur ketemuan dengan anak-anak Teknik malam ini,” balas Yudi. Dia tahu, meskipun anak-anak Teknik jarang terlibat dalam aksi politik, mereka adalah tipe orang yang siap bertindak jika mereka yakin pada tujuannya.
Sementara itu, di dalam kantor perusahaan pajak, Mayuji sedang duduk di mejanya, mendalami undang-undang yang baru disahkan. Dengan mata tajam dan pemikiran kritis, ia menganalisis setiap kata dalam dokumen tersebut. Ia mencari celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk melawan balik. “Pasti ada cara untuk mendiskreditkan undang-undang ini,” pikirnya sambil mencatat poin-poin penting.
Malam harinya, mereka berlima kembali berkumpul di kafe yang sama. Kali ini, suasana terasa berbeda. Ada semangat yang lebih kuat di antara mereka. Video Luvi yang mulai viral, data yang dikumpulkan Dito, serta rencana rekrutmen Yudi telah memperkuat keyakinan mereka bahwa gerakan ini bisa menjadi besar.
“Ini baru permulaan,” kata Haki dengan mata berbinar. “Kita udah punya dukungan awal, dan kalau kita terus main dengan pintar, kita bisa bikin ini gede.”
Mayuji, yang diam-diam telah menemukan beberapa celah hukum, menyela, “Gue udah dapet beberapa poin yang bisa kita pake buat melawan undang-undang ini secara legal. Tapi kita harus punya lebih banyak dukungan, dan pastiin semua orang tahu kalau kita nggak Cuma demo tanpa arah.”
Luvi tersenyum penuh percaya diri. “Konten berikutnya bakal lebih berani. Gue bakal terus dorong orang buat mikir kritis.”
Malam itu, mereka merasa langkah mereka semakin mantap. Gerakan bawah tanah ini perlahan-lahan mulai meresap ke dalam kehidupan kampus, dengan konten viral yang menggerakkan hati banyak mahasiswa. Tapi mereka tahu, masih ada jalan panjang yang harus mereka lalui, dan tantangan besar yang harus dihadapi.
Dengan viralnya konten Luvi, suasana di kampus mulai berubah. Beberapa mahasiswa mulai terbuka dalam diskusi tentang ketidakadilan dan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat kecil. Di sela-sela jam kuliah, di kantin-kantin, hingga di lorong-lorong gedung fakultas, perbincangan tentang isu yang dulu jarang disentuh kini menjadi topik hangat.
Sore itu, Yudi duduk di salah satu sudut halaman kampus bersama dua temannya dari Teknik. Mereka biasanya mengobrol soal tugas-tugas kuliah dan proyek, tapi kali ini topiknya berbeda. Yudi dengan hati-hati memulai pembicaraan tentang undang-undang baru dan ketidakadilan yang semakin terlihat jelas. “Gue nggak tau gimana perasaan kalian soal undang-undang baru ini, tapi menurut gue, ini udah keterlaluan,” kata Yudi sambil menatap temannya, Raka dan Fikri.
Raka, yang dari dulu dikenal sebagai mahasiswa Teknik yang suka berbicara soal kebijakan pemerintah, segera merespons. “Gue udah baca soal undang-undang itu. Mereka bener-bener cuma mikirin diri sendiri. Gak ada yang peduli sama kita.”
Fikri mengangguk, “Iya, gue juga rasa sama. Tapi apa yang bisa kita lakuin? Demo udah sering, tapi nggak pernah ada perubahan.”
Yudi menyilangkan tangan di dada dan menatap keduanya dengan serius. “Gue punya beberapa teman yang lagi gerak. Kita nggak bakal cuma sekedar demo. Ini lebih dari itu. Kita bakal lawan sistem ini dengan cara yang lebih pintar.”
Raka dan Fikri tampak penasaran. Mereka sudah lama merasakan ketidakpuasan terhadap pemerintah, tapi mereka tidak tahu bagaimana cara melawan tanpa merasa sia-sia. Yudi menjelaskan tentang rencana yang sedang mereka jalankan—mulai dari konten viral Luvi, hingga analisis hukum yang sedang dilakukan Mayuji. Ia juga membahas bagaimana Dito berhasil mendapatkan data mahasiswa yang sepikiran, yang bisa menjadi aliansi gerakan ini.
“Kita butuh orang-orang yang siap untuk bergerak secara diam-diam. Kita nggak akan jadi sekadar pengikut demo. Kita bakal jadi otak di balik perubahan ini,” ujar Yudi, dengan nada yakin.
Raka dan Fikri saling berpandangan sejenak, kemudian mengangguk setuju. Mereka tahu Yudi adalah orang yang bisa diandalkan, dan jika Yudi yakin dengan rencana ini, mereka akan ikut.
Di tempat lain, Haki sedang berbicara dengan beberapa mahasiswa dari Fakultas Ekonomi. Meskipun awalnya topik mereka tentang pelajaran manajemen, obrolan perlahan berubah menjadi diskusi tentang masalah ekonomi negara yang semakin sulit. “Kita udah belajar soal ekonomi pasar bebas, tapi di kenyataannya, yang diuntungkan cuma segelintir orang,” kata Haki, membuka percakapan.
Mahasiswa-mahasiswa di depannya mulai tertarik. Mereka semua berasal dari keluarga yang bekerja keras untuk bisa menyekolahkan anak-anak mereka di universitas. Namun, di tengah kesulitan hidup, kebijakan pemerintah tampak semakin jauh dari realita yang mereka hadapi.
“Kita harus mulai berpikir lebih kritis. Kalau kita cuma terus-terusan belajar tanpa ngelakuin sesuatu untuk memperbaiki keadaan, kapan kita bakal lihat perubahan?” lanjut Haki, penuh semangat.
Mahasiswa di sekitarnya mulai mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa Haki punya kepribadian yang ceria dan ambisius, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Haki tidak hanya mengajak mereka untuk belajar, tapi untuk bertindak.
Di ruang kerja Mayuji, kesibukannya menelaah undang-undang terus berlanjut. Saat dia menemukan celah-celah hukum yang bisa dimanfaatkan, ia menghubungi beberapa teman dari fakultas Hukum dan Politik. Dengan cermat, Mayuji menjelaskan poin-poin penting yang bisa digunakan sebagai dasar untuk menentang kebijakan pemerintah. Teman-temannya mendengarkan dengan seksama, kagum dengan kecerdasan Mayuji yang mampu menemukan detail-detail yang mungkin terlewatkan oleh banyak orang.
“Kita nggak bisa asal bicara soal perlawanan tanpa dasar yang kuat. Kalau kita bisa menentang mereka lewat hukum, kita punya peluang lebih besar,” kata Mayuji sambil menunjuk beberapa pasal yang bermasalah.
Satu demi satu, jaringan pergerakan mereka mulai terbentuk. Tidak hanya dari satu fakultas, tetapi meluas ke berbagai jurusan dan latar belakang. Setiap orang memainkan peran masing-masing, baik secara terbuka maupun diam-diam. Mereka tidak lagi sekadar marah, tetapi kini mulai memiliki arah yang jelas.
----