Aillard Cielo Van Timothee adalah seorang Grand Duke yang sangat dikagumi. Dia sangat banyak memenangkan perang yang tak terhitung jumlahnya hingga semua rakyat memujanya. Namun hal yang tak disangka-sangka, dia tiba-tiba ditemukan tewas di kamarnya.
Clarisse Edith Van Leonore adalah seorang putri dari kerajaan Leonore. Keberadaannya bagaikan sebuah noda dalam keluarganya hingga ia di kucilkan dan di aniaya. Sampai suatu hari ia di paksa bunuh diri dan membuat nyawanya melayang seketika. Tiba-tiba saja ia terbangun kembali ke dua tahun yang lalu dan ia bertekad untuk mengubah takdirnya dan memutuskan untuk menyelamatkannya.
"Apakah kamu tidak punya alternatif lain untuk mati?"
"Aku disini bukan untuk mencari mati." jawab Clarisse tenang.
"Lalu untuk apa kamu kesini, menyodorkan dirimu sendiri ke dalam kamp musuh?" Aillard mengangkat alisnya sambil memandang Clarisse dengan sinis.
"Aku disini berniat membuat kesepakatan denganmu. Mari kita menikah!"
➡️ Dilarang memplagiat ❌❌
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KimHana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 18 - PENGKHIANAT
"Apa yang kamu lakukan?" Clarisse berteriak marah melihat Madeline yang akan menendang Verel ke danau. Air danau itu begitu dalam hingga orang dewasa pun pasti akan tenggelam di dalamnya. Untung saja dia datang tepat waktu, kalau tidak nasib Verel akan sama seperti di kehidupannya sebelumnya.
"Saya tidak melakukan apa-apa." kilah Madeline sambil menyembunyikan tangannya di belakang punggungnya.
"Apakah kamu pikir aku bodoh?" Clarisse berjalan menghampiri Madeline yang terlihat panik. "Ternyata barang peninggalan pelayan itu masih belum cukup membuatmu jera, haruskah aku juga mengirimkan pakaian yang dipakainya untuk terakhir kalinya."
"Tidak. Aku sudah membakarnya, bagaimana mungkin kamu bisa memiliki itu?" ujar Madeline berseru panik. Setelah beberapa saat dia tersadar bahwa dia telah membeberkan segalanya yang membuat dia menjadi semakin panik.
Clarisse tersenyum sinis melihat Madeline yang ketakutan. Orang seperti itu tidak boleh diberi ampun, karena mereka pasti akan terus melakukan hal yang sama sampai ke sekian kalinya. Hati mereka sudah busuk ke tulangnya jadi mustahil mereka akan menjadi baik hati.
"Apakah kamu mengakui perbuatanmu?"
"Tidak. Aku tidak melakukannya. Itu salah dia sendiri yang terlalu lemah, hanya karena beberapa pukulan saja dia langsung mati." jawab Madeline kembali percaya diri. Ya, dia tidak salah, pelayan itulah yang salah.
Bukankah sebelum menjadi pelayan kerajaan, petugas Jerome sudah mengatakan kalau pelayan kerajaan harus memiliki fisik yang baik, lalu kenapa pelayan itu sangat lemah. Ia yakin dia menyuap beberapa petugas supaya bisa lolos. Ck, bukankah itu hal yang berguna? Kalau bukan karenanya bagaimana mungkin mereka bisa mengungkap kecurangan itu. Harusnya petugas istana juga berterimakasih padanya?
Gila.
Sinting.
Tidak beres.
Setan.
Berbagai macam umpatan bersarang di kepala Clarisse, tetapi dia menahannya karena itu tidak menunjukkan perilaku seorang putri. Haruskah dia menenggelamkan Madeline saja sebagai ganti nyawa Verel yang melayang di masa lalu.
Tidak. Dia tidak boleh melakukannya. Madeline masih memiliki kegunaan sekarang, jadi jangan sampai hanya karena terbawa emosi, semua rencananya menjadi hancur berantakan.
"Yang mulia, apa yang terjadi?" Anne datang dengan tergesa-gesa sambil memeriksa apakah Clarisse baik-baik saja. Tadi ia mendengar teriakan tuannya yang membuat ia sangat cemas apakah terjadi apa-apa dengannya.
"Tidak apa-apa." jawab Clarisse berbohong. Dia tidak ingin membicarakannya disini sekarang, yang penting mereka fokus untuk menyelamatkan Verel dan ibunya.
"Anne, tolong bawa nyonya Diana dan Pangeran Verel ke ruang pengobatan!"
"Baik Yang mulia." Walaupun berbagai macam pertanyaan berkecamuk di pikirannya, Anne tetapi tetap mematuhi perintah Clarisse dan membawa pangeran Verel pergi.
"Baiklah, kita akan melanjutkan pembicaraan tadi. Sampai dimana kita?" ujar Clarisse sambail menyeringai dingin. Ia mendekati Madeline selangkah demi selangkah dengan senyuman manis yang tidak pernah luntur dari bibirnya.
Madeline meneguk ludahnya ketika melihat tatapan Clarisse yang berpusat padanya. Rona merah terkuras dari wajahnya, bibir bawahnya bergetar menahan rasa takut, tapi sebisa mungkin dia tidak menunjukkannya. Entah kenapa dia merasa Clarisse sedikit menakutkan sekarang, padahal sebelumnya dia tidak merasakan hal seperti ini.
"A..apa maksud anda, Yang mulia? Sa..saya tidak mengerti apa yang anda bicarakan?" jawab Madeline berusaha terlihat tenang, walaupun dalam hatinya, jantungnya berdegup kencang tak karuan.
Clarisse tertawa dingin, "Kamu masih berani menyangkalnya? Nyalimu benar-benar besar." ujar Clarisse sambil mengelus pipi Madeline dengan pelan.
Madeline hanya bisa merasakan kulit ular merangkak di wajahnya. Itu terasa dingin dan membuatnya merinding di sekujur badannya. Dia hanya ingin melepaskan jeratan itu dan merangkak ke tempat yang lebih hangat.
Tiba-tiba dia teringat dua pelayan yang membantunya. Melihat mereka masih aman dan sehat, dan tidak di tekan oleh Clarisse, membuat amarahnya membara di sekujur tubuhnya. "Hey, apa yang kalian lakukan? Tidak bisakah kamu melihat aku di intimidasi?" Madeline berteriak marah melihat mereka yang masih berdiri diam seperti orang bodoh.
"Kalian benar-benar tidak berguna! Untuk apa aku memberimu uang kalau hal seperti ini saja kalian tidak bisa membantuku."
"Maaf, Yang mulia. Kami juga dipaksa melakukan hal ini." Eline dan Lea tidak menghiraukan ucapan Madeline dan malah jatuh berlutut sambil memohon kepada Clarisse.
"Kami benar-benar tidak mau melakukannya, tetapi dia terus mengintimidasi kami supaya mematuhi perintahnya." sambung Eline dengan segenang air mata mengalir di pipinya.
"Kalian pengkhianat!" wajah Madeline melotot tidak percaya melihat Eline dan Lea yang bersandiwara. Ia segera berlari ke arah keduanya lalu menjambak rambut mereka dengan kuat.
"Aaaaaahhh.." refleks Lea berteriak kesakitan. "Tolong kami, Yang mulia!" katanya sambil menahan rasa sakit.
Clarisse melipat tangannya sambil menatap Madeline dengan tajam, "Madeline, kamu benar-benar berani berbuat kejahatan di depanku."
Mendengar ucapan itu langsung membuat Madeline melepaskan cengkeramannya. Ia mundur selangkah menahan rasa takut akan tindakan yang di lakukan oleh Clarisse padanya. Kenapa dia baru menyadari sekarang kalau Yang mulia putri ke tujuh begitu menakutkan? Dia agak menyesal memprovokasi wanita itu di masa lalu.
"Kalian berdua kemarilah!" ujar Clarisse sambil mengisyaratkan Eline dan Lea untuk mendekat ke arahnya.
"Jika kalian ingin membuktikan kalau kalian tidak bersalah, silahkan kalian lakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Madeline kepada ibu pangeran." kata Clarisse dengan seringai di wajahnya. Ia menantikan reaksi Madeline bagaimana rasanya di pukul oleh anak buahnya sendiri. Kira-kira apakah dia akan berteriak, memukul, mengamuk. Aah, dia tidak sabar menantikan hal itu.
"A...apa?" sahut Eline tidak percaya. Jujur saja ia sedikit takut melakukannya karena Madeline adalah orang yang membalas dendam. Mereka pasti tidak akan lolos dari tangannya setelah melakukan semua ini.
"Ka..kami.." Eline dan Lea saling pandang dengan cemas, ekspresi gugup tidak pernah luntur dari wajahnya.
"Kalian tidak mau melakukannya?" tanya Clarisse dengan suara sedingin es.
Eline menundukkan kepalanya tak berani menatap Clarisse. Mereka mengalami dilema atas apa yang harus mereka lakukan. Kepala pelayan Madeline bukanlah orang yang bisa di sentuh karena dia adalah pelayan permaisuri. Menyinggungnya sama saja dengan menyinggung permaisuri.
Sementara Yang mulia putri ke tujuh juga bukanlah orang yang bisa di anggap enteng, karena dia mampu membuat kepala pelayan menjadi hilang akal seperti ini. Dua-duanya sangat menakutkan sehingga dia tidak ingin memilih di antara keduanya.
Melihat ekspresi ragu-ragu keduanya membuat Clarisse menjadi tidak sabar, dia segera mendekati Lea dan berbisik, "Mana yang lebih baik, di hukum karena mencelakakan seorang putra Kaisar atau di hukum karena mencelakakan seorang pelayan. Aku dengar hukuman untuk orang yang melukai darah kerajaan adalah hukuman gantung."
Mendengar hal itu membuat Lea langsung melotot ketakutan. Dia langsung mencubit Eline dan mengisyaratkan untuk menuruti perintah Yang mulia putri ke tujuh."
"Kalian pasti bisa membuat pilihan yang tepat, melihat bagaimana kamu berpaling begitu cepat dari tuanmu."
"A....aku.."