Bercerita tentang seorang anak yang bernama mugi yang terlahir sebagai rakyat jelata dan menjadi seseorang penyihir hebat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muchlis sahaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika bulan merah memuncak.
Keter dan Kenkiryu saling berhadapan, tatapan mereka tajam seperti pedang yang bersiap untuk bertempur. Bulan semakin memerah, dan tepat jam 23:59, detik-detik menuju purnama merah terasa menegangkan. Suara serigala menggema di malam yang kelam, mengiringi kemunculan monster-monster yang merayap keluar dari dalam tanah, siap mengacaukan segalanya.
Kenkiryu tersenyum sinis, melihat kegelisahan di wajah Keter. Dalam keadaan marah yang memuncak, Keter berteriak, "Tidak peduli seberat apa pun, aku tidak bisa kehilangan satu pun!"
Dengan amarah yang semakin membara, Keter mengulangi kata-katanya, "Aku tidak bisa kehilangan satu pun! Tidak ada...! Aku tidak bisa... kehilangan."
Tanpa ampun, Keter melesat ke depan, melancarkan serangan yang menggetarkan tanah. Kenkiryu membentuk pedang dari sihir darahnya dan menahan serangan Keter. "Baiklah, kalau begitu, ayo kita mulai!" tantang Kenkiryu.
Sementara itu, seluruh monster yang mengamuk berlari menuju ibu kota. Di tengah perjalanan, Nina dan anggota Black Number muncul, menghadang mereka dengan tekad yang membara. "Baiklah, semua! Hajar mereka semua!" teriak Nina, suaranya melengking di antara keributan.
Dengan semangat yang tinggi, seluruh anggota Black Number menyerang, "Ayo habisi monster itu!" "Aku akan membantu Tuan Keter dan meringankan bebannya!" Mereka semua berhadapan dengan 1000 monster, siap untuk melawan habis-habisan.
Di sisi lain, Keter dan Kenkiryu masih terlibat dalam duel yang intens. Kenkiryu, dengan senyum puas, berkata, "Luar biasa, kau mengingatkan aku pada seseorang di masa lalu, Keter."
Keter, dengan wajah serius, menjawab, "Aku tidak peduli dengan masa lalumu. Disini, aku akan menghabisimu."
Pemerintah ibu kota mengirimkan pasukan ahli sihir untuk menghadapi para monster. "Ayo cepat! Sebelum mereka memasuki ibu kota!" seru pemimpin pasukan.
Sementara itu, Oneal masih bertarung melawan Mila. Mila kewalahan menembus benang sihir yang diciptakan Oneal. "Sudah kewalahan? Sangat disayangkan sekali, kemampuan sehebat itu kalah dengan teknik sederhana milikku," ejek Oneal.
Mila, yang semakin kesal, menciptakan beberapa bola sihir yang memancarkan cahaya laser. Dengan sigap, Oneal menghindari serangan tersebut. "Kau pikir serangan seperti ini bisa melukaiku?" tantang Oneal.
Oneal mengarahkan benang-benang sihirnya ke arah Mila. Mila dengan cepat menebas benang itu, namun dalam hati dia berpikir, "Apakah dia petarung jarak jauh?"
Menyadari pemikiran Mila, Oneal berkata, "Jika kau berpikir aku petarung jarak jauh dan menyusun rencana mendekatiku, kau salah besar. Aku bukan tipe petarung jauh. Tapi jika kau masih berpikir seperti itu, ayo dekati aku."
Mila terkejut mendengar pernyataan tersebut, "Jadi begitu, mau tidak mau aku harus mendekatinya untuk menebas dirinya." Dengan tekad, Mila melancarkan sinar laser lagi, mendekati Oneal yang terus menghindar.
"Baiklah, sedikit demi sedikit aku berhasil mendekatinya," pikir Mila optimis.
Oneal, menyaksikan Mila mendekat, berbisik dalam hati, "Bodoh sekali, kau akan menyesali ini."
Ketika Mila semakin dekat, Oneal dengan cepat mengikat leher Mila dengan benang sihirnya. "Kau tidak bisa bergerak sekarang. Jika kau bergerak, lehermu akan terputus."
Mila terkejut menyadari lehernya yang terlilit benang, tubuhnya bergetar. "He-hebat, aku kalah," desahnya dengan nada putus asa.
Oneal menatap Mila dengan dingin. "Sebenarnya, aku sangat membenci kekalahan. Namun, aku harus menyadari siapa yang aku lawan. Itu semua karena aku menyadari di batas mana kemampuan ku."
Mila hanya tersenyum, "Begitu kah? Sepertinya ini akhir dariku."
Oneal melanjutkan, "Mila, setelah ini kau akan mengalami hal yang lebih mengerikan dari kematian."
Mila bingung, "Hah!? Apa maksudmu?"
Oneal menjawab, "Ketiadaan sejati."
Mila masih bingung dengan perkataan Oneal. "Apa itu ketiadaan sejati?"
Oneal menjelaskan, "Jauh di dalam sumber kematian, kau akan mendapati kehancuran tanpa akhir hingga kehampaan, dan keberadaan pun lenyap. Itulah yang dinamakan ketiadaan sejati."
Mila merasa ketakutan mendengar penjelasan tersebut. "Setelah mengetahui hal itu, apakah kau masih merasa sombong dan mengira dirimu kuat?"
Mila terdiam, tidak bisa berkata-kata.
Oneal melanjutkan, "Di dasar dan asas kehidupan, manusia hidup di dunia hanya berdasarkan takdir yang dijalani. Di mana takdir itu ialah menua dan mati. Namun, di masa muda, mereka merasakan sombong yang luar biasa, sehingga mengira diri mereka di atas segalanya. Padahal, mereka hanyalah bentuk ketiadaan sejati itu sendiri."
Dengan ekspresi yang mengerikan, Oneal langsung memotong leher Mila dengan benang sihirnya. "Selamat tinggal, Mila."
Di sisi lain, Keter masih bertarung sengit melawan Kenkiryu. Setiap serangan yang mereka bertukar menghancurkan area sekitar dengan ledakan energi sihir yang sangat kuat.
Kenkiryu mencoba menyerang Keter dengan serangan laser darahnya. Ketika sihir laser itu melesat, Keter berusaha menahan serangan itu dengan pedangnya. Namun, tekanan dari laser darah itu begitu kuat, membuat Keter terdorong jauh ke belakang.
Melihat Keter terhuyung, Kenkiryu menciptakan darah berbentuk anak panah dan melancarkannya ke arah Keter, menusuk bahu kanan dan kiri Keter. Keter terhuyung, namun tetap berusaha berdiri.
Kenkiryu, tidak memberi ampun, bergerak cepat dan menerjang Keter tepat di dadanya. Keter kembali terpental, rasa sakit mulai merayap di seluruh tubuhnya.
Kenkiryu mendekati Keter, "Apa yang kau harapkan dari dunia ini, Keter? Dunia hanyalah kekosongan. Semakin lama kau hidup, semakin kau menyadari bahwa dunia ini hanya dipenuhi oleh rasa sakit."
Setelah mendekat, Kenkiryu menginjak tubuh Keter, membuatnya mengeluarkan darah dari mulutnya. "Keter, di mana ada cahaya, di situ ada kegelapan. Di mana ada kebaikan, di situ ada kejahatan. Sistem dunia akan terus berputar seperti itu."
Dengan setiap kata yang diucapkan Kenkiryu, Keter merasakan beratnya kebenaran yang terungkap. "Dunia menilai kebaikan seseorang seperti kapas yang ditiup angin, mereka tidak akan memperdulikan dan membuangnya. Namun, kesalahan seseorang dinilai seperti gempa yang menerpa, mereka akan lari meninggalkan kita dan menghilang dari hadapan kita."