Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilu
Tangan Erick gemetaran. Bahkan saking kuatnya jemarinya bergetar, surat yang dibacanya pun sampai terjatuh tak sengaja. Seumur hidupnya, baru kali ini dia merasakan perasaan rumit yang tak dapat djabarkannya dengan kata-kata. Kalut, namun tak tahu atas dasar apa dia merasa seperti itu, mengingat selama ini Lalita tak pernah benar-benar dia anggap sebagai seorang istri.
Segera Erick mencari kembali surat panggilan dari Pengadilan Agama yang sebelumnya dia remas dan dia letakkan secara sembarangan. Dibacanya sekali lagi isi surat tersebut dengan lebih teliti. Terhitung tiga hari lagi mulai dari sekarang dia mesti menghadiri sidang pertama dari proses perceraiannya dengan Lalita.
"Lalita ...." Erick menggumamkan nama istrinya itu dengan suara yang lirih dan agak bergetar. Dia sungguh tak menyangka Lalita akan nekat mengambil langkah ini.
Mendapatkan gugatan cerai dari istri yang selama ini begitu memujanya, tak pernah sebelumnya Erick membayangkan hal tersebut. Sepertinya malam itu Lalita benar-benar mendengarkan semua pembicaraannya dengan Larisa.
Dengan tubuh yang terasa lunglai, Erick pun menghenyakkan diri ke pinggiran tempat tidur yang ada di kamar itu. Helaan napas panjang langsung terdengar dari mulutnya. Dia sungguh bingung dan tak tahu mesti melakukan apa. Secara logika, mestinya dia merasa senang karena sebentar lagi bakal terlepas dari jerat pernikahan yang selama ini begitu menyiksanya, tanpa perlu dia melakukan sesuatu.
Apalagi di dalam suratnya, Lalita menjamin jika kali ini Arfan pasti akan merestui hubungannya dengan Larisa. Harusnya ini kabar baik untuknya, kan? Tapi kenapa mendengar itu, Erick malah merasa frustasi? Sekali lagi Erick menjambak rambutnya sendiri, lalu meraup wajahnya dengan kasar. Kini dia bahkan tak mengerti dengan hatinya sendiri.
Suara ketukan pintu membuyarkan isi kepala Erick. Di ambang pintu yang tak tertutup, tampak Bu Risnah berdiri dengan wajah gusar yang tak jauh berbeda dengan Erick.
"Saya sudah menghubungi teman-teman Nyonya, Tuan. Mereka semua tidak ada yang tahu keberadaan Nyonya," ujar Bu Risnah memberi tahu.
"Teman-teman Lita?" ulang Erick sembari mengangkat pandangannya ke arah pelayan paruh baya itu.
"Iya, beberapa teman Nyonya ada yang sering berkunjung ke sini, jadi saya mengenal mereka," sahut Bu Risnah.
Erick tertegun sejenak. Dia bahkan tak mengenal satupun teman-teman Lalita. Bukannya Lalita tidak pernah bercerita tentang semua teman-temannya itu, tapi Erick saja yang selalu menganggap tidak penting semua hal yang Lalita katakan padanya. Bahkan, Erick selalu menolak jika Lalita memintanya menemani pergi ke acara yang diadakan oleh teman-teman istrinya itu.
"Siapa saja teman-teman Lita yang sering datang kemari?" tanya Erick lagi pada Bu Risnah.
"Itu, Tuan. Ada Nyonya Ziva, Nyonya Anindya, Nyonya Rumi sama satu lagi, Nyonya Liana," sahut Bu Risnah.
Erick terlihat mengerutkan keningnya.
"Siapa mereka semua?" Lelaki itu bergumam pada dirinya sendiri.
"Mereka teman-temannya Nyonya Lita. Ada yang teman sejak SMA, ada juga yang teman kuliah. Sejak menikah, Nyonya mengurangi kumpul-kumpul di luar, makanya sering mengundang mereka untuk datang ke sini. Mereka semua juga sudah menikah, jadi sering datang dengan membawa anak-anak mereka." Bu Risnah menerangkan.
Erick mengembuskan nafas kasar.
"Kenapa saya tidak tahu kalau teman-teman Lita sering datang kemari?" Lagi-lagi Erick bertanya.
"Ya?" Kali ini Bu Risnah sedikit bingung sekaligus heran.
"Teman-temannya itu, Lita sering mengumpulkan mereka semua di rumah ini, tapi kenapa saya tidak pernah tahu?" ulang Erick lagi.
"Maaf, Tuan, bukannya saya mau membela Nyonya, tapi bukannya Tuan sendiri yang bilang pada Nyonya kalau apa-apa jangan selalu bertanya dan meminta izin pada Tuan?" Bu Risnah balik bertanya, masih dengan memperlihatkan ekspresi bingungnya.
"Apa?" Erick kembali mengerutkan keningnya. "Saya pernah berkata seperti itu?"
Bu Risnah mengangguk.
"Saya juga ikut mendengarnya sendiri, Tuan. Waktu itu, Nyonya meminta izin pada Tuan kalau Nyonya mau mengadakan pesta kecil untuk kejutan ulang tahun salah seorang temannya, tapi Tuan bilang terserah. Tuan juga mengatakan untuk tak perlu meminta izin untuk hal-hal tidak penting seperti itu," sahut Bu Risnah.
Erick terdiam selama beberapa saat. Selama ini, dia memang selalu ingin cepat mengakhiri setiap percakapan yang terjadi antara dirinya dan Lalita, karena itulah dia tak akan mempermasalahkan setiap hal yang ingin Lalita lakukan. Jika dimintai pendapat, tentu jawaban yang paling sering Erick berikan adalah kata 'terserah' seperti yang dikatakan oleh Bu Risnah tadi. Sebegitu tak pentingnya Lalita selama ini baginya, sehingga dia selalu memasang sikap tak acuh.
"Berikan saja nomor kontak teman-teman Lalita pada saya," pinta Erick akhirnya, memutus percakapannya dengan Bu Risnah yang terasa begitu memojokkannya. Tidak, sebenarnya bukan memojokkan, tapi begitu menohoknya hingga rasanya amat nyeri sampai ke tulang-tulang. Ternyata sebegitu tak pedulinya dia pada Lalita selama ini.
Bu Risnah pun menjawab dengan mengangguk, sebelum kemudian berlalu dari hadapan Erick. Tak lama kemudian, perempuan paruh baya itu kembali dengan membawa selembar kertas yang bertuliskan nama teman-teman Lalita beserta nomor ponselnya.
"Ini, Tuan," ujar Bu Risnah sembari menyerahkan kertas tersebut pada Erick.
"Terima kasih," gumam Erick.
Bu Risnah kembali mengangguk, lalu pamit undur diri. Kini tinggallah Erick seorang diri, memegangi selembar kertas pemberian Bu Risnah sembari menatap benda tersebut dengan perasaan yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Mungkin, tak pernah terbayangkan di benaknya jika suatu hari dia akan mencari tahu pada teman-teman Lalita tentang keberadaan istrinya itu.
Dengan tangan yang masih gemetar, Erick mengeluarkan ponselnya dan menyimpan satu persatu nomor kontak yang tertulis di kertas itu. Dia hendak langsung menghubungi salah satu dari nomor tersebut, tapi kemudian urung begitu saja. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak mengingat surat dari Lalita yang dibacanya tadi.
Entah kemana perginya rasa kesal dan benci Erick terhadap Lalita selama ini. Padahal dulu dia selalu membayangkan jika seandainya Lalita menghilang dari hidupnya, semuanya pasti akan menjadi lebih baik. Tapi kenapa saat semua angannya itu menjadi kenyataan, yang dia rasakan justru perasaan sedih yang tak dapat dia pahami?
Erick memejamkan matanya sembari menghela dengan agak tertahan. Mendadak sebuah ingatan terpatri di kepalanya, ingatan tentang percakapannya dengan Lalita yang dulu terasa begitu menyebalkan.
"Sayang, kalau misalkan tiba-tiba aku pergi dan menghilang, kamu bakal kehilangan aku, tidak?" tanya Lalita suatu malam saat mereka hendak tidur.
"Entahlah." Erick saat itu menjawab tak acuh.
"Ish, kok entahlah." Lalita mencebik.
Erick hanya menanggapi dengan melirik ke arah istrinya itu sekilas. Dia ingin sekali menjawab jika dirinya tidak akan pernah merasa kehilangan sosok Lalita, namun tentu hanya dalam hati saja.
"Kalau aku, pasti aku akan kehilangan kamu. Kan kemana lagi aku mesti mencari suami beruang kutub seperti kamu," ujar Lalita lagi. Dia terkekeh sendiri sembari memeluk Erick dari belakang.
Erick menyeka sudut matanya yang terasa sedikit berair. Dia sendiri tak mengerti, kenapa sekarang mengingat itu semua terasa begitu pilu. Bagaimana bisa dia mulai merasa kehadiran Lalita dalam hidupnya memiliki arti di saat topeng dia kenakan telah retak.
Bersambung ....
Mak othor kereeen /Good//Good//Good//Good//Good/