Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 - Usai Pernikahan
Semakin hari gejolak batin antara keduanya kian memanas. Pasca kedatangan keluarga besar Sean, kebencian Abrizam semakin menjadi. Berawal dari dia yang tidak menerima kehadiran Sean dengan alasan Agama, kebencian itu semakin bertambah usai Ayunda, sang istri yang justru menunjukkan kekagumannya pada Sean setiap mereka bicara.
"Asal Mas tahu, papa tidak pernah pamer pada siapapun. Jika Mas menganggap kedatangan keluargaku kemarin pamer harta, aku hanya mengucapkan Alhamdulilah berarti tanpa perlu koar-koar keluargaku terlihat kaya di matamu Mas."
Ucapan Sean kala mereka berseteru kala itu masih begitu membekas dalam diri Abrizam meski sudah cukup lama berlalu. Tidak peduli sekalipun Zalina bahagia dengan pernikahannya, Abrizam sama sekali belum menerima kehadiran Sean.
Atas saran kiyai Husain, dia memberikan kebebasan keduanya untuk hidup mandiri agar kebencian Abrizam tidak berarut-larut lagi. Selain itu, kiyai Husain juga tidak tega lantaran hinaan pada Zalina masih kerap sampai ke telinganya jika terus berada di lingkungan itu. Tiga bulan sudah cukup untuk membiasakan Sean dalam bimbingannya, kiyai Husain sangat yakin jika Sean mampu membimbing Zalina.
Seperti rencana awal, keputusan akhir Sean yang menentukan. Sejak awal memang tidak ada cita-cita Sean untuk menetap selamanya di rumah mertua setelah menikah. Walaupun sebenarnya dia betah, tetap saja keinginan untuk tinggal berdua saja lebih besar.
Bandung tetap menjadi pilihan Sean. Dia mencintai kota ini, Jakarta terlalu pahit sebagai tempat kembali. Bukan berarti dia tidak mencintai keluarga, akan tetapi Sean merasa akan lebih baik lembaran baru akan dia mulai di sini.
Saran Zean kala itu pada akhirnya dia ikuti. Namun, bukan berarti dia mendirikan bengkel itu untuk membungkam mulut Abrizam. Melainkan memang untuk sarana Sean untuk menafkahi sang istri secara jelas agar tidak ada yang berpikir dirinya bandar judi.
Selain itu, Sean juga menciptakan lapangan pekerjaan meski tidak sebanyak Zean. Cukup lima karyawan, sudah sangat besar untuk bengkel yang baru mulai merintis. Meski otak Sean sedikit terbatas menurut Zean untuk menjadi seorang pemimpin, tapi untuk kali ini berbeda.
Sean serius sekali menjalaninya, sengaja dia memilih lokasi strategis dan tidak begitu jauh dari rumahnya. Semua benar-benar Sean tata demi kenyamanan. Meski dirinya termasuk bos, tetap saja Sean terjun sendiri mendampingi para karyawannya.
"Bos, istrinya datang."
Suara itu sejenak menghentikan aktivitas Sean. Keringat yang kini bercampur noda mengucur di tubuhnya, menunjukkan betapa sakit usaha Sean menghidupi sang istri.
"Zalina?" gumam Sean bingung kenapa istrinya datang tiba-tiba, padahal pria itu sudah berjanji pulang ketika makan siang.
"Mana?" tanya Sean mengedarkan pandangan, sama sekali dia belum melihat tanda-tanda istrinya berada di sini.
"Itu, di seberang sana."
"Astaga kenapa dia tiba-tiba sudah di sana, Sayang jangan kemana-mana!!" teriak Sean yang seketika membuat telinga Abas sakit, pria itu berlalu dan melemparkan handuk pengelap keringat yang bahkan terasa lembab itu.
Sean berlari menghampiri sang istri yang masih celingukan di atas sepeda motornya, Zalina menyipitkan mata lantaran teriknya matahari. Penampilan Sean yang seperti ini baru dia saksikan dua minggu belakangan. Meski jujur terlihat kotor, tapi di mata Zalina sang suami terlihat lebih tampan dengan otot yang semakin terpampang nyata dalam balutan baju tanpa lengan itu.
"Kenapa sendirian? Kenapa tidak minta antar pak Wan saja, Na?"
"Pak Wan antar Abi pulang."
"Abi ke rumah? Cari aku?" tanya Sean khawatir jika kiyai Husain hanya ingin memastikan apa dia pulang ke rumah atau tidak sewaktu shalat zuhur.
"Bukan, tapi anterin ayam goreng bawang putih buatan umi ... ini aku bawa buat Mas makan siang," ucapnya dengan mata berbinar dan berharap sekali Sean akan menyukai kehadirannya.
"Tapi seharusnya cukup tunggu aku pulang, Sayang, tidak perlu datang ke sini."
"Ih Mas gimana sih? Aku kan sekalian latihan bawa motor ke jalan raya, masa tidak boleh."
Sean hanya menghela napas perlahan, sekeras-kerasnya hati Ameera, Sean masih bisa melarang. Namun, untuk Zalina dia tidak bisa. Mata istrinya terlalu menggemaskan dan selalu berakhir dengan Sean yang kini mengalah padanya.
Mereka semakin terlihat manis, semua dugaan buruk tentang Zalina yang hamil di luar nikah semua terbantahkan hingga saat ini. Tanpa Zalina sadari jika masih ada hati yang selalu berharap bisa mengulang waktu dan menyesali keputusannya dahulu.
"Kamu semakin jauh, Na ... apa mungkin di hati kamu tidak ada Mas lagi?"
Perih, hati Irham hancur melebihi malam itu. Malam dimana dia harus tertampar kala mendengar kabar calon istrinya ditangkap bersama pria asing yang kini menggantikan posisinya sebagai pendamping Zalina. Andai dia bisa lebih sabar, setidaknya mendengarkan ucapan Zalina kala itu, mungkin Irham tidak akan terjebak dalam penyesalan sedalam ini.
"Mas dengarkan aku sekali saja, aku datang untuk menemui kamu ... kamu sendiri yang minta aku datang, kenapa Mas bingung sendiri?"
"Berhenti membual, Zalina!! Menurut kamu, apa mungkin Mas memintamu keluar malam sementara pernikahan kita tinggal menghitung hari?"
"Sudahlah, Irham ... dari sini saja kita bisa paham dia bukan wanita baik-baik. Berani sekali melemparkan kesalahan demi menutupi tingkahnya."
Semua masih terbayang jelas di benak Irham. Dia juga bingung apa yang terjadi sebenarnya. Beberapa bulan lalu dia sangat percaya pada ibunya hingga ikut membenci Zalina semudah itu. Terlebih lagi, pengakuan orang-orang yang menangkap Zalina dan Sean semakin membuat Irham terpengaruh dalam jurang fitnah yang berakhir menyiksa batin Irham sendiri.
"Maaf ... seharusnya Mas percaya padamu waktu itu, andai Mas bersikap tegas mungkin kamu tidak akan terpaksa menerimanya ... tunggu aku, Na, aku hanya butuh waktu untuk meyakinkanmu dan ibu agar kita bisa kembali," tutur Irham seraya mengepalkan tangan menatap interaksi Zalina bersama pria yang begitu beruntung saat ini.
.
.
- To Be Continue -