Leona Subroto tinggal di sebuah perkampungan kumuh, Dia dikenal sebagai bu guru yang baik hati. Orang-orang di sekelilingnya tidak ada yang tahu siapa dia. Sampai suatu hari pertemuannya dengan pria kaya bernama Abizar membuat semua tabir hidup Leona terungkap. Bagaimana kehidupan Leona ke depannya? Simak Selengkapnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Nyonya Yang Usil
Leona menoleh ke sumber suara dan seketika mendengus kesal. Dia tidak menyangka seorang keturunan keluarga Widjaja akan selalu diekori kemana mana oleh ibunya, sungguh lucu. Untungnya ibunya sendiri bukanlah seorang Nyonya yang usil.
Leona menatap Abizar. Wajahnya yang semula terlihat ceria mendadak mendung. "Oke, i'm done." Leona menggiring Mahesa dan Sinar, sebelum nanti mendengar suara sumbang itu lagi. Dia khawatir dengan mental anak anak ini.
"Ayo anak-anak kita naik taksi saja. Mobil ini tidak terlalu bagus," kata Leona. Gadis itu diam-diam melirik nyonya Astrid yang sudah berjalan dengan langkah lebarnya.
"Tunggu! Biar aku urus masalah ini. Kalian masuk mobil dulu saja."
"Tidak, tuan Abi. Terima kasih. Saya tidak mau bermasalah dengan keluarga anda."
Leona menghentikan taksi dengan lambaian tangannya, dia seketika pergi dan sejenak melupakan motornya yang dibawa pergi oleh anak buah Abizar.
Abizar menatap ibunya dengan wajah kesal. "Kenapa mama ke sini?"
"Kalau mama ga kesini, mama ga akan tahu kamu berhubungan dengan gadis liar itu lagi."
"Abi udah pernah bilang ke mama, jangan ikut campur urusanku."
Abizar lantas masuk ke dalam mobil dan meninggalkan ibunya di tepi jalan begitu saja. Dia tidak cukup bodoh untuk bertengkar dengan ibunya di pinggir jalan dan menjadi tontonan bahkan mungkin akan menjadi headline di sebuah berita bisnis bahwa seorang Abizar Ghifari Widjaja berseteru dengan ibunya di pinggir jalan.
Mama Astrid memanggil manggil nama Abizar, sayangnya dia benar-benar diabaikan oleh putranya begitu saja.
Abi benar-benar kehilangan jejak Leona. Dia memukul sandaran kursi dengan keras.
"Benar-benar membuang kesempatan. Menyebalkan sekali."
Sementara itu, di dalam taksi Leona terus menghibur Mahesa dan Sinar. Dia tahu saat ini Mahesa dan Sinar sangat kaget dan mungkin mereka akan semakin merasa rendah diri karena ucapan ibu Abizar tadi.
"Non, kita sudah sampai. Benar ini kan tempatnya?" Tiba-tiba suara supir taksi mengalihkan perhatian Leona. Dia bertanya pada Mahesa apakah benar ini tempat mereka, Mahesa pun mengangguk. Leona membuka pintu taksi, tak lama mereka bertiga keluar dari taksi. Leona menatap lingkungan di sekitar tempat tinggal Mahesa dan Sinar. Penampakan ini tak jauh beda dengan penampakan lingkungannya di kampung kumuh. Mahesa dan Sinar memimpin jalan Leona menuju rumahnya.
Setibanya di depan rumah Mahesa dan Sinar, Leona tertegun. Bagaimana ini bisa disebut rumah?" Leona menelan salivanya. Tempat ini hampir roboh. Rumahnya terlihat bobrok karena terdiri dari kayu kayu usang yang telah lapuk.
"Maaf, rumah kami jelek."
Leona tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Tidak apa-apa. Ini tanah kalian sendiri?"
"Bukan, Kak. Ini tanah wak Haji. Beliau mengijinkan kami tinggal di sini, karena dia kasihan melihat kakek sakit-sakitan. Ini dulunya tempat wak Haji pelihara kambing."
Leona mengangkat wajahnya ke atas. Dia tidak ingin dua bocah ini merasa dikasihani.
"Jadi Mahesa dan Sinar juga tidak sekolah?" tanya Leona. Keduanya mengangguk dengan wajah malu.
"Ayo, Kak, masuk!" Mahesa mendorong pintu di depannya. Suara deritnya membuat kakeknya terbangun.
"Mahesa, kamu sudah pulang?"
"Iya, Kek. Mahesa dan Sinar pulang. Ow iya, kita punya tamu, Kek."
Leona tidak berani masuk, bukan karena dia tidak menghargai rumah Mahesa, tetapi melihat ruangannya yang sempit, Leona ragu. Kakek Mahesa bangkit dari tidurnya. Leona merasa miris melihat tubuhnya yang renta hanya terbalut tulang dan kulit, napasnya pun tersengal-sengal.
"Mahesa, katanya mau bawa kakek berobat," kata Leona. Kakek Mahesa yang mendengar hal itu seketika langsung panik.
"Tidak, aku baik-baik saja. Mahesa jangan buang-buang uang kamu, Nak. Kamu harus menyimpannya untuk sekolah kamu dan adik kamu."
"Kek, hari ini kakak ini memberi Mahesa rejeki yang banyak. Ayo kita berobat, Kek. Mahesa dan Sinar hanya punya kakek, kalau kakek kenapa-napa, bagaimana nasib kita nanti? Bapak udah ga mau merawat aku dan Sinar. Ibu juga ga ada kabarnya. Kalau kakek juga pergi meninggalkan kita, Kita sama siapa, Kek?" Mahesa yang tampak tegar, kini bicara dengan suara bergetar. Leona pada akhirnya menitikkan air mata.
Dia berjalan keluar dan mengambil ponselnya. Leona menghubungi temannya yang bekerja di sebuah rumah sakit daerah. Dia meminta temannya untuk menyiapkan kamar rawat inap untuk kakek Mahesa.
"Mahesa, kakak mau cari mobil dulu. Kamu siap-siap. Bawa baju ganti buat kakek. Mau tidak mau, kakek akan dirawat. Kakak yang akan tanggung biayanya," kata Leona. Mahesa yang sedang berlinang air mata, kembali menangis, tapi kali ini tangisannya disertai dengan tawa.
"Beneran, Kak?"
"Iya. Benar."
Leona tidak berpikir panjang lagi. Dia menghubungi kakaknya, Leonard dan meminta Leonard untuk mengirimkan supir ke tempatnya sekarang.
Butuh waktu sekitar 30 menit, sampai Leonard kembali menghubungi Leona. Rupanya dia sendiri yang menjadi supir untuk adik perempuannya.
"Leona, kamu di sini ngapain?"
Leona hanya tersenyum cengengesan sambil menunjuk ke arah rumah Mahesa. Rumah Mahesa sebenarnya berada di kebun belakang milik Wak Haji, tapi karena sangking baiknya pemilik tanah, dia memberi akses jalan lain yang lebih Mahesa dan Sinar agar mereka tidak perlu sungkan lagi melewati pekarangannya.
"Leona ketemu dua anak kecil yang kasihan banget. Aku mau bantuin mereka," kata Leona. "Kakek dua bocah itu sakit, Kak. Pokoknya kita harus bantuin mereka," ucap Leona final. Leonard hanya tersenyum sembari mengacak acak rambut adiknya.
Semua keluarga tahu dengan sifat Leona ini. Jadi mereka juga tidak keberatan. Toh Leona melakukan semuanya karena kemanusiaan dan sebagai keluarga yang sama sekali tidak pernah kekurangan, mereka mendukung 100% kebiasaan adiknya itu.
Saat Mahesa dengan susah payah memapah kakeknya, Leonard tidak ragu untuk membantu. Dia segera membantu Mahesa memapah kakeknya. Sedangkan Sinar membawa tas hitam usang yang berisi baju ganti kakeknya.
Tiba di dekat mobil Leonard, Mahesa menatap Leona dengan ragu.
"Ada apa, Mahesa?" tanya Leona.
"Kakak, boleh aku minta waktu lima menit. Aku harus pamit ke Wak Haji, takutnya nanti wak Haji nyariin."
"Oh, ya sudah, kakak tungguin."
Leonard membantu kakek Mahesa masuk ke dalam mobil, tapi tubuh pria baya itu menegang kaku.
"Sa_saya tidak pantas, Tuan. Saya khawatir mengotori mobil anda."
"Jangan sungkan. Adik saya ini pemilik tempat cuci mobil. Kalau sampai mobil saya kotor. Nanti saya akan meminta dia mencucinya," kata Leonard bercanda.
"Iya, Kek. Jangan sungkan. Silahkan masuk," kata Leona.
Meski masih ada keraguan, tapi kakek Mahesa pada akhirnya mau masuk ke dalam mobil Leonard. Mahesa kembali dengan wak Haji.
"Wak, ini kakak cantik yang aku bilang tadi. Dia katanya mau mengobati penyakit kakek," ucap Mahesa dengan semangat.
"Terima kasih, Nona. Semoga kebaikan nona akan membawa kebahagian pada keluarga nona," kata Wak Haji.
"Aamiin, terima kasih doanya, Pak." Setelah berbincang sesaat dengan wak Haji, Leona akhirnya membawa pergi ketiga anggota keluarga Mahesa menuju rumah sakit daerah.
Sesampainya di depan IGD rumah sakit, Mobil Leona telah di sambut oleh seorang dokter muda dan dua perawat.
"Oh, pantesan ke sini. Ada Evan rupanya," kata Leonard menggoda adiknya. Leona meninju lengan kakaknya.
"Hai, kali ini bawa siapa?"
"Nanti aku ceritain. Ok?"
Evan memberi tanda ok dengan jarinya. Leona hanya tersenyum, benar-benar sesuatu.
Leona membawa Mahesa ke ruang tunggu. Dia meminta KTP kakek Mahesa untuk didaftarkan. Sedangkan Sinar merasa bingung karena ditinggal. Akhirnya Leonard menyapa gadis kecil itu dan mengajaknya ngobrol.
"Sinar, sudah makan?" tanya Leonard. Dia tadi sempat mendengar suara perut gadis kecil itu. Sinar menggeleng dengan malu. Kepalanya menunduk dalam.
"Mau makan dulu? Kakak kamu kayaknya lama, deh." Leonard lalu membawa Sinar turun dari mobil. Keduanya berjalan menuju indomei yang ad di depan rumah sakit. Kebetulan indomei itu juga menyediakan makanan siap saji. Jadi Leonard membawa gadis itu. Leonard tidak memperhatikan sekitarnya, dia terus berjalan dengan santainya, sambil menggandeng tangan mungil Sinar.
Namun suara nyaring itu tiba-tiba mengejutkan Leo. "Leo! Anak siapa ini?"
Eehhh....mma wulan trnyta ga ska sm emaknya abi y???alamt ggal besanan dong....
slain rstu kluarga msing2,jg ada prmpuan gila yg t'obsesi sm abi....
dia pst bkln trs ngusik.....