Alaish Karenina, wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu belum juga menikah dan tidak pernah terlihat dekat dengan seorang laki-laki. Kabar beredar jika wanita yang akrab dipanggil Ala itu tidak menyukai laki-laki tapi perempuan.
Ala menepis semua kabar miring itu, membiarkannya berlalu begitu saja tanpa perlu klarifikasi. Bukan tanpa alasan Ala tidak membuka hatinya kepada siapapun.
Ada sesuatu yang membuat Ala sulit menjalin hubungan asmara kembali. Hatinya sudah mati, sampai lupa rasanya jatuh cinta.
Cinta pertama yang membuat Ala hancur berantakan. Namun, tetap berharap hadirnya kembali. Sosok Briliand Lie lah yang telah mengunci hati Ala hingga sulit terbuka oleh orang baru.
Akankah Alaish bisa bertemu kembali dengan Briliand Lie?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfian Syafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Ada yang hilang
Hati Ala kini terasa lega dan tenang. Semua masalah dengan Brian di masa lalu sudah selesai. Tak ada lagi yang mengganjal. Ala juga bersyukur karena Brian ternyata tidak seperti yang Heri katakan. Lelaki itu memang mencintai Ala dengan tulus. Ala tahu Brian bahkan membuat tato nama dirinya. Ala melihatnya sendiri di akun media sosial Brian, meskipun pura-pura tidak tahu.
Sudah seminggu Brian tak lagi menghubungi Ala, seperti permintaan Ala waktu itu. Sayangnya, bukan itu yang benar-benar Ala inginkan. Kepergian Brian justru menyisakan ruang kosong di hatinya. Biasanya, Brian selalu menghidupkan suasana dengan pesan-pesan konyol di messenger atau menjadi komentator pertama di setiap novel yang Ala unggah di media sosial.
Sekarang... semua itu tak ada lagi. Bukankah seharusnya ini lebih baik? Namun, Ala baru menyadari satu hal: kehadiran Brian, meskipun hanya lewat chat, telah memberi warna di kehidupannya. Seminggu tanpa kabar, rasa rindu itu perlahan menggerogoti hatinya.
“Hey, kok melamun?”
Suara Agung membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu duduk di sebelah Ala, menyodorkan segelas es kopi favoritnya. Hari itu, mereka pulang lebih awal karena Sabtu. Agung mengajak Ala bersantai di taman dekat pabrik, menikmati sore sambil ngemil.
Ala menerima ajakan itu. Ia memang butuh udara segar, melarikan diri sejenak dari kepenatan, baik karena pekerjaannya di pabrik maupun pekerjaan menulisnya. Belum lagi, pikiran tentang Brian yang benar-benar menghilang terus menghantui.
“Makasih,” ujar Ala pelan, menyeruput es kopi yang diberikan Agung. Rasa dingin menyegarkan itu sedikit mengurangi lelahnya.
Agung sendiri menikmati kopi panas di tangannya. Mereka duduk beralaskan tikar pinjaman dari penjual kopi keliling.
“Mungkin Brian sibuk dengan calon istrinya,” gumam Ala dalam hati. “Lagipula, mereka akan segera menikah. Wajar kalau dia tak lagi memberi kabar.”
Ada sesuatu yang berdenyut di dada Ala. Membayangkan Brian berdiri di pelaminan bersama gadis lain membuat hatinya terasa sesak. Jika saja waktu bisa diputar, Ala tak akan pernah meninggalkan Brian. Ia akan berusaha mempertahankan hubungan mereka, meskipun badai terus menghantam.
Namun, semuanya telah berlalu. Waktu berjalan tanpa bisa diulang. Penyesalan memang selalu datang di akhir, karena kalau di awal, namanya bukan penyesalan.
“Kenapa sih, La? Dari tadi diem aja,” tanya Agung, memecah keheningan.
Ala menoleh sebentar, lalu menggeleng. Rasanya malas bicara. Ia juga perlu menyimpan energinya untuk menulis nanti malam—atau mungkin menangisi Brian lagi.
Rindu itu semakin dalam sejak terakhir kali melihat Brian, meski hanya lewat unggahan di media sosial. Ala ingin pulang ke kampung dan menemui Brian, tapi ia tahu diri. Brian bukan miliknya lagi.
Ia tak punya hak untuk sekadar memeluk Brian, walau hanya sebentar. Kali ini, patah hati terasa jauh lebih menyakitkan dibandingkan masa remaja dulu. Dulu, Ala meninggalkan Brian tanpa memberi alasan apa pun.
“Mau cerita?” tanya Agung dengan nada lembut, mencoba menjadi pendengar yang baik.
Meski Ala pernah menegaskan bahwa mereka hanya teman, Agung tak mempermasalahkannya. Yang penting, ia bisa terus dekat dengan Ala. Bahkan kini chat-nya mulai dibalas, meskipun sering harus menunggu berjam-jam, bahkan berhari-hari. Baginya, selama ada balasan, itu sudah cukup.
Ala sudah mencoba membuka hati untuk orang baru, mengikuti saran-saran Laras, sahabatnya. Namun, tetap saja hasilnya nihil. Akhirnya, Brian selalu menjadi pemenang dalam pikirannya. Seminggu ini, benak Ala melayang jauh, menembus awan, bahkan angkasa, hanya untuk memikirkan kepergian Brian. Ironis, karena dia sendiri yang meminta Brian untuk tidak mengganggunya lagi.
"Nggak apa-apa, gue cuma lagi kangen sama ortu," kata Ala, mencoba menutupi kegelisahannya. Memang benar, ia rindu rumah. Tapi keinginan untuk pulang selalu kalah oleh rasa malas. Di tanah kelahirannya, terlalu banyak luka yang pernah ia rasakan. Meski sebagian sudah sembuh, beberapa masih membekas.
"Pulang aja! Kan lo belum pernah ambil cuti, La," saran Agung.
"Nggak ah, sayang kalau gaji gue kepotong."
"Yaelah, La. Daripada lo murung terus!" Agung mendesah, memperhatikan Ala yang sejak seminggu terakhir terlihat murung.
Ala menarik napas panjang. "Gue lagi nggak mood aja," jawabnya datar.
"Kalau gitu, mending lo nulis! Tempatnya enak gini buat nulis. Coba deh, siapa tahu lo dapat inspirasi. Lumayan kan, beban yang lo pikirin jadi berkurang," kata Agung.
Agung tahu kalau Ala seorang penulis. Ia mengetahuinya saat shift malam. Waktu itu, ia memergoki Ala duduk sendiri, serius menatap layar gawainya. Ala akhirnya keceplosan mengakui bahwa ia sedang menulis. Setelah itu, Agung bertanya lebih jauh, dan Ala terpaksa menceritakan hobinya. Tapi dengan catatan, Agung tidak boleh membocorkannya ke siapa pun.
Ala memang tak ingin ada yang tahu kalau dia seorang penulis. Ia lebih suka dikenal melalui tulisannya, bukan sebagai orang di balik karya tersebut. Di pabrik, ia tahu beberapa rekan kerja membaca tulisannya di aplikasi novel online, tetapi mereka tak sadar bahwa penulisnya adalah Ala. Baginya, itu lebih baik. Kalau sampai ketahuan, justru Ala yang repot.
"Iya juga ya," gumam Ala sambil mengambil gawainya dan membuka aplikasi menulis.
Angin sore berhembus lembut, memberikan suasana syahdu di taman itu. Ala memejamkan mata sebentar, membiarkan dirinya tenang sebelum mulai menulis. Satu per satu kata mengalir di layar, tanpa peduli Agung yang duduk di sampingnya sibuk memotret.
Agung memandangi layar kameranya dengan puas. Foto Ala yang sedang menulis terlihat estetik. Ia langsung mengirimkan hasil fotonya ke nomor Ala lewat WhatsApp, meskipun Ala belum membukanya.
Agung kembali sibuk mengambil gambar pemandangan taman. Fotografi memang hobinya. Ia berpikir, bukankah menarik kalau dia yang suka memotret dan Ala yang suka menulis bisa jadi pasangan serasi? Sayangnya, Ala tak punya perasaan apa-apa terhadapnya.
"La, foto bareng, yuk?" Agung mendekatkan diri.
Ala baru saja menoleh, tapi Agung sudah memegang gawainya, siap mengambil swafoto. Sebelum Ala sempat memprotes, jepret! Foto mereka berdua sudah berhasil diambil.
"Tuh, lihat! Bagus kan?" Agung memperlihatkan hasil fotonya dengan penuh percaya diri.
"Wah iya, kirim ke nomor gue dong," kata Ala. Meski awalnya ragu, ia tak bisa menyangkal kalau hasil fotonya memang bagus.
Ala belum membuka WhatsApp-nya, padahal Agung sudah mengirim beberapa foto sebelumnya. Tak hanya itu, Agung juga memasang salah satu fotonya di status WhatsApp dengan caption:
[Nggak mau senyum. Maklumlah gadis es!]
Ala belum menyadari itu. Biarlah, pikir Agung. Kalau Ala marah pun, tak masalah. Baginya, yang penting dia bisa foto bareng Ala.
***
Brian kini sibuk bekerja, hatinya lebih tenang dan senang setelah berdamai dengan Ala. Meski begitu, ada rasa tak nyaman karena ia tak bisa lagi mengirim pesan kepada gadis itu. Awalnya, Brian mengira Ala akan memblokir akun media sosialnya, tapi ternyata dugaannya salah. Ala tidak memblokir, bahkan tetap aktif memposting hasil karyanya.
Diam-diam, Brian masih membaca novel-novel Ala, terutama kisah yang seolah menggambarkan hubungan mereka dulu. Setiap kali membacanya, senyum selalu menghiasi wajahnya. Seperti nyata, pikir Brian. Kisah cinta mereka benar-benar tergambar dalam tulisan Ala.
Brian kagum pada Ala. Kini, gadis itu menjadi seorang penulis yang berbakat. Ia juga membaca karya Ala yang lain, dan semakin menyukainya. Tak pernah terpikir olehnya bahwa gadis yang dulu manja dan suka dimanja kini memiliki dunia baru yang begitu mengagumkan. Memang benar, waktu mengubah segalanya.
"Kangen banget sama kamu. Lagi apa ya sekarang?" gumam Brian sambil menatap foto Ala yang diam-diam ia ambil dulu.
Tak tahan dengan rindunya, Brian membuka aplikasi messenger dan mengetik pesan untuk Ala. Hatinya gelisah. Rindu ini terasa berbeda—lebih tebal dan menyesakkan dibandingkan sebelumnya.
[Hay, penulis novel!]
Brian tersenyum kecil. Ia tahu Ala akan aktif tak lama lagi, karena notifikasi unggahan terbaru Ala baru saja muncul di beranda. Seperti biasa, Brian langsung membaca cerita baru Ala. Meski bukan kisah mereka, tulisannya tetap memikat hati. Dari setiap kata, Brian seolah bisa membaca isi hati Ala.
Sejak bertemu Ala kembali, Brian jadi suka membaca novel. Kebiasaan baru itu entah bagaimana justru semakin membuatnya merindu. Di tengah tekanan masalah berat yang sedang ia hadapi, membaca tulisan Ala dan memandangi fotonya menjadi pelipur lara.
[Apa?]
Pesan dari Ala masuk. Hanya satu kata, tapi cukup membuat senyum Brian makin lebar.
[Ada cerita tentang orang ketiga dalam sebuah hubungan nggak?]
Pesan Brian mengandung kode. Ia berharap Ala menangkap maksudnya, bahwa pernikahannya dengan Maira gagal karena ada orang ketiga. Meski begitu, Brian memilih diam. Biarlah waktu yang menjawab segalanya.
Sebenarnya, bukan Brian yang bersalah. Justru Maira yang telah mendua, merusak kepercayaan di antara mereka. Namun, Brian tidak mau membela diri. Biarlah orang lain menilai apa yang terjadi, dan biarkan waktu yang menunjukkan kebenarannya.
Cara terbaik menghadapi orang yang tak menyukai kita adalah dengan diam. Biarkan mereka bicara sesuka hati hingga kebenaran akhirnya terungkap dengan sendirinya.
[Ada, tapi belum gue posting di sini. Ada di aplikasi novel online.]
Kali ini, Ala tak bersikap cuek seperti biasanya. Brian merasa senang karena gadis itu mau membalas pesannya. Rasa lelah yang ia rasakan seharian seolah sirna hanya dengan beberapa balasan dari Ala.
[Kok bisa jadi penulis novel itu gimana ceritanya?]
Brian penasaran. Selama bersama Ala dulu, ia tak pernah tahu gadis itu memiliki minat pada dunia menulis. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan Ala darinya dulu? Namun, Brian tak ingat pernah ada pembicaraan soal ini.
[Ya udah, kan emang hobi nulis. Kalau bisa sampai di titik ini sih panjang ceritanya. Malas juga mau ketik.]
Jawaban Ala singkat tapi jelas menggambarkan sosoknya. Brian tersenyum membaca balasan itu. Sifat Ala kini terlihat berbeda dibanding saat pertemuan mereka terakhir. Kalau dulu Ala terlihat dingin dan cuek, sekarang cara bicaranya lebih santai dan ceria. Brian bisa merasakannya, bahkan hanya lewat tulisan.
[Kenapa malas? Sejak kapan punya hobi menulis?]
Tak ingin percakapan berakhir, Brian terus mencari topik. Ia memutuskan untuk membahas soal menulis, sesuatu yang baru diketahuinya tentang Ala. Tanpa diduga, respons Ala justru membuat mereka semakin asyik berbalas pesan.
Malam pun tiba, tapi percakapan mereka terus berlanjut tanpa mengenal waktu. Setiap kata yang Ala tulis membawa Brian lebih dekat ke masa lalu mereka, sekaligus membuka lembaran baru.
--- Bersambung...
gk recommend untuk di baca. maaf
jd lah wanita mahal jng ngejar laki, jd wanita hrs di kejar. punya pacar dah selengki buang.
wanita ngejar laki kayak wanita gk laku ae, smp merendahkan diri.
ortu gk setuju tentu dah tau sifat si laki gk bner.
firasat ortu gk pernh salah, aku dah ngrasain soale.
cintanya mas bri udah stuk di kamu