(Warning !! Mohon jangan baca loncat-loncat soalnya berpengaruh sama retensi)
Livia Dwicakra menelan pil pahit dalam kehidupannya. Anak yang di kandungnya tidak di akui oleh suaminya dengan mudahnya suaminya menceraikannya dan menikah dengan kekasihnya.
"Ini anak mu Kennet."
"Wanita murahan beraninya kau berbohong pada ku." Kennte mencengkram kedua pipi Livia dengan kasar. Kennet melemparkan sebuah kertas yang menyatakan Kennet pria mandul. "Aku akan menceraikan mu dan menikahi Kalisa."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sayonk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 19
Setelah jarak 200 meter akhirnya Kennet menemukan tukang bakso. Bernad pun menghentikan mobilnya. Tepat di depan toko itu masih ada toko roti yang belum tutup. Kennet menyuruh Bernad untuk membeli roti dan ia menunggu bakso hingga jadi. Setelah selesai mereka pun pulang.
"Anita ini, jaga mereka sampai Livia pulang. Aku pergi sebentar melihat keadaan Livia dan anak ku."
"Baiklah, aku akan menghubungi Livia dulu." Anita mengeraskan suara di ponselnya itu. "Livia ini aku Anita. Aku sekarang berada di depan rumah mu tapi sepertinya sepi."
"Damian sakit, aku sedang berada di rumah sakit. Emm Anita boleh aku minta tolong. Tolong temani anak ku malam ini saja. Aku tidak bisa meninggalkan Damian." Tuturnya.
"Baiklah, aku akan mengetuk pintunya. Siapa tau salah satu anak mu belum tidur."
"Terima kasih Anita." Dia bersyukur masih ada kemudahan dalam kesulitan. Tadi dia berniat pulang, tapi ia takut Damian mencarinya karena sendirian.
Anita memutuskan ponselnya. “Aku ke sana. Kau tunggu di sini.”
“Aku ikut, aku akan mencari alasan yang lain.” Dia lebih dulu memastikan anak-anak mereka yang lain sebelum ke rumah sakit.
Anita dan Erland menurut, ia tidak mungkin menolak Kennet karena pria itu keras kepala. “Baiklah.”
Kennet mengekori Anita. Dia berada di belakang Erland dan Anita. Anita pun memencet sebuah bel sampai tiga kali dan barulah pintu di buka.
“Tante ada apa?” Tanya Caesar. Sebelum membuka pintu, dia mengintip dari gorden. Ia takut orang yang tidak di kenal mengetuk pintu rumahnya.
Anita tersenyum, ia kasihan pada mereka yang di tinggal sendirian. Caesar bersikap dewasa untuk adik-adiknya. “Tante membawakan bakso dan roti untuk kalian. Tadi Tante menghubungi ibu mu dan mengatakan bahwa dia sedang berada di rumah sakit.”
“Iya Mommy ada di rumah sakit.” Caesar membenarkan. Dia melihat ke samping ada pria jahat yanh ia kenal. “Om mau apa kesini? Aku tidak mood untuk bertengkar dengan Om.”
Kennet berjongkok. Dia merasa kasihan pada anaknya. Kenapa ia begitu bodoh hingga tidak menyadari wajah yang mirip dengannya. “Maafkan Om. Caesar mau maafin Om kan?”
“Terpaksa aku maafin Om, tapi Om jangan datang ke rumah ku lagi. Aku tidak suka sama Om.” Tuturnya.
Kennet menyadari kesalahannya, ia tau tidak akan mudah di maafkan setelah menyakiti anaknya. “Baiklah, Om akan pergi. Tetapi boleh Om duduk sebentar, Om capek.”
Caesar berpikir ia harus berbaik hati. “Baiklah sebentar saja.”
Kennet tersenyum, ia ingin mengusap wajah Caesar. Tangannya bergerak ingin mengusap pipinya.
“Om apa sih? Aku tidak suka.” Caesar menjauhkan tangan Kennet.
Kennet menatap tangannya. Dia merasa kecewa penolakan Caesar. “Iya maaf, Om hanya merindukan anak Om.”
“Tapi aku bukan anak Om, jadi jangan mendekati ku dan adik-adik ku.” Perkataan Kennet sangat menyakitkan baginya. Perkataan itu masih terdengar jelas di telinganya.
“Maaf.”
Anita merasa kasihan pada Kennet yang terlihat sedih. Dia pun ingin menyudahi obrolannya. “Sudah-sudah, sebaiknya kita masuk. Tante ingin melihat adik-adik mu.”
Anita melirik Kennet, dia berharap Kennet bisa menekan emosinya itu. “Jangan sampai mereka curiga.”
Kennet perlahan melangkah. Dia melihat ruangan utama yang terdapat empat sofa kecil, sebuah pot bunga di sudut ruangan. Beberapa foto di dinding dan saat mereka masih bayi yang berjajar rapi. Di lihat dari foto itu, sepertinya Livia selalu memotret pertumbuhan mereka hingga terlihat tubuh mereka saat ini.
Dia terus melangkah dan dua kamar itu menyambung ke dapur dan tiga kamar lainnya. Dia menatap dapur dengan cat warna hijau. Dapur sempit namun sangat rapi dan bersih. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Kehidupan yang sederhana entah bagaimana anak-anaknya hidup selama ini jauh dari vasilitas mewah. Padahal ia enak-enakan menikmati vasilitas mewah.
Kennet melihat Caesar yang mengambil sebuah alat seperti panci kecil tidak seperti panci di dalam rumahnya. “Kau mau apa?”
“Mau buat kopi dan teh untuk om dan tante, juga untuk om. Pergilah jangan mengganggu ku.” Ketusnya.
“Kau bisa menghidupkan kompor?” Tanya Kennet. Anak lima tahun itu tau menghidupkan kompor bukankah sangat berbahaya bagi anak kecil. “Anak kecil tidak boleh dekat anak kompor.”
“Om tau apa? Kalau di rumah Om ada pembantunya enak. Sedangkan di rumah ku, Mama yang berkerja sendirian. Kalau Mama sibuk aku melakukannya. Tapi aku saat ini baru mencobanya.”
Kennet melihat kompor di depannya. “Ini bagaimana caranya?” Tanya Kennet. Dia pun memutar kompor itu hingga terlihat api yang menyala. “Kau perlu menyuruh Daddy yang melakukannya.”
“Daddy? Siapa Daddy dan apa kegunaan Daddy?” Tanya Caesar. Dia merasa aneh dengan panggilan itu.
Kennet menyadari ucapannya. Anaknya pasti tidak tau. “Panggil Om saja. Sudah kamu katakan saja seperti apa caranya.” Setelah melakukan sesuai perintah Caesar. Kennet membawa tiga kopi panas dan tiga teh.
Karena tidak tau selera ketiga tamunya itu, akhirnya Caesar menyeduh keduanya. Erland menatap tak percaya, pria gagah itu menggunakan celemek. Begitu pun Anita, dia terkekeh sambil memalingkan wajahnya. Lihat saja, wajah sangarnya sangat lucu dengan tubuh menggunakan celemek.
"Apa yang kalian tertawakan?" tanya Kennet tak suka. "Aku sudah membuatkannya. Minumlah dan jangan bilang tidak enak." Mau tidak mau, suka tidak suka mereka harus mengatakan enak.
"Memksa sekali." Cibirnya. "O iya Sayang, dimana adik-adik mu? Tante ingin melihat." Dia dia beri kode oleh Kennet untuk menanyakan keberadaan mereka.
"Mari aku antar Tante."
Ketiga orang dewasa itu mengikuti Caesar di dua kamar. Mereka membuka satu kamar dan terdapat Killian dan Charles. Mereka membuka satu kamar lagi terdapat Khanza yang tidur sendirian.
Kennet melangkah masuk. Dia melihat dua anaknya tertidur pulas. Dia duduk di sisi ranjang memandangi wajah mereka. Ternyata dia kalah banyak, ke empat anaknya mengikuti wajah Selena dan hanya Caesar saja yang mengikuti wajahnya.
Dia melihat foto Livia dan Caesar. Dari wajahnya ia yakin bahwa itu wajah Caesar.
"Om mau apa? Jangan pegang-pegang nanti jatuh." Seru Caesar. Pria jahat itu seakan ingin sekali mencampurinya. Ada saja yang mau di pegang dan berusaha ramah dengannya.
"Cae, Apa kamu tidak merindukan ayah mu?" tanya Kenent. Dia berusaha ingin tau pikiran dan hati anak-anaknya. Tapi ia berusaha tidak membuatnya curiga.
"Tidak, aku tidak merindukannya. Dia sudah membuang ku dan ibu ku. Om juga tidak perlu tau aku punya ayah atau tidak. Bukankah Om mengajarkan bahwa aku harus sopan santun. Sayangnya ayah ku tidak mengajari ku dan adik-adik ku sopan santu. Sebaiknya Om pergi, biar tante Anita dan om Erland di sini." Dia tidak begitu tak suka pada Kennet. Pria itu membuatnya sakit hati.