Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kecupan pertama
Suasana malam di rumah sakit begitu tenang, hanya sesekali terdengar suara derap kaki perawat yang melintas. Kenneth duduk di samping ranjang pasien, memperhatikan Calista yang terbaring dengan tenang. Rasa syukur mengalir dalam dirinya melihat nafsu makan Calista yang mulai stabil dan morning sickness yang perlahan-lahan mereda. Kenneth bertekad untuk menjaga semua kebutuhan Calista agar dia merasa nyaman dan tenang di tengah semua cobaan yang harus mereka hadapi.
Kedua kakak Kania dan Kendra sudah pamit pulang setelah menjenguk, meninggalkan mereka berdua sendirian. Kenneth mengambil piring berisi makanan dan mulai menyuapi Calista dengan hati-hati. "Kalau kamu begini, aku juga senang lihatnya, Cal," ujarnya sambil tersenyum lebar, memperlihatkan lesung pipinya yang manis. Calista menatapnya, merasakan ketulusan dalam pernyataan tersebut. Dia merasakan cinta dan perhatian Kenneth yang tulus, membuatnya merasa lebih baik.
"Iya, hmm... Btw, kerjaan kamu sama bang Juan gimana?" tanya Calista, berusaha mengalihkan perhatian dari suasana hatinya yang sedikit muram. Kenneth menggelengkan kepala dan menjawab, "Aku disuruh libur dulu jagain kamu di sini. Lagian juga, aku nggak bisa ninggalin kamu lama-lama." Mendengar jawabannya, pipi Calista merona merah. Dia merasa sangat beruntung memiliki Kenneth di sampingnya, sosok yang selalu ada untuknya di saat-saat sulit.
"Makasih ya, Kenneth. Makasih kamu udah mau sabar sama aku," kata Calista dengan nada penuh haru, sambil menatap dalam-dalam mata Kenneth. Dia merasakan kedalaman perasaan Kenneth yang tak terucapkan, sebuah jaminan bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya. Kenneth tersenyum manis, merespons dengan penuh rasa sayang, "Sama-sama, sudah tugas aku juga, lagian."
Tiba-tiba, Kenneth merasa penasaran dan bertanya, "Emang kamu mikirin apa sih selama ini?" Calista menghela napas berat. "Aku mikirin papa, Ken. Aku takut papa selamanya nggak bisa anggap aku sebagai anak lagi karena aku udah ngerusak nama baik keluarga. Aku juga mikirin masa depan aku dan juga... ya, Randy," jawabnya, suaranya mulai bergetar, mencerminkan beban yang terasa berat di hatinya. Dia tahu, hubungan mereka sangat rumit, dan hal itu menjadi sumber kekhawatiran yang terus menghantuinya.
Kenneth menghela napas dalam-dalam dan meletakkan piring makanan Calista yang sudah habis. "Harusnya kamu nggak mendem ini dan pikirin ini sendirian. Kamu harusnya bisa berbagi sama aku, dan kalau aku bisa ngelakuin sesuatu, pasti akan aku usahain, Cal," ujarnya dengan nada serius. Dia ingin Calista tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya, dan dia bertekad untuk mendukungnya dalam setiap langkah yang diambilnya.
"Sekarang kamu jangan banyak pikiran lagi ya. Kalau ada apa-apa, harus bilang sama aku. Karena sekarang ada makhluk kecil yang tinggal di perut kamu," lanjut Kenneth dengan senyum lembut, membuat Calista mengangguk mengerti. Dia merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata Kenneth, meskipun beban di hatinya masih ada.
Namun, tiba-tiba Calista merasakan dorongan untuk pergi ke kamar mandi. "Ken, aku mau pipis," katanya. Kenneth yang mendengar perkataan Calista segera berdiri dan membantunya berjalan ke arah kamar mandi, mengingat tangan Calista masih terpasang infus. Dengan hati-hati, Kenneth membimbingnya, memastikan langkah Calista tetap stabil.
"Pelan-pelan, Cal. Nggak usah terburu-buru," katanya penuh perhatian. Calista mengangguk, mengandalkan Kenneth untuk membantunya berjalan. Setelah memastikan Calista aman, dia menunggu di depan pintu, menjaga privasi Calista sambil merenungkan semua yang telah mereka lewati bersama. Beberapa menit kemudian, Calista memanggilnya, menandakan bahwa dia sudah selesai. Kenneth segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membantunya kembali ke ranjang pasien.
"Tidur ya... Udah malam, Cal," perintah Kenneth dengan lembut. Calista menuruti perintahnya, matanya mulai terpejam. Kenneth membelai rambut Calista dengan lembut, menuntunnya ke alam mimpi. Dia merasa beruntung bisa menjadi pendamping Calista di saat-saat sulit seperti ini. Calista tertidur dengan nyenyak, dan Kenneth tidak bisa menahan senyum melihat wajah cantik istrinya yang tampak damai.
"Cantik banget istri aku," puji Kenneth dengan tulus, perasaannya menghangat saat melihat Calista dalam keadaan tidur. Tanpa ragu, dia mencondongkan tubuhnya sedikit dan mencium kening Calista dengan perlahan. Momen itu terasa begitu istimewa baginya. "Cepetan pulang ya, Cal. Ada hadiah nunggu kamu di rumah," bisiknya penuh harapan. Ini adalah pertama kalinya setelah menikah, Kenneth mencium Calista. Dia tidak tahu dari mana dorongan itu datang, tetapi saat ini, dia benar-benar merasakan hatinya terikat dengan Calista.
Setelah mencium kening Calista, Kenneth beranjak pindah ke sofa panjang yang sudah disediakan di ruangan tersebut. Meskipun sofa itu tidak sebanding dengan kenyamanan ranjang pasien, dia merasa lelah setelah seharian beraktivitas. Tidurnya pun tidak bisa tenang selama berada di rumah sakit karena Calista selalu terbangun saat menjelang pagi. Kenneth berusaha mencari posisi yang nyaman, tetapi pikirannya tak bisa lepas dari Calista. Ia merenungkan semua yang telah terjadi dalam hubungan mereka. Betapa besar cinta dan komitmen yang mereka miliki satu sama lain, meskipun mereka harus melewati masa-masa sulit.
Saat mengingat kembali pertemuan pertama mereka, Kenneth tersenyum kecil. Dia ingat bagaimana Calista terlihat ceria dan penuh semangat. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak hal yang telah berubah. Calista kini berjuang menghadapi masalahnya, dan Kenneth bertekad untuk selalu ada untuknya, apapun yang terjadi. Dia memikirkan bagaimana kehidupan mereka akan berubah setelah Calista pulang dari rumah sakit. Ia berharap Calista bisa pulih sepenuhnya dan kembali ke kehidupannya yang normal, tetapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa banyak hal yang perlu mereka hadapi bersama.
Malam semakin larut, tetapi Kenneth masih terjaga. Dia menatap langit-langit ruangan yang berwarna putih, mencoba menenangkan pikirannya. "Semoga semua ini segera berlalu, dan kita bisa kembali ke kehidupan normal kita," bisiknya pelan. Dia berdoa untuk kesehatan Calista dan janin yang kini sedang berkembang di dalam rahimnya. Kenneth berharap agar mereka bisa melewati semua cobaan ini bersama-sama, saling mendukung dan mencintai satu sama lain.
Akhirnya, pelan-pelan Kenneth terlelap. Mimpinya dipenuhi dengan gambaran indah tentang masa depan bersama Calista dan anak mereka. Ia membayangkan bagaimana mereka akan membangun keluarga yang bahagia, dengan cinta dan kasih sayang yang melimpah. Kenneth berharap bisa menjadi suami dan ayah yang baik, selalu ada untuk Calista dan anak mereka. Ia memimpikan momen-momen bahagia di mana mereka bisa bermain bersama anak mereka, melihat senyum Calista saat anak itu tertawa, dan bagaimana mereka akan menjadi keluarga yang saling mendukung satu sama lain.
Ketika pagi tiba, sinar matahari yang lembut mulai menyusup masuk ke dalam ruangan, membangunkan Kenneth. Dia membuka matanya perlahan dan melihat Calista yang masih terlelap di ranjang pasien. Melihat wajah cantik istrinya, hatinya dipenuhi rasa syukur. Dia berdoa agar hari ini membawa kebahagiaan dan harapan baru bagi mereka. Setelah mencuci muka dan merapikan diri, Kenneth bersiap untuk menyambut hari baru dengan penuh semangat.
Saat dia melangkah menuju ranjang Calista, dia merasa gelisah. "Cal, bangun, sayang. Udah pagi," katanya sambil mengusap lembut tangan Calista. Setelah beberapa saat, Calista membuka matanya dan tersenyum melihat Kenneth. "Selamat pagi, Ken," ucapnya dengan suara serak. Kenneth merasa senang mendengar suaranya. "Gimana, tidur nyenyak?" tanyanya.
Calista mengangguk sambil menggeliat. "Iya, aku merasa lebih baik," jawabnya, dan Kenneth merasa lega mendengarnya. "Mau sarapan? Aku sudah pesan makanan untuk kamu," ucapnya sambil tersenyum. Calista terlihat bersemangat, dan dia tidak sabar untuk menikmati makanan yang disiapkan Kenneth.
Setelah sarapan, mereka menghabiskan waktu bersama di rumah sakit. Kenneth menceritakan beberapa hal lucu dari pekerjaannya dan menghibur Calista. Mereka berbagi tawa dan cerita, membuat suasana menjadi lebih ceria. Kenneth merasa senang melihat Calista tersenyum, dan itu membuat beban di hatinya sedikit lebih ringan.
Namun, saat pagi berlalu, suasana menjadi lebih serius ketika dokter datang untuk memeriksa kondisi Calista. Kenneth menahan napas saat dokter memeriksa dan menjelaskan keadaan Calista. Dan akhirnya Calista sudah diperbolehkan pulang.