Berry Aguelira adalah seorang wanita pembunuh bayaran yang sudah berumur 35 tahun.
Berry ingin pensiun dari pekerjaan gelap nya karena dia ingin menikmati sisa hidup nya untuk kegiatan normal. Seperti mencari kekasih dan menikah lalu hidup bahagia bersama anak-anak nya nanti.
Namun siapa sangka, keinginan sederhana nya itu harus hancur ketika musuh-musuh nya datang dan membunuh nya karena balas dendam.
Berry pun mati di tangan mereka tapi bukan nya mati dengan tenang. Wanita itu malah bertransmigrasi ke tubuh seorang anak SMA. Yang ternyata adalah seorang figuran dalam sebuah novel.
Berry pikir ini adalah kesempatan nya untuk menikmati hidup yang ia mau tapi sekali lagi ternyata dia salah. Tubuh figuran yang ia tempati ternyata memiliki banyak sekali masalah yang tidak dapat Berry bayangkan.
Apa yang harus dilakukan oleh seorang mantan pembunuh bayaran ditubuh seorang gadis SMA? Mampukah Berry menjalani hidup dengan baik atau malah menyerah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilnaarifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Pagi hari, di keluarga baru Alice. Everest Mansion.
Seperti yang di katakan Alice saat itu, dia tidak akan pergi ke sekolah dalam dua hari ke depan dan lebih memilih menenangkan diri di rumah barunya.
Saat ini, Alice berjalan menuruni tangga menuju lantai bawah, keluarga baru nya
berkumpul untuk sarapan. Dan tentu nya, dia harus ikut.
Meja makan sudah ramai, dia pun mengambil tempat duduk di depan Ruby. Di samping gadis itu, ada Cakra sedangkan di samping Ruby ada Louis dan Kairo.
Di kursi utama, ada kakeknya, Jeffirey yang sedang membaca koran. Jasmine berjalan bulak balik sambil menyusun piring dan makanan.
Alice ingin membantu tapi ayahnya melarang dan menyuruh nya untuk duduk diam. Tidak masalah, itu lebih baik.
Beberapa saat pun berlalu, mereka memulai sarapan dengan obrolan santai, menurut Alice. Tapi, ayahnya menatapnya dengan bingung karena dia memakai pakaian rumah dan bukan nya seragam sekolah seperti Ruby dan Cakra.
Maka, pria itu pun bertanya. "Alice, kamu tidak pergi ke sekolah seperti yang lain?"
Semua pun, mendadak mengalihkan pandangannya pada Alice yang sedang
mengunyah nasi nya. Gadis itu pun terdiam sebentar untuk menelan makanan nya, "Alice nggak sekolah. Tadi, udah minta izin sama guru." Jawab nya sederhana.
Memang, dia tadi sudah menghubungi guru nya dengan alasan kesehatan yang sedikit terganggu akibat pertandingan dadakan semalam.
Untung saja, guru itu memaklumi nya.
Caspian pun mengangguk paham tapi seperti nya seseorang tidak ingin membuatnya tenang dengan damai.
"Alice memang suka bolos paman. Saat di sekolah juga, dia sering bolos hingga langganan masuk ruangan BK, haha."
Tiba-tiba saja, Ruby membuka suara dengan ekspresi pura-pura mengatakan hal yang lucu.
Padahal Alice tahu, gadis itu memang sengaja mengatakan hal buruk tentangnya.
Mendengar itu, tentu saja keluarga Everest lainnya terkejut. Bahkan, kakek nya menatap diri nya dengan pandangan bertanya.
Alice pun menghela nafas lelah, "Aku
terkejut, bahwa diri mu suka sekali mencampuri urusan orang lain." Kata Alice pada Ruby, sama halnya seperti yang pernah di katakan Ruby pada Alice saat itu. Ruby yang mendengar itu pun merasa kesal.
"Kan memang benar, seperti kemarin, Lo baru aja kena kasus karena menghajar beberapa murid di kantin. Untung saja, bisa lolos." Ucap Ruby dengan remeh, Alice melirik nya dingin.
"Jaga mulut mu, kita tidak sedekat itu. Urus saja urusan mu." Jawab Alice datar.
Jeffrey mengira saat Alice mengatakan dia dan Ruby adalah musuh, itu hanya sekedar candaan. Tapi, ternyata memang benar. Melihat dari aura keduanya cucu nya yang memang tidak bisa akur.
Caspian melihat wajah putri nya, mengingat gadis ini sangat mirip dengan mendiang istrinya, ada rasa takut dari diri nya saat Alice marah.
Dia pun terbatuk pelan, "Kalian berdua adalah sepupu, lebih baik bertingkah lah selayaknya." Ucap pria itu pelan.
Alice mendengus, "Tidak sudi." Balas nya sinis.
Louis menipiskan bibir nya, "Jaga bicara mu pada adik ku." Ucap nya dengan datar.
Tangan Alice terkepal, sudah dia bilangkan, seharusnya dia memang tidak tinggal di satu tempat yang sama dengan Ruby.
Caspian melihat suasana hati Alice sudah tidak terkatakan lagi, "Sebaiknya kalian pergi berangkat sekolah sekarang, ini sudah terlambat." Kata pria itu sambil melirik ayah nya.
Jeffrey pun seakan sadar dengan maksud putra tertua nya, "Paman mu benar, sebaiknya kalian pergi sekarang." Timpal pria tua itu.
Cakra menghabiskan minumannya dengan cepat, dia pun segera berdiri. "Kami berangkat dulu, ya." Ucap pemuda itu main-main, tangan nya mengacak-acak rambut Alice iseng.
Gadis itu pun memasang wajah cemberut, untung saja ada Cakra. Jika tidak, dia akan
membalik kan meja ini dengan penuh emosi.
Ruby pun terpaksa mengikuti Cakra, dia berangkat bersama pemuda itu. Darrel tidak bisa menjemput nya karena pemuda itu harus datang lebih dulu.
Dia pun mencium semua keluarganya, kecuali paman pertama dan paman bungsu nya. Wajah mereka terlihat buruk, yang mana membuat Ruby ragu untuk melakukan hal itu.
Meja makan pun kembali tenang ketika biang masalah telah pergi. Alice mendorong piringnya malas, dia sudah tidak berselera lagi untuk makan.
"Alice mau naik aja ke atas, ayah. Makan pun sudah tak berselera lagi." Ujar gadis itu datar.
Caspian pun tidak bisa mengatakan apapun, dia hanya membiarkan gadis itu pergi dari meja makan.
"Putri mu terlalu bertemperamen, percis sepertimu." Ucap James main-main.
Sedari tadi, pria itu hanya menusuk-nusuk makanan nya, tidak terbiasa memakan masakan orang lain selain dirinya. Yang mana membuat nya menjadi ragu.
Padahal, Jasmine tidak menaruh racun disana.
Di atas,
Alice membanting pintu nya dengan kasar. Emosinya sudah tersulut dan hampir saja dia melempar Ruby dengan pisau kecil yang ada di atas meja tadi.
Gadis itu mencoba mengatur nafas nya dengan perlahan-lahan, apa perlu dia meminta untuk pindah rumah ya?
Tapi seperti nya tidak perlu, kasihan sekali ayah nya nanti. Sendirian menghadapi orang-orang gila di rumah ini.
Alice memilih tidur dan memasang earphone nya dengan suara full. Tidak tahu lagi, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Di sekolah, Gama mendapatkan kabar bahwa sekolah Lorence mengundurkan diri dari pertandingan basket.
Hal ini cukup membuat Gama terkejut
heran, mengingat sekolah Lorence terkenal dengan ambisinya dalam hal apapun.
Dian meletakkan kertas-kertas hasil pertandingan di atas meja, "Tumben sekali, anak murid Lorence tidak membuat
masalah." Ucap pemuda itu sambil mengambil botol air minum di kulkas kecil Gama.
Dia mengerutkan kening nya heran, "Kemana semua cemilan mu? Tidak ada satu pun yang tersisa disini." Lanjut nya heboh.
Gama teringat dengan seseorang, dia pun menatap Dian.
"Gadis itu, Alice. Apa dia datang?"Tanya nya datar. Dian yang tadi nya heboh memeriksa kulkas, siapa tahu cemilan nya bersembunyi di balik nya.
"Tidak tahu, gue nggak memperhatikan
gerbang tadi." Jawab nya asal.
Cemilan nya memang tidak ada. Gama terdiam mendengar itu, dia pun melanjutkan pekerjaannya.
"Oh iya, gue dengar kabar kemarin. Kalau
beberapa anak sekolah Lorence pulang dengan keadaan luka-luka dari sekolah kita. Kata nya, habis kena gigit semut." Ucap Dian, pemuda itu mengambil tempat duduk. Dan bersantai sebelum kembali bekerja, lelah sekali rasa nya menjadi anggota OSIS.
"Bukan urusan gue." Nalas Gama datar, Dian terkekeh kecil, seharusnya dia tidak menceritakan hal ini pada pemuda kulkas itu.
"Yang Lo perdulikan hanya, Alice." Kata
Dian sinis. Gama hanya meliriknya tanpa menjawab lagi.
Di luar, pertandingan terus berlanjut meriah. Meski, Darrel dan teman-teman nya tidak bisa melampiaskan kekesalan nya pada Bagas karena mereka mengundurkan diri dari
pertandingan.
Tentu saja, hal ini membuat tim mereka unggul di depan. Tanpa kesusahan seperti kemarin.
Karla mencari Alice sedari tadi, tapi tidak menemukan gadis itu. Dia pun mendatangi Cakra yang memang kebetulan juga berada di dekat lapangan untuk melihat pertandingan basket nya.
"Lo ada lihat Alice, nggak?"Tanyanya penasaran. Cakra yang tadi sibuk berteriak mendadak diam ketika merasa kan sebuah
tepukan di pundak nya.
"Eh... Lo nggak tahu? Alice izin hari ini." Kata nya sambil berbalik.
Ternyata Karla, dia kira orang lain. Tumben ada yang main mencari Alice, mengingat gadis itu selalu menebar musuh di mana-mana.
Karla terkejut, "Lo tahu dari mana?"Tanya nya bingung.
Cakra terdiam seketika, apa perlu dia mengatakan kalau Alice ternyata adalah sepupunya?
Cakra menggaruk kepala nya yang tidak gatal, "Lebih baik, Lo tanya aja sendiri sama dia." Jawab pemuda itu asal.
Gadis itu mendengus, dia salah menanyakan hal ini pada Cakra. Sudahlah, dia akan mencari tahu sendiri saja nanti.
Karla pun mengangguk paham dan segera pergi dari sana. Cakra yang melihat itu menghela nafas lega. Hampir saja dia keceplosan.
Beberapa saat berlalu, semua berjalan dengan normal hingga malam hari pun tiba.
Alice merasa bosan, saat bangun dia hanya melihat ruang kosong kamar tanpa seorang pun selain diri nya.
Oh, ada juga boneka-boneka yang di siapkan entah oleh siapa di kamar nya. Dia sudah dewasa, untuk apa boneka itu di letakkan disini?
Gadis itu mencuci muka dan berjalan keluar dari kamar, di lantai tiga ini, hanya terisi oleh diri nya dan juga sang ayah.
Batinnya masih menjerit ingin mencari tahu semua tentang keluarga nya, mengingat di dalam cerita novel itu, Ruby adalah protagonis. Dan dia memilik darah yang sama dengan si protagonis.
Pantas saja, nasib nya mendadak bagus
setelah tiba disini. Tapi, kenapa Alice yang asli tidak pernah bertemu dengan keluarga kandung nya di cerita asli? Aih, semakin di pikirkan semakin pusing dia.
Gadis itu mengetuk pintu kamar ayahnya, lalu mendengar suara dari dalam. "Sebentar."
Tidak lama, pintu pun terbuka dan menampilkan Caspian.
Pria itu terkejut melihat putri nya, "Ada apa, sayang?"Tanya nya lembut.
Alice tersenyum tipis, "Alice cuman mau habisin waktu sama, ayah. Boleh, kan?"Kata nya ragu.
Mendengar itu, Caspian segera mengangguk semangat. "Tentu saja boleh, apa yang kamu ingin kan? Masuk, lah." Ucap pria itu dan membiarkan Alice masuk ke dalam kamar nya.
Gadis itu pun melangkahkan kaki nya, matanya segera memandang seluruh isi ruangan. Kamar ini bernuansa monokrom namun yang memuat Alice tertarik. banyak sekali alat-alat musik di pajang. Lebih banyak, alat nya musik yang di petik. Seperti gitar, contoh nya.
Suara musik klasik pun memenuhi rungu Alice, membuat nya kembali mengantuk. Menguap sedikit, dia pun menduduki dirinya di atas kasur sang ayah.
Pria itu terlihat tidak keberatan dan mengambil kursi untuk diri nya sendiri.
"Ada yang ingin kamu bicarakan?"Tanya Caspian sekali lagi, Alice mengalihkan
pandangannya pada sang ayah.
"Iya, semua masih semu untuk Alice." Jawab gadis itu pelan.
Caspian sangat memaklumi itu, bagi Alice yang selama hidup nya tinggal bersama orang tua angkat nya, tiba-tiba berubah dan tinggal bersama keluarga kandungnya hanya dalam beberapa waktu.
Pasti, gadis itu terkejut.
"Ayah, bagaimana bisa Alice hilang dulu?"Tanya Alice lemah.
Belum apa-apa, dia sudah ingin menangis, lemah sekali diri nya. Caspian terdiam sesaat, dia sepertinya sedang memikirkan jawaban yang bagaimana harus dia berikan pada putri nya.
"Kamu pasti tahu, keluarga besar pasti selalu memiliki musuh." Kata Caspian membuka cerita.
Alice mengangguk, pria itu pun melanjutkan kembali ucapannya, "Paman kedua mu, dulu remaja yang sangat egois. Tidak mau kalah dan tidak ingin di anggap lemah oleh orang lain. Suatu saat, dia memiliki masalah dengan keturunan mafia dari China. Entah apa yang di lakukan paman mu itu hingga, mafia itu membenci nya dan seluruh keluarga kita."
Mendengar itu Alice tersenyum sinis dalam hati, anak dan Daddy sama saja. Suka membuat masalah dengan kekeras kepalaan nya.
"Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?"Kata Alice bingung.
"Tentu saja, mereka mengincar paman mu dan selalu menargetkan diri nya. Ayah harus sampai turun tangan untuk membantunya melepas diri dari para penjahat itu, meski ayah seorang komposer, ayah juga sering
turun ke dunia gelap seperti itu. Untuk memajukan bisnis keluarga, tentu saja perlu campuran dunia bawah." Jawabnya tidak enak, menceritakan hal buruk tentang diri nya di hadapan sang putri, membuat Caspian merasa malu.
Alice menganga mendengar itu, ayah nya yang terlihat lemah lembut ini seorang berandal mafia? Kejutan apa lagi yang harus dia dapat?
Caspian berdehem, "Karena ayah menolong paman mu, mereka berbalik menyimpan dendam dengan ayah. Singkatnya saat kelahiran mu, mereka melakukan penyerang dadakan di rumah sakit kamu lahir dan menculik mu dengan menyamar sebagai salah satu perawat rumah sakit. Ayah saat itu terlalu fokus menemani ibu mu yang tiba-tiba saja mengalami pendarahan."
"Sampai-sampai melupakan mu, yang juga sedang dalam bahaya. Akhirnya, ayah kehilangan mu dan juga ibu mu di hari yang sama. Ayah bahkan belum sempat melihat rupa mu seperti apa, saat itu." Lanjut Caspian sambil menitikkan air matanya.
Entah sejak kapan pria ini menangis, Alice sungguh tidak menyadari nya. Dia pikir, kisah hidup nya sudah cukup dramatis tapi siapa sangka.
Kehidupan Alice lebih banyak drama dari yang ia bayangkan. Gadis itu tersenyum tipis, "Alice di temukan di panti asuhan. Itu berarti, musuh ayah tidak berniat membunuh Alice saat itu." Ucapnya dengan segala pemikiran aneh di otak nya.
"Ayah tidak tahu tentang hal itu, banyak yang terjadi setelah kepergian mu dan juga ibu mu waktu itu. Terutama, ayah terkena depresi berat dan tidak dapat berpikir rasional dalam beberapa waktu." Timpal Caspian malu.
Alice tidak memberikan reaksi berlebihan, dia hanya mengangguk paham.
Caspian berpikir, kalau anaknya ini kurang dalam hal empati. Tidak ada raut kesedihan yang terlalu di raut wajah nya, dirinya tidak tahu, apakah hal ini bagus atau tidak.
"Ayah, aku tidak suka dengan Ruby. Dia terlalu buruk untukku." Ucap Alice tiba-tiba, mengalihkan cerita agar ayahnya tidak terhanyut lagi dalam cerita masa lalu.
Pria itu terkekeh geli, "Tidak masalah. Dulu ayah dan paman kedua mu juga seperti itu, kami tidak pernah bisa akur sama sekali. Hingga kakek mu sungguh marah dan kehabisan akal." Ucap Caspian, dia menghela nafas panjang.
Sekarang, permusuhan ini terjadi di antara anaknya dan sang keponakan.
"Hanya saja jangan larang aku, jika kelepasan dan malah menghajar nya nanti." Kata Alice dengan wajah datar nya, Caspian mengangguk, apa pun untuk putri nya, akan dia berikan.
"Tentu saja sayang."
Kedua ayah dan anak itu pun melanjutkan percakapan mereka, Alice menceritakan
kisah hidup nya yang mana membuat nya berakhir harus memainkan Selo di kamar ayahnya.
Untung saja, ingatan tubuh Alice sudah menyatu dengan dirinya, jadi dia bisa melakukan pertunjukkan dadakan itu
dengan sempura.
Hari berlalu kembali dengan cukup normal, ya setidaknya.
^^
tp yg baca ko dikit y..
yooo ramaikan hahhlah