Siang ini udara panas berembus terasa membakar di ruas jalan depan gerbang Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Matahari meninggi mendekati kulminasi. Suara gaduh di sekeliling menderu. Pekikan bersahut-sahutan, riuh gemuruh. Derap langkah, dentuman marching band dan melodi-melodi bersahutan diiringi nyanyian-nyanyian semarak berpadu dengan suara mesin-mesin kendaraan.
Rudi salah satu laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa Unsil selama hampir 7 tahun hadir tak jauh dari parade wisuda. Ia mengusap peluh dalam sebuah mobil. Cucuran keringat membasahi wajah pria berkaca mata berambut gondrong terikat ke belakang itu. Sudah setengah jam ia di tengah hiruk pikuk. Namun tidak seperti mahasiswa lain. Pria umur 28 tahun itu bukan salah satu wisudawan, tetapi di sana ia hanya seorang sopir angkot yang terjebak beberapa meter di belakang parade.
Rudi adalah sopir angkot. Mahasiswa yang bekerja sebagai sopir angkot....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Harapan Sang Ayah
Rudi telah menghilang dari pandangan, namun Intan masih berdiri di luar memandang ke kegelapan. Resti menggeleng-gelengkan kepala. Gadis jenaka itu mengikuti arah pandang Intan seraya berkata :
“Hati kamu sepertinya ikut ke sana deh! Mmmm… nasib, mulai sekarang aku bakal kesepian.”
“Apaan sih kamu Ti?”
“Bener ya kata Evita...”
“Apaaaaa?”
“Kamu sedang kasmaran.”
“Restiiiii, udah dong!”
Intan merangkul Resti.
“Udah makan?”
“Udah sama Abang…”
“Masuk yuk!”
Intan mengangguk lalu mengikuti Resti masuk gerbang. Kosan mawar memiliki pelataran yang luas dan gerbang tinggi tertutup. Ada sepuluh kamar dan sebuah ruang terbuka untuk berkumpul. Di ujung pelataran berdiri sebuah rumah. Rumah yang cantik dengan aneka tanaman hias. Di rumah itu ibu kos tinggal bersama keluarga. Kamar Resti dan Intan bersebelahan, paling dekat dengan rumah ibu kos.
Intan masuk ke dalam kamar, menyalakan lampu lalu berbaring di tempat tidur. Gadis itu memeriksa telunjuk kirinya. Masih terbalut perban. Ia tersenyum, kemudian memeluk luka yang terbalut itu. Rasa haru pun menyeruak memenuhi dada. Namun, sebuah kilasan memori tiba-tiba mengusik. Wajah gadis itu pun berubah menjadi sedih.
Beberapa hari yang lalu Intan pulang di akhir pekan. Hari Sabtu mengunjungi rumah orang tua untuk menginap semalam.
Setiap kali pulang ada suatu pemandangan yang selalu dilihatnya. Ialah sosok ayahnya berdiri menunggu di depan rumah. Ayahnya telah semakin tua. Tampak di kerut wajahnya, warna rambut dan bercak kulit di tangannya. Seorang ayah yang teramat penyayang dan perhatian. Namun demikian ia tampak masih sehat. Kecuali saat kepulangan Intan terakhir kali. Ia melihat ayahnya duduk di depan rumah dan terbatuk beberapa kali.
Oh, hatinya menjerit. Ayahnya kini telah mulai sakit-sakitan. Begitu tiba Intan menciumi tangan pria tua penyayang berkharisma itu lalu memeluknya.
Di kamar Intan merebahkan diri untuk beristirahat. Selama beberapa menit mata tidak terpejam. Intan meraih ponsel kemudian menyetel rekaman Rudi tentang sistem pendengaran waktu itu. Sudah berkali-kali didengarnya rekaman itu. Namun seperti tak bosan diulang-ulang.
Bi Isah menghampiri Intan mengantar segelas susu. Ia bertanya tentang rekaman yang sedang didengar Intan. Intan pun bercerita kalau itu suara abangnya. Bi Isah kaget, baru kali ini mendengar Intan punya abang. Abang dari mana? Intan pun menceritakan semuanya. Melihat Intan bahagia, Bi Isah pun ikut bahagia bahkan tenggelam dalam tawa-tawa kecil Intan ketika menceritakan kisah-kisah dirinya selama bersama Rudi.
Malam pun tiba, dari kejauhan sang ayah kedapatan menerima tamu. Seorang laki-laki muda dalam setelan rapi. Di ruang tamu pria itu menunjukan sinar kebanggaan. Pria itu mengobrol dengan ayah Intan menghabiskan berbagai macam topik pembicaraan.
Intan tahu, bukan hanya pria itu yang pernah bertamu ke rumah Intan dan berjumpa dengan sang ayah, melainkan ada beberapa pria muda lain. Mereka tak kalah rapinya dalam berpakaian. Tak kalah pula cerdas dan pandainya. Namun pria di akhir pekan itu adalah pria yang kerap mengajaknya pulang, atau pergi ke sutau tempat.
Tak perlu memastikan inti pembicaraan, Intan sudah punya firasat akan maksud kedatangan si pria. Pria itu terlihat paling akrab dengan ayahnya. Mengobrol lebih banyak hal dibanding pria-pria lain. Sampai bermenit-menit. Berselang canda dan tawa. Meski begitu ayah Intan sekali-kali merenung, namun pria tua berkharisma itu selalu pandai menghargai tamunya. Ia pun akan ikut tertawa lagi jika sudah saatnya suasana harus kembali cair.
Intan berbalik menuju kamar dengan wajah muram. Di ambang pintu ia bertemu Bi Isah. Bi Isah melihat tanda itu dan memahami situasi yang perlahan-lahan sedang terjadi di rumah itu. Melihat Intan ia merasa iba, kemudian memeluk gadis itu. Air mata Intan pun terjatuh.
Di kamar Intan bercerita kepada Bi Isah. Kisah dirinya dengan sang ayah ketika masih kuliah di tingkat dua.
Suatu kali Intan melayat ke rumah saudara yang meninggal bersama ayah dan ibunya. Sepulang melayat dan menguburkan jenazah, mereka pulang. Namun sebelum benar-benar jauh dari area pemakaman sang ayah menghentikan laju mobil. Sesaat pria tua itu menyisirkan pandang ke area pemakaman, kemudian melirik ke arah isterinya sambil bicara :
“Bu, kini usia Ayah sudah hampir 70 tahun dan kita tidak pernah tahu kapan Ayah akan tutup usia!”
Sang istri menggenggam tangan pria itu dengan erat. Si pria memejamkan matanya beberapa detik, lalu beralih ke Intan yang duduk di belakang.
“Intan, bukan salahmu jika kamu terlahir ketika Ayah sudah tua. Kini kamu sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik dan cemerlang. Ayah sangat bangga dan bersyukur atas kehadiran kamu, malaikat kecil Ayah, sebagai suatu anugerah terbesar dalam hidup Ayah.”
Sesaat pria itu menghela nafas, terdiam, seperti sedang mengatur kata-kata yang akan ia ucapkan kemudian.
“Di usiamu sekarang ini, dan di usia Ayah yang semakin renta ini, Ayah… sangat berharap jika kamu segera punya pendamping. Namun begitu, semuanya kembali kepada kehendak Tuhan.”
“Iya Ayah!” jawab Intan sambil mengelus tangan ayahnya yang sudah sangat jauh berubah dari belasan tahun lalu seingat Intan.
Intan masih terbaring di kamar kos. Gadis itu masih memeluk jarinya yang terluka. Ia merasakan ada percikan hangat di sudut matanya.