Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Ronde
Gue mengangguk lagi dan coba ngomong kali ini, tapi yang keluar cuma erangan lagi.
Itu artinya iya.
Bibirnya berhenti mencium gue, dan sekarang dia fokus tunggu jawaban gue. Gue taruh tangan gue di belakang kepalanya dan tempelkan pipi gue ke pipinya.
"Iya," gue berhasil mengucapkan. "Iya, Tama. Iya." Gue merasa tubuh gue mulai tegang bersamaan dengan saat dia menarik napas tajam.
Gue pikir kita saling memeluk erat sebelumnya, tapi itu enggak ada apa-apanya dibandingkan momen ini.
Rasanya kayak semua Indera kita bersatu secara ajaib dan kita merasakan sensasi yang sama, mengeluarkan suara yang sama, mengalami intensitas yang sama, dan berbagi respons yang sama.
Ritme kita perlahan mulai melambat, seiring dengan getaran di tubuh kita. Pegangan erat kita satu sama lain mulai mengendur. Dia membenamkan wajahnya di rambut gue dan menghela napas panjang.
"Lo kalah," bisiknya.
Gue ketawa dan bergerak menggigit lehernya. "Lo curang," kata gue. "Lo pakai tangan."
Dia ketawa sambil geleng-geleng kepala.
"Tangan itu sah-sah aja. Tapi kalau lo pikir gue curang, mungkin kita harus tanding ulang."
Gue angkat alis. "Ronde ketiga?"
Dia angkat gue dari pinggang dan mulai mendorong gue ke arah pintu penumpang sambil berjuang buat pindah ke belakang setir.
Dia kasih gue pakaian gue, lalu tarik kaosnya lagi ke atas kepala dan mengancingi celananya. Setelah itu gue beres-beres di jok penumpang sambil dia menyalakan mobil.
Dia masukan gigi mundur dan mulai mengeluarkan mobil. "Pakai seatbelt," katanya sambil mengedip.
...***...
Kita nyaris enggak berhasil keluar dari lift, apalagi ke ranjangnya. Dia hampir saja langsung menghajar gue di lorong.
Yang bikin sedih, gue enggak keberatan sama sekali.
Dia menang lagi. Gue mulai sadar, bersaing buat lihat siapa yang bisa paling senyap ternyata bukan ide yang bagus kalau lawan gue memang orang paling pendiam yang pernah gue kenal.
Gue bakal mengalahkan dia di ronde tiga. Tapi enggak malam ini, karena Amio mungkin bakal pulang sebentar lagi.
Tama lagi memperhatikan gue. Dia tiduran, di perutnya ada tangan dilipat di atas bantal dan kepala menyender di lengan yang satunya.
Gue lagi rapikan baju gue, soalnya gue harus ada di apartemen gue sebelum Amio datang biar gue enggak perlu bohong soal di mana gue tadi.
Tama mengikuti gue dengan matanya ke mana pun gue berjalan di kamarnya sambil berpakaian.
"Gue rasa Bra lo masih di lorong," katanya sambil ketawa. "Mungkin lo mau ambil sebelum Amio nemuin."
Gue cemberut membayangkannya. "Ide bagus," jawab gue. Gue naik ke ranjang dan cium pipinya, tapi dia malah tarik pinggang gue dan berguling. Dia kasih ciuman yang lebih oke dari yang barusan gue kasih.
"Boleh nanya sesuatu?"
Dia mengangguk, tapi kelihatan terpaksa. Dia selalu gugup kalau gue tanya.
"Kenapa lo enggak pernah lihat mata gue waktu kita main?"
Pertanyaan gue bikin dia kaget. Dia menatap gue selama beberapa detik tanpa ngomong apa-apa sampai gue makin menjauh dan duduk di sampingnya di ranjang, menunggu jawabannya.
Dia bangun dan menyandar di kepala ranjang, melihat tangannya. "Beberapa orang rentan saat berhubungan," katanya sambil angkat bahu. "Gampang bikin bingung, itu tatapan perasaan atau sekedar tatapan emosi, dan gue enggak mau lo tahu itu." Dia melirik ke mata gue. "Emang itu ngeganggu lo?"
Gue geleng-geleng, tapi hati gue teriak Yes!
"Gue bakal terbiasa sih, cuma penasaran aja."
Gue senang banget sama dia, tapi gue makin benci sama diri sendiri setiap kali ngomong bohong.
Dia senyum dan tarik gue lagi buat ciuman, kali ini lebih serius. "Bye, Tia."
Gue mundur dan keluar dari kamarnya, merasa dia terus memperhatikan gue sepanjang waktu. Lucu, dia enggak mau lihat mata gue pas kita main, tapi di sisa waktu dia enggak bisa berhenti menatap gue.
Gue enggak ingin balik ke apartemen dulu, jadi setelah ambil Bra gue, gue jalan ke lift dan turun ke lobi buat lihat apakah Kapten masih di sana. Gue tadi cuma sempat menyapa dia sebentar sebelum Tama buru-buru dorong gue masuk lift dan mengerubungi gue.
Bener saja, Kapten masih duduk di kursinya, meskipun sudah lewat jam sepuluh malam.
"Kapten pernah tidur enggak, sih?" tanya gue sambil duduk di kursi sebelahnya.
"Orang-orang lebih menarik di malam hari," jawabnya. "Saya suka tidur siang. Biar bisa menghindari orang-orang yang kebanyakan buru-buru di pagi hari."
Gue mendesah lebih keras dari waktu gue menyender ke kursi. Kapten melihat dan tanya gue.
"Wah, ada masalah sama cowoknya? Tadi kelihatannya berdua baik-baik aja. Saya bahkan sempet lihat dia senyum dikit waktu masuk bareng tadi."
"Baik-baik aja," jawab gue. Gue berhenti sebentar, berpikir. "Kapten pernah jatuh cinta?"
Dia tersenyum pelan. "Oh, pernah," katanya. "Namanya Wanda."
"Berapa lama nikah?"
Dia melihat gue sambil mengerutkan alis. "Saya enggak pernah nikah," katanya. "Tapi kayaknya pernikahan Wanda bertahan sekitar empat puluh tahun sebelum dia meninggal."
Gue miringkan kepala, mencoba mengerti maksudnya. "Kapten, tolong jelasin."
Dia duduk lebih tegak di kursinya, senyum masih ada di wajahnya. "Dia tinggal di salah satu gedung yang saya urus. Dia nikah sama pria berengsek yang cuma pulang sekitar dua minggu dalam sebulan. Saya jatuh cinta sama dia waktu saya umur tiga puluh tahun. Dia masih dua puluhan. Waktu itu orang-orang enggak gampang cerai, apalagi perempuan kayak dia yang berasal dari keluarga kaya. Jadi saya habiskan dua puluh lima tahun berikutnya buat mencintai dia mungkin selama dua minggu setiap bulan, waktu suaminya enggak ada di rumah."
Gue memperhatikan dia, enggak yakin bagaimana harus merespons. Ini bukan cerita cinta yang biasa orang ceritakan. Gue bahkan enggak yakin ini bisa disebut cerita cinta.
"Saya tau apa yang Mbak Tia pikirin," katanya. "Kedengerannya malah lebih kayak tragedi, kan."
Gue mengangguk, membenarkan dugaannya.
"Cinta enggak selalu indah, Mbak Tia. Kadang kita habisin semua waktu kita berharap itu bakal jadi sesuatu yang sempurna. Sesuatu yang lebih baik. Terus, sebelum kita sadar, kita justru balik lagi ke titik nol, dan kita kehilangan hati kita di sepanjang jalan."
Gue berhenti menatap dia dan menghadap ke depan. Gue enggak mau dia lihat ekspresi cemberut yang enggak bisa gue hilangkan dari wajah gue.
Apa itu yang gue lakukan?
Menunggu hal-hal yang selama ini dilakukan bersama Tama berubah jadi sesuatu yang indah?
Sesuatu yang sempurna?
Gue merenung terlalu lama.
Sampai akhirnya gue dengar suara mengorok. Gue melirik ke arah Kapten, dan dagunya sudah jatuh ke dadanya.
Mulutnya terbuka lebar, dan dia tidur pulas.