Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Tamu Tak Diundang
Hanung sudah mengganti pakaiannya dengan gamis yang lebih nyaman. Tetapi ia juga harus segera membersihkan wajahnya, jika tidak kulitnya yang sensitif akan terjadi breakout karena penggunaan make-up yang tidak sesuai.
"Gus, saya boleh ke rumah Umi Siti dulu tidak?" tanya Hanung saat keluar dari kamar mandi.
"Kenapa?"
"Tas saya masih tertinggal disana."
Tanpa aba-aba, Gus Zam yang telah menggunakan kaos oblong dan sarung itu pun keluar kamar membuat Hanung bingung. Karena pusat acara berada di halaman masjid, kediaman pun sepi. Membuat Gus Zam leluasa untuk keluar. Tak lama kemudian, Gus Zam datang membawa tas Hanung dan menyerahkannya.
"Terima kasih, Gus." Gus Zam mengangguk.
Hanung masuk kembali ke kamar mandi dan menghapus make-up nya dengan sabun pencuci wajah. Setelah itu ia menggunakan face cream dan berharap wajahnya tidak akan muncul breakout.
"Kalau Gus Zam mau istirahat, saya bisa keluar dulu." kata Hanung yang melihat Gus Zam merebahkan tubuhnya di sofa.
"Kamu mau kemana?"
"Saya bisa ke depan atau ke dapur." jawab Hanung hati-hati.
"Sini!" Gus Zam duduk dan menepuk ruang kosong disebelahnya.
"Apa kamu tidak nyaman bersamaku?" tanya Gus Zam setelah Hanung duduk disampingnya.
"Tidak!" seru Hanung.
"Lalu, kenapa kamu mau menunggu diluar? Kamar ini cukup luas untuk kita berdua." Hanung mengedarkan pandangannya.
Ia sudah pernah masuk sebelumnya, tetapi tidak ada waktu memperhatikan isi kamar. Dan sekarang saat ia melihatnya lagi, mengapa ada kesan berbeda dari kamar yang sebelumnya?
"Aku baru saja mengubahnya kemarin." kata Gus Zam.
"Oh!"
"Kamu bisa menggunakan lemari itu. Aku sudah meminta Kak Alifah untuk mengisinya dengan kebutuhanmu." Hanung mengangguk.
"Pantas saja, Gus Zam bisa memberikanku pakaian ini." batin Hanung.
"Terima kasih, Gus."
"Sama-sama. Kalau kamu perlu sesuatu, katakan saja. Aku akan menambahkannya nanti."
"Tidak. Ini sudah cukup, Gus."
Keduanya pun kembali saling diam. Hanung dengan mantranya sedang Gus Zam sedang berpikir bagaimana membuat Hanung nyaman. Ia terbiasa dengan orang sekitar yang mengerti dirinya, kali ini ia harus belajar untuk menyesuaikan.
Sekitar pukul 11.00 acara sudah selesai. Pihak catering dan panitia acara mulai membersihkan tempat acara. Tiba-tiba seorang santri berlari dari arah gerbang mencari Kang Rahim.
"Kenapa?" tanya Kang Rahim.
"Ada tamu tidak diundang, Kang!"
"Maksudnya?"
"Sesuai arahan, semua tamu yang datang harus menyerahkan kartu undangan. Tetapi ada Ibu-ibu dengan koper datang tanpa kartu undangan dan mengatakan yang menikah adalah anaknya. Jadi saya tahan di didepan gerbang." jelas santri tersebut.
Sebagian santri dan santriwati tahunya Ibu Jam adalah Ibu dari Hanung, benar saja tidak percaya jika ada orang yang tiba-tiba datang mengaku sebagai Ibu dari Hanung. Kang Rahim pun meminta santri tersebut mempersilahkan ibu tersebut masuk dan membawanya ke ruang tamu. Sedangkan beliau segera mengabari Pak Kyai.
Sementara Pak Kyai dan Ibu Jam menyambut Surati, Bu Nyai pergi ke kamar Gus Zam.
Saat terdengar ketukan pintu dari luar, Gus Zam tersadar dari lamunannya. Ternyata kecanggungan mereka membuat Hanung terlelap bersandar di sofa tanpa Gus Zam sadari. Gus Zam pun perlahan menutup tubuh Hanung dengan selimut sebelum membukakan pintu.
"Mana Hanung?" tanya Bu Nyai.
"Tidur." Gus Zam menggeser tubuhnya dan memperlihatkan Hanung.
"Kenapa posisinya tidak nyaman begitu?" Gus Zam hanya diam.
"Pindahkan Hanung ke tempat tidur, Nak!" perintah Bu Nyai dengan suara lirih.
Gus Zam pun perlahan mengangkat tubuh Hanung dan merebahkannya di tempat tidur. Tetapi Hanung justru terbangun dan terkejut.
"Gus!"
"Maaf!" kata Gus Zam yang menarik tangannya kembali.
"Maaf membangunkan kamu, Hanung." Bu Nyai mendekat.
"Tidak apa, Umi. Maaf, Hanung ketiduran."
"Tidak apa. Umi kesini karena ada tamu untuk kamu."
"Siapa Umi?"
"Ibu kandungmu, Nak." Hanung membeku.
"Bukan Ibu Jam?" tanya Gus Zam.
"Jam itu Ibu sambung Hanung, Dib. Kalau Hanung tidak berkenan, Umi bisa memintanya pergi." Bu Nyai melihat keraguan di wajah Hanung saat ini.
Beliau memakluminya karena Ibu Jam sudah menceritakan semuanya. Bu Nyai akan menjadi garda terdepan untuk Hanung, jika saja menantunya itu memilih untuk tidak menemui ibunya.
"Tidak apa, Umi. Hanung pergi." Hanung pun perlahan turun dari tempat tidur dan pamit ke kamar mandi sebentar.
"Kamu ikut atau disini?"
"Zam.. Ikut."
"Baiklah, tunggu disi.. Eh?" Bu Nyai seperti salah dengar.
"Kamu mau ikut?" Bu Nyai memastikan.
"Ikut."
Keajaiban demi keajaiban terjadi sejak kehadiran Hanung, membuat Bu Nyai semakin optimis dengan kesembuhan Gus Zam.
"Alhamdulillah.. Umi tunggu di ruang tamu." Bu Nyai meninggalkan kamar dengan senyum lebar.
Hanung yang baru saja keluar kamar mandi, melihat Gus Zam sudah rapi dengan kemeja, peci dan sarung.
"Ayo!" ajak Gus Zam.
Gus Zam berjalan lebih dulu memimpin jalan, diikuti Hanung. Tetapi ketika sampai diruang tamu, Gus Zam berhenti dan membuat Hanung menabraknya.
"Maaf, Gus." cicit Hanung.
"Kenapa diam disana? Sini!" Bu Nyai meminta Hanung dan Gus Zam duduk.
Hanung yang melihat Gus Zam hanya mematung, memberanikan diri memegang tangan laki-laki yang kini berstatus suaminya itu dan menariknya. Gus Zam sempat terkejut, tetapi kemudian tersenyum kecil melihat tangannya dan berjalan mengikuti Hanung.
"Apa maksud kamu menikah tanpa mengabari Ibuk?" sergah Surati saat Hanung baru saja duduk.
"Sabar, Bu." kata Ibu Jam yang juga ada disana.
"Maaf sebelumnya, bukan maksud saya tidak sopan. Abi, Umi, Ibu, dan Gus Zam, izin untuk menjawab pertanyaan." semua orang mengangguk.
"Apakah hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulut Anda? Tidakkah Anda penasaran kabar saya selama ini? Kenapa baru datang sekarang dan menghakimi saya?" Surati terkejut dengan semua pertanyaan Hanung.
Putri kecil dalam ingatannya adalah putri periang dan ramah. Banyak tahun terlewat, ia seperti tidak mengenal putri yang ada di hadapannya saat ini. Nyatanya tidak hanya Surati yang terkejut, melainkan semua yang ada disana termasuk Gus Zam. Tetapi mereka tidak ikut campur dan memberikan waktu untuk Hanung.
"Kamu masih muda, seharusnya melanjutkan study bukan menikah!" kata Surati mengabaikan keraguannya.
"Menikah itu pilihan saya, bukan Anda yang menentukan atau Ibu Jam sekalipun. Kalau Anda datang hanya untuk marah, sebaiknya Anda kembali. Selama ini saya baik-baik saja tanpa Anda."
"Apakah ini ajaran Ibu tiri kamu yang katanya jebolan pesantren?" sindir Surati.
"Saya sebelumnya sudah meminta maaf kalau saya tidak sopan. Semua yang saya katakan tidak ada kaitannya dengan Ibu Jam! Jika Anda memiliki hati nurani, mengapa tidak mengunjungi saya selama ini. Atau minimal mencari tahu kabar saya? Kalau Anda saja tidak melakukannya, apa hak Anda mempertanyakan cara ajar Ibu Jam?"
"Cukup, Nak." Pak Kyai buka suara.
Hanung yang sedari tadi belum melepaskan tangannya, semakin mengeratkan genggamannya ditangan Gus Zam. Bagaimanapun, ia yang selama ini tidak bertemu dengan Surati memiliki rasa rindu dihatinya. Tetapi saat mendengar perkataan Surati, ia lebih memilih untuk tidak bertemu.
Sedangkan Gus Zam hanya memandang kearah Hanung. Ia tak tahu harus bagaimana saat ini.