Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Nekat
Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan di antara keduanya. Alfi mengendarai mobilnya semakin menjauh dari kampus. Aghnia mengernyit melihat jalan yang belum pernah ia lewati.
"Kita mau kemana pak?" Tanya Aghnia, gadis itu memandang Alfi dari samping.
Alfi tak menggubris pertanyaan Aghnia pun ia tak menoleh sama sekali kepada gadis itu, pria itu mengendarai mobilnya menuju jalur lintas selatan.
Aghnia semakin mengernyit dalam, melihat jalanan seperti tol namun membentang di pesisir pantai.
"Pak, saya cuma minta bantu revisi questionnaire, jangan buang saya ke laut" ungkap Aghnia, wajahnya berubah pucat.
Alfi melirik Aghnia sebentar seraya tertawa kecil. Bagaimana bisa mahasiswi di sebelahnya memiliki pikiran sebegitu dangkal.
Setelah sampai dan memarkirkan mobilnya, gadis itu berjalan mengikuti Alfi dari belakang, memasuki cafe lesehan dengan nuansa batik dan view laut yang indah.
Aghnia duduk di depan Alfi. Gadis itu tak berminat untuk makan atau pun minum, ia hanya ingin Alfi segera mengoreksi questionnaire yang telah ia revisi.
Pramusaji datang menyerahkan espresso latte pesanan Alfi, membuat Aghnia menelan ludahnya, lantas mendengus,
"Setidaknya tawari kek, dibiarin aja. Dasar tega! pantes nggak punya temen" batin Aghnia. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah laut yang indah.
Alfi menghela nafas panjang memandang mahasiswi di depannya.
"Mana questionnairemu" ucap Alfi. Aghnia tersenyum, mengambil lembaran kertas dari dalam totebagnya lantas memberikannya kepada Alfi.
Beberapa menit Alfi membaca dan mengernyit beberapa kali. Ia pun mengembalikan lembar questionnaire itu kepada empunya.
"Sudah sesuai. Tapi, aku tak mau lagi membaca tulisan tanganmu yang jelek itu", ujar Alfi lantas meminum espresso miliknya.
"Yes, terimakasih pak. Nah, kapan kita pulang?", sahut Aghnia.
"Apa urusanku? Pulang sana sendiri. Kamu sendiri kan yang memaksa masuk ke mobilku", ujar Alfi, nampak tak peduli.
"Loh, mana bisa begitu? Ini kan di luar jangkauan ojek online. Apa bapak memang sengaja menyingkirkan saya dari kampus?", protes Aghnia.
"Huh, apa pentingnya kamu coba?", sahut Alfi, masih tak peduli.
"Penting lah pak. Saya kan bunga kampus. Tanpa kehadiran saya, orang-orang akan lesu, begitu kan pak?", Aghnia tahu pria di depannya memang dingin, namun jelas punya rasa kemanusiaan, terbukti saat Alfi menyelamatkan dirinya waktu itu.
"Cih! Kepedean kamu", bantah Alfi.
"Buktinya, bapak tidak muntah melihat wajah saya kan? Lihat, tuh senyum", goda Aghnia, membuat segaris senyum di wajah Alfi sekejap saja lalu menghilang.
"Ah, ngga asyik. Saya pulang saja!", sungut Aghnia, lantas berdiri dan melangkah pergi dari cafe.
Alfi masih tidak bergeming, menikmati espresso miliknya dan sesekali memandang arah Aghnia melangkah. Gadis itu melangkah mengikuti peta, menuju arah kota.
"Hufh, dia ini bodoh apa pemberani sebenarnya?", gumam Alfi melihat Aghnia sudah menjauh, hampir tak terlihat.
"Sial!", umpat Alfi yang telah meneguk separuh espresso itu pun bangkit, membayar tagihan dan menyusul Aghnia, takut gadis itu mendapat masalah.
"Mau refreshing pun harus terganggu gadis sinting", keluh Alfi di dalam mobil, melajukan mobilnya hingga sampai di sisi Aghnia, lantas membuka jendela mobil.
"Masuk! Ayo pulang", ucap Alfi tanpa menoleh.
"Pulang saja sendiri, dasar jomblo!", hardik Aghnia, nampak marah dan melanjutkan langkahnya. Entah sejak kapan, hati gadis ini tertarik pada dosen killer ini. Ia ingin menguji perhatian Alfi kepadanya kali ini.
"Brengsek!", umpat Alfi lirih, lantas melajukan pelan mobilnya, menawari lagi.
"Siapa yang jomblo? Aku memilih single ya", protes Alfi di dalam mobil, kini ia memandang wajah Aghnia.
"Apa bedanya? Cuma alibi!", sahut Aghnia, hendak melanjutkan langkah.
"Kali ini kau tak naik, kutinggal di sini!", ancam Alfi dengan suara tegas.
"Eh", Aghnia terkejut. Meski cemberut, gadis itu membuka pintu mobil dan duduk di samping kursi kemudi.
"Dasar egois!", lirih Aghnia seraya memalingkan wajahnya, memandang ke samping.
"Apanya yang egois? Kamu kan yang memaksa masuk mobilku dan mengharuskan ku mengoreksi questionnaire mu? Siapa yang egois di sini?", protes Alfi, lantas melajukan mobilnya.
"Apa bapak tidak normal? Mana ada pria membiarkan seorang gadis berjalan pulang sendiri, bahkan tidak menawari minum sama sekali", ungkap Aghnia.
"Normal saja. Salahmu sendiri kan yang memaksa ikut", elak Alfi. Perjalanan mereka kembali hening tanpa percakapan hingga memasuki area kota Tanon.
"Turunin saya di sini, egois!", ucap Aghnia. Alfi pun seketika menepikan mobil dan membuka kunci pintu agar Aghnia keluar.
"Pergi lah!", ucap Alfi tanpa menoleh.
"Hufh, kusumpahin jatuh hati padaku dan akan kutolak nanti!", ujar Aghnia menyumpahi Alfi karena jengah atas sikapnya. Ia berharap akan dipaksa untuk diantar seperti pria gentle yang ia idamkan di dalam novel dan film. Nyatanya ia malah diturunkan karena meminta turun.
Namun Alfi sama sekali tidak bergeming.
"Dasar jomblo egois!", ujar Aghnia lantas membanting pintu mobil Alfi, membuat pria itu melotot, tidak suka pintu mobilnya dibanting.
"Dasar sinting!", umpat Alfi lantas melajukan mobilnya, meninggalkan Aghnia di tepi jalan.
Sore itu, Aghnia sampai di kontrakan dan bergegas merebahkan diri di kasurnya.
"Dasar egois! Kok ada cowok kaku seperti itu? Ganteng-ganteng kayak tiang besi, keras dan dingin", kesal Aghnia lantas mengambil ponselnya dan mengetik pesan kepada Alfi, namun ia urungkan karena dalam benaknya saat ini hanya ada umpatan.
Alfi yang baru saja memarkirkan mobilnya di garasi, segera masuk rumah dan membersihkan diri.
"Cih najis! Mana ada aku jatuh hati pada gadis sinting!", benak Alfi sembari membasuh rambutnya.
Usai mandi, Alfi menyalakan panel televisi, menonton film kartun. Matanya memang memandang televisi, namun pikirannya masih terngiang Aghnia, satu-satunya orang yang dengan entah polos atau bodoh berani bertindak senekat itu memasuki mobil dan memaksanya mengoreksi questionnaire di luar kampus.
"Kusumpahin jatuh hati padaku dan akan kutolak nanti!" kalimat itu terngiang di benak Alfi, membuatnya menggelengkan kepala berulang kali. Dirinya yang tengah mengalami post power syndrome, dijauhi rekan-rekannya, tidak dianggap lagi perintahnya, jelas merasakan kesepian dan siksaan nyata bagi seorang perfeksionis.
"Siapa juga yang mau sama gadis sinting!", gumam Alfi lantas mematikan televisinya. Ia menyandarkan punggung dan mendongak, menatap langit-langit ruang tamu.
"Sepi. Mungkin rumah ini akan semarak jika ada sentuhan si sinting itu", gumam Alfi tanpa sadar.
"Ck! Ngomong apaan. Udah gila kali", rutuk Alfi pada dirinya sendiri. Ia terngiang mendiang orang tuanya yang berharap menimbang cucu, namun nyawa mereka sudah ditimang malaikat maut saat menjalankan haji.
Alfi merasakan kerinduan kepada kedua sosok yang begitu menyayanginya. Namun ia bangga kepada mereka berdua meski pusara mereka pun tak bisa semudah itu ia kunjungi.
"Ayah, bunda, tunggu aku mengunjungi kalian di Baqi", lirih Alfi, mengusap matanya yang sembab lantas menyibukkan diri mengerjakan urusan kampus agar tidak tersiksa dengan kerinduan apalagi terngiang gadis cantik namun anehnya tidak dapat diperhitungkan.