Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8 : mimpi ditengah realita
Lama mereka terdiam, berbaring di lantai dengan mata menatap langit-langit kamar kosan. Sejenak, suasana terasa hening. Tiara berbaring di samping Putri, masih terdiam, tetapi suasana mulai terasa lebih tenang, seolah beban sedikit terangkat setelah curahan hati mereka.
“Teh,” ucap Putri tiba-tiba, dengan nada pelan namun penuh keyakinan. “Sebetulnya, aku selalu bermimpi.” Putri tersenyum.
Tiara menoleh ke arah Putri yang tersenyum sambil menatap langit-langit kamar kosnya. “Mimpi apa, Putri?”
“Dari dulu, aku pengen jadi penyanyi, bener-bener penyanyi profesional kaya Agnes, Teh Oca, Bunda Melly... Hehehe,” jawab Putri dengan mata berbinar.
“Aku pengen banget bisa berdiri di atas panggung besar, nyanyi di depan banyak orang. Mereka bersorak, tepuk tangan buat aku... Aku pengen dikenal karena suaraku, bukan karena kerjaanku sekarang.”
Tiara tertegun mendengar impian Putri. “Penyanyi?” tanyanya pelan.
“Iya. Emang agak konyol sih, tapi dari kecil, aku sering ikut lomba nyanyi di kampung. Setiap kali aku nyanyi, rasanya seperti semua masalah hilang... Selain itu, aku senang diliatin banyak orang yang mengapresiasiku. Kapan ya hal itu bisa terjadi...” lanjut Putri, matanya terpejam seakan membayangkan dirinya di atas panggung, dikelilingi sorak-sorai penonton.
Khayalan Putri terasa begitu nyata hingga Tiara ikut terbawa. Tiara menghembuskan napas panjang, menatap langit-langit yang sama, seakan di sana terlukis panggung besar dengan lampu-lampu sorot yang terang benderang.
“Iya, hidup jadi penyanyi atau artis kayaknya enak... dikenal banyak orang, bisa angkat derajat orangtua dan keluarga juga... Nggak kayak sekarang ini,” kata Tiara pelan. Ucapannya itu keluar begitu saja, seakan ada keinginan tulus yang menyelinap di hatinya.
Putri membuka mata dan tertawa kecil. “Hahaha, iya Teh, kayaknya enak ya...”
Tiara mulai merasakan harapan yang kecil namun nyata. “Semoga aja ada jalannya ya, Put. Meskipun kita cuma pemandu karaoke, siapa tahu ada produser nyasar terus ajak kita rekaman, bener nggak? Hahaha.”
Putri mengangguk, senyumnya semakin lebar. “Hahahaha, Teh, bisa aja! Tapi iya juga sih, kesempatan mah bisa datang dari mana aja. Semoga aja ya, Teh. Aku capek juga kalau terus-terusan jadi pemandu karaoke gini. Banyak ngebatin-nya, kesannya murahan banget.” Ucap Putri.
Perlahan suasana pun mulai berubah.
“Put, janji ya. Kita harus saling nguatin satu sama lain demi wujudin cita-cita kita. Pokoknya, apapun yang terjadi, kita mesti sama-sama terus,” ucap Tiara menatap Putri.
“Iya Teh, pokoknya kita mesti semangat lagi. Kita mesti buktiin kalau kita bisa berubah dan wujudin cita-cita kita. Makasih ya Teh, sekarang aku makin semangat buat gapai cita-cita ku jadi penyanyi profesional kayak Teh Oca,” ucap Putri dengan penuh percaya diri.
Mereka pun saling menggenggam tangan, berjanji satu sama lain. Meskipun hidup mereka saat ini dipenuhi kepedihan dan kerja keras yang tak mengenal lelah, malam itu mereka menemukan sebuah cahaya kecil, sebuah mimpi yang mereka bangun bersama.
Di dalam kamar kos yang sempit dan sederhana itu, dua gadis dengan masa lalu yang penuh luka akhirnya punya tujuan baru. Mereka tahu jalan di depan mereka tak akan mudah, tetapi tekad di hati mereka mulai tumbuh, membawa harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Waktu pun berlalu, Tiara dan Putri pun terbangun dari tidur mereka. Siang itu, mentari membangunkan dengan sinarnya yang menyilaukan mata. Tiara masih merasakan perih dan kaku di bagian sela-sela pangkal pahanya. Dalam diamnya, Tiara memandang ke arah langit-langit kamar kos, sekilas mulai mengkhayal akan impiannya yang ia ucapkan semalam. Khayalan itu membuatnya kembali bersemangat, meskipun kenyataannya ia baru saja diperlakukan senonoh oleh Fajar, tamu VIP tempat ia bekerja.
Tanpa sadar, cahaya jingga pun menyapa, menandakan hari sudah mulai sore. Saat itu, Putri membantunya berdiri dari tempat tidur. “Teh, Putri antar Teteh pulang ya. Putri juga sekalian mau ke klub. Maaf ya Teh, bukannya Putri ngusir. Putri khawatir aja kalau Teteh sendirian di sini. Teteh juga nggak usah masuk kerja dulu, istirahat aja dulu, sekalian tenangin pikiran. Nanti Putri bilang ke manajer kalau Teteh sakit dan minta izin libur dulu beberapa hari,” ucap Putri dengan lembut. Tiara pun mengangguk pelan, meringis menahan sakit setiap kali langkah kakinya terasa menyakitkan.
Perjalanan menuju rumah terasa lambat, sepanjang perjalanan Tiara semakin tenggelam dalam pikirannya.
“Apa iya aku bisa mengubah hidupku yang sudah kotor gini?” pikirnya.
Setiap kali melangkah, ia berusaha menguatkan dirinya sendiri, mencoba berpegang teguh pada harapan yang baru saja tumbuh.
“Aku mesti kuat, aku mesti bangkit. Aku ingin gapai mimpiku sama seperti Putri, aku ingin bahagiakan adik-adikku. Kuat, Ra, kuat...” ucapnya pada diri sendiri.
Sesampainya di rumah, Raka menyambutnya di pintu dengan wajah khawatir. “Kakak... kakak kenapa? Kakak kok kelihatan lemas banget?” tanyanya cemas. Tiara tak mampu menutupi rasa lelah yang terlihat di wajahnya. Dengan perlahan, Raka membantunya masuk ke dalam kamar.
Saat mereka tiba di kamar, Tiara langsung terjatuh di kasur dengan mata berkaca-kaca. Raka duduk di sampingnya, tanpa bicara, hanya memandang kakaknya dengan penuh rasa prihatin. Setelah beberapa saat, Tiara mulai bercerita, kali ini dengan perasaan yang lebih dalam dan penuh penyesalan. Dia bercerita tentang kejadian di apartemen Fajar, rasa perih di hatinya, dan bagaimana mimpi-mimpinya mulai terkoyak oleh kenyataan yang begitu keras.
“Kakak bodoh banget, De. Kakak bener-bener nyesel,” ucap Tiara sambil terisak. “Kakak gagal jaga diri. Sekarang kakak beneran bikin Bapak dan Ibu kecewa... Kakak nyesel nggak dengerin kamu, De. Maafin kakak.” Suaranya terdengar putus asa, penuh rasa penyesalan yang mendalam. Raka hanya diam, mencoba memahami rasa sakit yang dialami kakaknya, dan memberikan pelukan hangat yang menenangkan.
Pelukan sang adik ternyata membuat Tiara terdiam sejenak. Ia mencoba menenangkan dirinya kembali. Meski penuh dengan penyesalan, di dalam hatinya, ada harapan yang telah ditanamkan Putri sewaktu di kosan. Perlahan, pelukan yang ia dapatkan dari sang adik membuat perasaannya sedikit lebih tenang. Ia mulai menyadari bahwa masa lalu tidak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa diperjuangkan.
Tiara mencoba untuk tegar dan menerima kenyataan meskipun air mata mengalir di pipinya.