Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 - Malam Penuh Berkah
Bak air susu dibalas air tuba, Ameera merasakan pahit yang luar biasa bahkan Mahendra sampai bingung sendiri mendengar curhatan Ameera. Sama sekali tidak dia duga seorang Ameera Hatma patah hati lantaran diabaikan oleh pria, lucunya pria itu adalah berondong yang dia manjakan bak adik sendiri selama tiga bulan lamanya.
Telinga Mahendra bahkan panas, berbagai umpatan keluar dari bibir mungil wanita itu. Kacang lupa kulit, laki-laki durjana, berondong durhaka dan lain sebagainya. Diawali dengan emosi, Ameera mengakhiri sesi curhat tersebut menegak air mineral di botol yang dia bawa hingga tandas demi melegakan tenggorokannya.
"Lalu Nona maunya bagaimana? Pulang?"
Ameera menggeleng, tanpa harus berpikir dia sudah mampu memutuskan langkahnya. "No! Aku tidak akan pulang sebelum dia bertekuk lutut dan mengejarku, Mahendra!!" Bulat sekali tekad Ameera, dia sampai berdiri dan berbicara sebegitu lantangnya hingga Mahendra berdecak kagum.
Burung-burung di sekitar persawahan bahkan turut beterbangan usai Ameera mengutarakan niatnya pada alam semesta, seolah mengerti jika suasana hati Ameera sedang tidak baik-baik saja.
"Bertekuk lutut?" tanya Mahendra memastikan, takut saja dia salah dengar dan nantinya menjadi sebuah kesalahpahaman.
"Iya, bertekuk lutut dan memohon dengan suara lembutnya 'Ameera maafkan aku, kumohon jangan pergi, Sayang' begitu kira-kira," papar Ameera seraya memeragakan bagaimana nanti Cakra merayunya.
Memang benar bakat akting Ameera tidak perlu diragukan, tapi Mahendra cukup terkejut karena hal itu justru dia bawa-bawa ke dunia nyata. Tidak hanya cara Ameera bicara yang membuat Mahendra menghela napas panjang, tapi keyakinan Ameera terlalu tinggi. Padahal sudah tahu ketika bertemu saja Cakra seakan tidak mengenalnya, lantas dari mana ceritanya akan bertekuk lutut seperti kata Ameera.
"Kenapa wajahmu begitu? Ragu?" tanya Ameera sedikit meninggi, cukup mudah baginya untuk membaca isi pikiran lawan bicara melalui raut wajah.
"Sangat berat saya katakan, tapi kenyataannya memang meragu_"
"Heh, Mahendra!! Dengar, keraguan hanya akan membuatmu mati langkah!! Kau ingat kata papaku bagaimana? Salah-satu kunci keberhasilan adalah yakin!! Jika kita yakin, maka hasil tidak akan berkhianat di akhir, paham?"
Mahendra baru bicara beberapa kata, bahkan selesai saja belum dan Ameera sudah pidato panjang lebar. Dia yang akan terjun ke lapangan, tapi dia sendiri yang memberikan motivasi seakan Mahendra membutuhkan hal itu.
Merasa semua yang dia katakan salah semua, Mahendra mengatupkan bibir dan kembali fokus menatap pemandangan di depannya. Sawah yang tengah menghijau dan aliran sungai begitu menyejukkan matanya, tidak menyesal dia mengajak Ameera ke tempat ini sebagai tempat mereka bicara.
Terserah Ameera saja hendak bagaimana, toh bukan bagian dari tugasnya. Terpenting bagi Mahendra dia mendampingi Ameera dan memastikan wanita itu baik-baik saja selama berada di sini hingga nanti kembali ke rumah.
Cukup lama mereka menghabiskan waktu di tempat itu, Ameera baru memiliki pikiran untuk pulang ketika Ayumi menjemput mereka untuk makan siang. Lihat, Ameera sampai melupakan hal itu akibat galau pasca diabaikan Cakra.
Tiba di kediaman Abah Asep semua sudah siap, dan Ameera segera menyantap makan siang walau sebenarnya tidak sedang berselera. Bukan karena lauk ataupun keadaannya, tapi memang perasaan Ameera sungguh tidak baik-baik saja.
"Nanti malam, sambutan untuk Nak Meera akan diadakan ... bukan maksud apa-apa, tapi memang begini cara kami menyambut tamu." Ameera sudah mendengar hal itu sejak tadi malam, dan sebagai tamu Ameera hanya iya-iya saja karena Abah Asep mengatakan memang sudah adatnya begitu.
"Iya, Teh, supaya warga desa kami kenal dan tahu maksud kedatangan Teteh, jadi nggak akan ada lagi kejadian seperti tadi," jelas Ayumi menambahkan, lagi dan lagi Ameera mengangguk dan berserah diri sepenuhnya pada Abah Asep.
"Terima kasih, Yu, aku juga ingin mengenal warga di sini lebih dekat," timpal Ameera seraya tersenyum kaku, ucapan terima kasih tersebut baru lolos setelah Mahendra mencubit lengannya.
Bukan tanpa alasan dia bersikap demikian, tapi memang Ameera sedikit berkhianat karena tujuannya bukan berkenalan dengan seluruh warga desa ini, tapi hanya menginginkan Cakra kembali, itu saja.
"Sama-sama, Teh," sahut Ayumi mengulas senyum sebelum kemudian beralih pada Abah Asep segera. "Oh iya, Abah tahu kang Cakra sudah pulang dari Jakarta?"
Sejak tadi Ameera menatap lesu tanpa arah, begitu mendengar nama Cakra mata Ameera kembali membola. Sudah pasti tujuannya akan menguping dan memasang wajah pura-pura polosnya.
"Sudah, tadi malam Cakra sudah ikut jaga di pos kamling. Anak itu masih sopan seperti dulu dan ...." Abah Asep tampak menggantung kalimatnya, tidak lupa dengan senyum tak terbaca yang membuat Ayumi tersenyum simpul.
"Dan apa Abah? Cakep?" tebak Ayumi yang kamudian diangguki Abah Asep hingga keduanya tertawa pelan. Terlihat jelas mereka bukan hanya bicara biasa dan hal itu membuat Ameera mendadak haus seketika.
"Kang Cakra diundang, 'kan, Abah?"
"Tentu saja, dia termasuk tamu penting bagi Abah, bagi kamu terutama."
Tepat, perlahan Ameera bisa menarik benang merah yang di antara mereka. Dia yang tadinya tidak selera semakin enggan untuk memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Tidak ingin terlalu lama di meja makan, Ameera segera beranjak pergi dengan alasan ingin membantu cuci piring. "Cih, bilangnya tidak pernah pacaran ... dasar pembual!!"
.
.
Seperti yang sudah direncakan sejak kedatangan Ameera, malam harinya kediaman Abah Asep tampak ramai didatangi para warga. Sebuah sambutan yang kemudian berakhir makan malam bersama itu menegaskan jika di sana masih begitu menjunjung tinggi rasa kekeluargaan.
Ameera sebisa mungkin memberikan senyuman terbaik, sekesal-kesalnya dia tidak ingin terlihat buruk. Namun, dari sekian banyak yang datang, Ameera tidak melihat Cakra di sana. Padahal, baik Ayumi maupun Abah Asep sudah mengundangnya, lantas ketidakhadiran Cakra jelas saja menimbulkan tanya.
Terlalu sakit kepala Ameera memikirkan Cakra, wanita itu kini memilih menepi karena mulai tidak nyaman dengan beberapa orang yang berdesakan demi meminta foto bersama, entah karena tahu siapa Ameera atau hanya kagum dengan kecantikannya Ameera tidak tahu juga.
"Kamu menghindariku? Apa aku benar-benar tidak penting bagimu, Cakra?" Sejak tadi dia menahan diri, hingga ketika tiba di tempat yang sedikit lebih sunyi dia mulai berbicara sendiri.
Bohong sekali jika dia tidak menanti, sejak awal rumah Abah Asep mulai ramai, yang Ameera cari adalah Cakra. Sayang, pria itu bahkan tidak bersedia menyambut kedatangannya seperti warga yang lain.
"Kamu tahu? Aku jauh-jauh datang kesini demi kamu, bisa-bisanya kamu bersikap seakan tidak mengenalku? Jahat, kamu jahat, Cakra jahat!!" Tidak peduli dengan kegelapan, ketakutan Ameera benar-benar sudah hilang hingga dia berani berbicara sendiri dan mengutarakan kekesalannya di depan pohon beringin yang cukup jauh dari rumah Abah Asep tersebut.
Tidak hanya bicara, dia juga menangis seraya memukul batang pohon dengan sisa tenaganya. "Sakit, Cakra ... apa tidak ada sedikit saja rasa iba untukku? Andai memang kamu tidak memiliki perasaan yang sama, setidaknya jangan mengabaikanku seperti tadi pagi," racau Ameera seraya sesenggukan, menangis bak anak kecil ditinggal pergi ibunya liburan.
"Ehem!! Sudah menangisnya?"
"Hah?" Ameera terperanjat, dia terdiam seketika kala mendengar suara itu.
"Apa tidak takut ada yang ikut menangis, Tante?"
Panggilan itu membuat Ameera menoleh ke sumber suara. Senyuman pria yang tampak bersandar di sebuah pohon di depan sana membuatnya lemas hingga terduduk dan menutup wajahnya. Tidak ada kata lain selain malu dan malu, Ameera mengutuk diri bahkan berusaha berjongkok ketika pria itu menghampirinya.
"Di depanmu kuburan ... ayo kuantar pulang, tidak baik perempuan di luar sendirian, Sayang."
.
.
- To Be Continued -