Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Lima Bulan Kemudian......
Dasha adalah seorang perempuan pekerja keras berkat kerja kerasnya sekarang dia naik jabatan sebagai manajer operasional di sebuah perusahaan. Setiap pagi dia tiba di kantor lebih awal dari kebanyakan rekan kerjanya. Dengan secangkir kopi hitam di tangan, Dasha membuka laptopnya dan mulai memeriksa email serta laporan harian yang dikirimkan oleh timnya.
Pukul 09.00, Dasha biasanya mengadakan rapat pagi singkat dengan timnya. Dalam rapat ini, ia memberikan arahan dan membahas target harian. Gaya kepemimpinannya yang tegas namun penuh perhatian membuat para anggota tim merasa nyaman dan termotivasi. Dasha selalu mendengarkan masukan dari timnya, memastikan semua orang memiliki kesempatan untuk berbicara.
Di tengah hari, Dasha sering makan siang bersama rekan kerja di kantin perusahaan. Di sinilah sisi santai Dasha terlihat. Ia suka bercanda dan membahas topik-topik ringan, dari serial terbaru di layanan streaming hingga rekomendasi tempat makan enak di kota.
Setelah makan siang, Dasha kembali fokus pada pekerjaannya. Ia sering mengadakan pertemuan dengan klien atau tim pengembang untuk memastikan proyek berjalan sesuai jadwal. Kadang, ia harus mengatasi situasi mendesak yang membutuhkan solusi cepat. Meskipun begitu, Dasha jarang terlihat panik. Ia dikenal sebagai seseorang yang mampu berpikir jernih di bawah tekanan.
Menjelang sore, Dasha biasanya menyempatkan diri untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar kantor atau menikmati secangkir teh hijau untuk menyegarkan pikirannya. Ia juga suka memberikan apresiasi kepada timnya dengan mengirim pesan singkat yang berisi ucapan terima kasih atas kerja keras mereka.
Sebelum pulang, Dasha menutup hari kerjanya dengan menyusun rencana untuk keesokan hari. Ketika lampu-lampu di kantor mulai dimatikan, Dasha merasa puas karena tahu bahwa ia telah memberikan yang terbaik. "Besok adalah kesempatan baru untuk belajar dan berkembang," pikirnya sambil memasukkan laptop ke dalam tas.
Meski harinya padat, Dasha selalu berusaha menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupannya di luar kantor. Ia percaya bahwa pekerjaan yang baik dimulai dari kebahagiaan pribadi.
.
.
.
.
.
Lima bulan setelag dilantiknya Dasha, kehidupan Dasha di kantor semakin sibuk. Sebagai manajer operasional, ia kini dipercaya memimpin proyek besar perusahaan, yaitu peluncuran platform digital baru yang diharapkan menjadi inovasi terbesar tahun ini. Tantangan ini datang dengan tanggung jawab besar, tetapi Dasha merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan kemampuannya lebih jauh.
Setiap pagi, jadwal Dasha semakin padat. Setelah memeriksa email dan laporan, dia langsung memulai rapat dengan tim lintas divisi mulai dari pengembang teknologi, pemasaran, hingga logistik. Ia tak hanya memberikan arahan tetapi juga terlibat langsung dalam memecahkan masalah teknis, bahkan sampai menyarankan solusi strategis. Sikapnya yang proaktif membuatnya dihormati oleh rekan kerja di semua tingkat.
Namun, tantangan terbesar datang saat ada keterlambatan dari pihak vendor yang bekerja sama dengan perusahaan. Ini sempat membuat beberapa anggota timnya merasa khawatir. Dasha, dengan ketenangannya yang khas, mengumpulkan semua pihak untuk brainstorming. “Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi kita bisa mengontrol apa yang akan kita lakukan setelah ini,” katanya dengan tegas. Kata-kata itu membangkitkan semangat timnya, dan mereka berhasil menemukan alternatif yang lebih efisien untuk mengejar target.
Meski semakin sibuk, Dasha tetap menjaga hubungan baik dengan koleganya. Ketika seseorang di timnya merasa kewalahan, Dasha akan mengajaknya berbicara, mendengarkan keluhan, dan memberikan dukungan. Ia juga tetap mempertahankan tradisinya makan siang bersama, meskipun terkadang ia harus membawa laptopnya untuk menyelesaikan pekerjaan di sela-sela waktu makan.
Pada satu sore yang cerah, CEO perusahaan memanggil Dasha ke ruangannya. Dengan senyum lebar, Gavin berkata, “Dasha, kerja keras dan dedikasi Anda tidak hanya membawa proyek ini ke jalur yang benar, tetapi juga meningkatkan semangat tim secara keseluruhan. Saya ingin Anda tahu bahwa kami sedang mempertimbangkan Anda untuk posisi direktur operasional.”
Berita itu membuat Dasha terkejut dan terharu, meskipun ia menanggapinya dengan sikap profesional. “Terima kasih atas kepercayaannya. Saya akan terus memberikan yang terbaik untuk perusahaan,” jawabnya sambil tersenyum.
Malam itu, ketika Dasha pulang, ia merenung di depan secangkir teh hangat. Ia merasa bersyukur atas perjalanan kariernya sejauh ini. “Semua ini adalah hasil kerja keras, kerja sama tim, dan semangat pantang menyerah,” pikirnya. Namun, ia tahu bahwa tanggung jawab yang lebih besar akan menantinya, dan ia siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan.
Esok harinya, Dasha kembali ke kantor dengan energi baru, siap untuk melangkah lebih jauh, tidak hanya demi dirinya sendiri tetapi juga demi tim dan perusahaan yang ia cintai.
.
.
.
.
Gavin menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. Di ruang tengah, Nathan, anaknya yang berusia tiga tahun, merengek tanpa henti. Suhu tubuh Nathan hangat, menandakan demamnya belum reda. Gavin sudah mencoba semua cara untuk menenangkan Nathan dari memeluk, mengelus punggungnya, hingga membacakan buku favoritnya tapi tetap saja, Nathan terus memanggil nama yang sama, " Aunty Dasha! Aunty Dasha!"
Dasha adalah karyawan Gavin yang biasa membantu di rumah saat sibuk. Gadis itu memang punya bakat luar biasa untuk membuat Nathan nyaman. Setiap kali dia datang, Nathan langsung ceria, seolah semua masalah menghilang begitu saja.
“Ayah nggak mau telepon aunty Dasha?” rengek Nathan dengan suara serak.
Gavin mengerutkan kening, menatap ponselnya di meja. Sudah larut malam, dan ia merasa tidak enak mengganggu waktu pribadi Dasha. Tapi demi melihat Nathan yang rewel tanpa henti, Gavin akhirnya mengalah.
Dengan sedikit ragu, ia menekan nomor Dasha. “Halo, Dasha? Maaf mengganggu malam kamu. Nathan sakit dan dia terus-terusan memanggil namamu. Kalau kamu nggak sibuk, bolehkah kamu mampir sebentar?”
Tak butuh waktu lama, Dasha datang dengan senyumnya yang menenangkan. Begitu melihatnya, Nathan langsung tersenyum lemah dan merentangkan tangan kecilnya. “Aunty Dasha” bisiknya, sebelum memeluk erat.
Melihat perubahan itu, Gavin merasa campuran lega dan kagum. "Kamu benar-benar punya sihir, ya?" katanya setengah bercanda. Dasha hanya tersenyum, lalu dengan sabar menenangkan Nathan hingga akhirnya anak itu tertidur di pangkuannya.
Saat itu, Gavin menyadari satu hal keberadaan Dasha bukan hanya penting untuk Nathan, tapi juga untuk dirinya yang terkadang merasa kewalahan sebagai ayah tunggal.
.
.
.
.
Malam itu, setelah Nathan tertidur lelap, Gavin mengantar Dasha ke pintu depan. Hawa dingin malam menembus ruang tamu, namun suasana di antara mereka terasa hangat. Gavin memandang Dasha dengan penuh rasa terima kasih.
"Terima kasih banyak, Dasha. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpamu," katanya tulus.
Dasha tersenyum kecil, mengangkat bahu. "Nathan anak yang luar biasa. Aku senang bisa membantumu. Lagipula, dia sudah seperti keponakan sendiri," jawabnya sambil merapikan syal di lehernya.
Mereka berbagi senyuman sebelum Dasha pamit pulang. Namun, malam itu, Gavin tak bisa tidur. Pikirannya terus melayang pada sosok Dasha bukan hanya sebagai manajer andal di perusahaannya, tapi juga sebagai seseorang yang memiliki kehangatan dan perhatian luar biasa. Ia mulai menyadari bahwa kehadiran Dasha membawa dampak lebih besar dari yang ia kira, tidak hanya untuk pekerjaan, tapi juga untuk keluarganya.
Di sisi lain, Dasha juga merasakan hal serupa. Dalam perjalanan pulangnya, ia merenungkan hubungan profesional yang berubah menjadi lebih personal ini. Ia kagum pada Gavin sebagai pemimpin perusahaan sekaligus ayah yang penuh kasih. Tapi, ia juga tahu bahwa garis antara pekerjaan dan kehidupan pribadi bisa menjadi kabur, dan ia harus berhati-hati.
Hari-hari berikutnya, hubungan Gavin dan Dasha tetap profesional, namun dengan sedikit sentuhan keakraban. Mereka saling memahami tanpa perlu banyak bicara. Di kantor, Dasha tetap menjadi manajer yang dihormati, sementara Gavin tetap menjaga perannya sebagai CEO yang berwibawa. Tapi di balik layar, Gavin mulai mencari cara untuk lebih mendekatkan diri, meskipun ia tahu perasaan itu harus dijaga agar tidak mengganggu dinamika pekerjaan.
Suatu sore, ketika proyek besar perusahaan akhirnya selesai dan peluncuran platform digital berjalan sukses, Gavin mengundang seluruh tim inti untuk makan malam perayaan. Malam itu penuh canda dan tawa. Dasha, yang biasanya menjaga jarak, merasa nyaman berada di antara koleganya. Ketika acara selesai, Gavin mendekati Dasha.
"Dasha, bisakah kita bicara sebentar?" tanyanya.
Dasha mengangguk, meski merasa sedikit gugup. Mereka berjalan ke sudut ruangan yang lebih sepi.
"Aku hanya ingin bilang, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk perusahaan ini dan untuk Nathan," Gavin berkata dengan suara rendah namun serius. "Aku tahu mungkin ini tidak pantas, tapi aku merasa semakin lama kita bekerja sama, aku makin melihatmu sebagai lebih dari sekadar karyawan."
Kata-kata itu menggantung di udara. Dasha terkejut, tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa selama ini, ia pun merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hubungan mereka.
"Gavin," Dasha akhirnya berbicara, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Aku juga merasa nyaman bekerja denganmu. Tapi aku perlu waktu untuk memikirkan semua ini. Aku tidak ingin terburu-buru dan merusak apa yang sudah kita miliki."
Gavin tersenyum tipis, menghargai kejujurannya. "Aku mengerti. Dan aku tidak ingin menekanmu. Kita bisa melanjutkan seperti biasa, tanpa ada yang berubah," katanya.
Malam itu, Dasha pulang dengan hati yang campur aduk. Gavin, dengan caranya yang tenang dan tulus, telah membuka pintu baru dalam hidupnya. Tapi ia tahu, keputusan ini membutuhkan waktu dan pemikiran mendalam, karena taruhannya bukan hanya hubungan pribadi, tetapi juga karier yang selama ini ia bangun dengan susah payah.