Season 2 dari novel yang berjudul Dia Suamiku
Setelah 7 tahun berpisah, Mila kembali bertemu dengan mantan suaminya. Perpisahan mereka yang terpaksa oleh keadaan, membuat cinta dihati mereka tak pernah padam meski Elgar telah berstatus sebagai suami orang.
Akankan mereka kembali memperjuangkan cinta mereka demi sang buah hati?
Cerita itu adalah S2 dari novel yang berjudul DIA SUAMIKU.
Untuk lebih jelasnya, silakan baca S1 nya dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DMS 18
Elgar memperhatikan foto foto Salsa bersama Ben yang tersimpan rapi dilaptopnya. Istrinya untuk terlihat bahagia, tapi entah kenapa, Salsa tak juga menggugat cerai dirinya. Jika memang pria bernama Benedick itu bisa membuatnya bahagia, lalu kenapa dia masih bertahan dalam rumah tangga yang terasa seperti neraka.
Apa yang membuat Salsa masih bertahan? Pertanyaan itu tak hanya sekali muncul dikepalanya. Tapi sampai sekarang, belum juga dia temukan jawabannya. Jika alasannya cinta, rasanya mustahil. Dia yakin, seiring berjalannya waktu, cinta Salsa untuknya sudah terkikis, bahkan mungkin sudah habis tak tersisa saat ini. Semakin memikirkan itu, Elgar semakin tak menemukan jawabannya.
Suara ketukan membuyarkan lamunan Elgar. Aden masuk kedalam ruangannya lalu menutupnya kembali.
"Bapak memanggil saya?"
Elgar mengangguk lalu menyodorkan sebuah map begitu Aden berada didepan mejanya.
Aden terkejut melihat isi map tersebut. Disana ada dokumen pribadi milik Elgar.
"Tolong segera urus perceraian saya."
Mata Aden membulat sempurna dengan mulut menganga. Apa dia tak salah dengar? Dia pikir bosnya merubah penampilan karena ingin memperbaiki hubugan dengan istrinya, nyatanya yang terjadi malah kebalikannya. Lalu perubahan ini untuk apa? untuk siapa? Apa persiapan menuju status baru, yaitu duren alias duda keren?
"Usahakan secepat mungkin."
Lebih cepat lebih baik. Dia sudah sangat lelah dengan semua ini. 7 tahun tanpa kebahagiaan sedikitpun begitu menyiksanya.
"Jika kalian berpisah, apakah perusahaan..." Aden tak sanggup melanjutkan kata katanya. Sepertinya perpecahan perusahaan sudah ada didepan mata. Dan ini akan menjadi berita buruk bagi sebagian besar karyawan.
"Keputusan itu, aku serahkan sepenuhnya pada Salsa."
Sebenarnya perusahaan masih bisa terus berjalan dengan pembagian hasil sesuai saham. Tapi kembali lagi, Salsa pemegang saham terbesar disini, keputusan mutlak ada ditangannya. Jika terpaksa dipecah, dia akan kembali membangun perusahaannya sendiri. Sahamnya juga banyak disini, ditambah 7 tahun kerja mati matian, membuat pundi pundi uangnya kian banyak. Tak susah bagi Elgar untuk membangun perusahaan baru yang bisa sebesar milik Salsa.
Elgar melihat jam tangannya, lima belas menit lagi jam makan siang.
"Saya mau keluar untuk makan siang sekaligus bertemu klien. Jadi kalau ada yang nyari, bilang saya sedang ada urusan diluar." Elgar berdiri, melepas jasnya lalu menaruh digantungan.
"Bertemu klien?" Aden mengernyit bingung. Perasaan sejak Dina off, jadwal bosnya itu dia yang pegang. Hari ini, setahu dia tak ada jadwal bertemu klien. Dan apa apaan ini, mau ketemu klien kenapa jas malah ditinggal. Melongarkan dasi lalu melipat lengan kemejanya keatas. Mau ketemu klien, apa mau kencan?
Aden garuk garuk kepala. "Apa perlu saya temani?"
"Tidak perlu, saya akan pergi bersama Mila."
Kembali Aden dibuat bingung. Secepat ini mereka kompak? padahal dulu, bosnya selalu memintanya ikut jika ada urusan diluar. Justru Dina yang tak pernah diajak. Tapi sekarang, kenapa yang terjadi justru kebalikannya.
"Oh iya, sebelum keluar, tolong bereskan meja saya."
Elgar keluar begitu saja, meninggalkan Aden yang masih bergeming dengan puluhan pertanyaan dikepalanya.
Elgar tersenyum melihat Mila yang masih tampak sibuk didepan laptop. Dia bersumpah akan menebus waktu mereka yang hilang selama 7 tahun ini. Jadi sekarang, sebisa mungkin dia ingin terus bersama Mila.
"Belum selesai?"
Pertanyaan Elgar mengejutkan Mila. Wanita yang sedang fokus pada layar lap top itu langsung mengalihkan perhatian pada sang bos baru.
"Be, belum."
Mila, tenang Mila. Jangan grogi.
Elgar tertawa kecil melihat kegugupan Mila. Terlihat sangat menggemaskan, seperti awal awal dulu mereka menikah.
"Tinggalkan saja. Kita harus keluar untuk bertemu klien."
Seingatku, tak ada jadwal bertemu klien hari ini.
Mila hendak melihat kembali jadwal Elgar, sayangnya sang bos bisa membaca apa yang ada dikepalanya.
"Bisa cepat sedikit, ini sudah hampir masuk jam makan siang. Saya tak mau klien menunggu."
Dengan terpaksa Mila membatalkan niat mengecek ulang jadwal.
"Dengan klien dari perusahaan mana? Maaf, sepertinya saya kurang teliti melihat jadwal anda. Jadi saya tidak tahu."
"Tidak apa apa."
"A, apa yang harus saya bawa? Ma, maksud saya, berkas yang harus saya si_"
"Tidak perlu bawa apa apa, saya sudah menyiapkan semuanya."
Meski tak disuruh membawa apa apa, Mila tetap membawa laptop. Dia yakin benda itu akan sangat dibutuhkan nanti.
Aden yang baru keluar dari ruangan Elgar terpaku melihat pemandangan yang membuatnya gigit jari. Tampak bosnya dengan Mila berjalan beriringan menulu lift. Padahal dia sudah berencana mengajak Mila makan siang bersama hari ini. Tapi sepertinya, semesta tak merestui. Rencana hanya tinggal rencana.
Hari ini untuk pertama kalinya Mila menggunakan lift vip. Dan yang lebih membuatnya gelisah, hanya ada mereka berdua didalam lift. Tapi melihat ada cctv dipojokan lift, seketika dia bernafas lega.
"Cctv nya gak nyala, rusak."
Mata Mila seketika terbeliak lalu menunduk sambil menggigit bibir bawahnya. Memalukan sakali, jadi Elgar tahu jika barusan dia memperhatikan cctv.
Elgar bersandar didinding lift dengan kedua tangan dilipat didada.
Jangan dilihat Mila, jangan dilihat. Jangan sampai kamu terpesona. Ingat, dia suami orang.
Elgar tersenyum melihat Mila yang salting dan terus terusan menunduk.
"Takut terpesona?"
Lagi lagi Mila dibuat malu karena Elgar bisa membaca bahasa tubuhnya. Elgar tak bisa menahan tawanya kali ini. Ini benar benar sesuai dengan apa yang dia rencanakan semalam.
Masih basah diingatannya bagaimana dulu Mila memujinya. "Kau sangat tampan dengan kemeja putih El. Dan kedua lengan yang dilipat sebatas siku, membuatmu terlihat begitu sempurna. Aku tak akan mampu memalingkan wajahku jika kau berpenampilan seperti ini."
Mila tak pernah merasakan selama ini sebelumnya didalam lift. Hanya 11 lantai, tapi lamanya seperti menuruni 100 lantai.
Bersamaan dengan bunyi lift yang terbuka, Mila menghela nafas lega. Tapi perasaan itu tak lama, karena setelah ini, mereka masih akan berduaan didalam mobil yang pastinya memakan waktu lebih lama daripada didalam lift.
Elgar tak henti hentinya tersenyum melihat Mila yang salah tingkah selama dimobil. Wanita disebelahnya itu terus menatap kejendela sambil meremat ujung blazernya.
"Tak perlu tegang seperti itu. Ini bukan pertama kalinya kita berada dalam satu mobil."
Benar, tapi statusnya sudah berbeda, tak seperti dulu.
"Aku senang kau masih menyimpannya."
Mila menoleh kearah Elgar. Tak tahu apa yang dimaksud pria itu.
Elgar menunjuk dagu kearah jemari Mila. Dimana cincin yang dulu dia berikan, masih menempati ruas jari manis Mila.
Bodoh, kenapa aku lupa melepasnya.
"Semoga tak hanya cincin dariku yang masih menguasai jari manismu. Aku harap, cintaku juga masih bertahta penuh dihatimu."
Mila memejamkan mata lalu membuang nafas berat. Tak bisa, hal ini tak bisa terus dilanjutkan. Elgar tak boleh bermain main dengan perasannya kali ini.
"Aku tahu kau ma_"
"Cukup El," teriak Mila.
"Jangan permainkan perasaanku sekali lagi. Ingat, kamu sudah menikah, kamu sudah memiliki istri. Jadi tolong, jangan seret aku kedalam rumah tanggamu. Aku bukan pelakor El. Aku tak mau menjadi orang ketiga dan menghancurkan kebahagiaan orang lain."
Citt
Elgar menepikan mobilnya dan langsung menginjak rem. Membuat Mila hampir saja terhantuk dashboard jika saja seatbelt tidak menahan tubuhnya.
Mata mereka beradu untuk beberapa detik. Hingga Mila lebih dulu mengakhiri dengan menunduk dan menatap jari jarinya.
"Bagaimana jika aku tak pernah bahagia Mil? Bagaimana jika selama 7 tahun ini, tidak ada yang bahagia diantara kita bertiga? Jika benar, lalu kebahagiaan siapa yang akan kau hancurkan?"
Tak pernah bahagia? Apa maksudnya El? Bukankah waktu itu kau bilang baik baik saja tanpaku?