Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanyaan yang terus menghantui
Rehan terbangun pagi itu dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Semalam, hujan deras membawanya ke warkop kecil yang tak pernah ia masuki sebelumnya, dan bertemu dengan Dinda, seorang pelayan yang berbeda dari kebanyakan orang yang pernah ia temui. Percakapan ringan tentang hujan dan perasaan itu masih terngiang jelas di kepalanya. Ia berusaha untuk tetap rasional, namun ada sesuatu yang terasa berbeda. Sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan logika semata.
Ia memulai harinya seperti biasa, pergi ke laboratorium Pak Seno, namun pikiran tentang Dinda dan percakapan mereka terus mengusiknya. Rehan berusaha fokus pada tugas-tugas yang ada, namun entah mengapa, matanya selalu melirik jam setiap kali ada jeda. Ia merasa tidak sabar menunggu saat di mana hujan datang lagi, dan warkop itu akan menjadi tempatnya untuk kembali bertemu dengan Dinda. Namun, logika yang selalu menguasainya kembali berbicara keras.
"Ini bukan tentang perasaan, Rehan. Ini hanya kebetulan," gumamnya pada diri sendiri. "Kamu terlalu banyak berpikir tentang hal yang seharusnya bisa dijelaskan."
Namun, meskipun ia mencoba menenangkan dirinya dengan argumen rasional, ada satu hal yang tetap mengganggu: Dinda. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang menarik darinya, sesuatu yang tidak bisa ia kategorikan dalam rumus sains atau hukum alam. Dinda adalah sebuah misteri yang belum dapat ia pecahkan.
Sepanjang hari, pikirannya terombang-ambing. Sesekali, ia merasa seperti seorang ilmuwan yang ingin menguji hipotesis, dan kali ini, Dinda adalah objek penelitiannya. Jika memang cinta itu hanya reaksi kimia, apakah ia bisa menemukan bukti nyata dari perasaan yang aneh itu? Atau, apakah mungkin ada sesuatu yang lebih besar, lebih rumit dari sekadar reaksi molekuler di otaknya?
Ketika sore tiba, Rehan memutuskan untuk kembali ke warkop itu. Hujan sudah mulai turun dengan rintik-rintik yang semakin deras, dan ia tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk melanjutkan eksperimennya. Namun kali ini, ia tidak ingin hanya sekadar berbicara. Ia ingin menggali lebih dalam, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi ketika ia berbicara dengan Dinda.
Di warkop, suasana tetap sama seperti sebelumnya—hangat dan nyaman, dengan aroma kopi yang menyelimuti udara. Rehan melangkah masuk dan melihat Dinda sedang melayani beberapa pelanggan di pojok lain. Begitu Dinda melihatnya, senyum kecil menghiasi wajahnya, dan Rehan merasakan sensasi aneh di dadanya. Ia menundukkan kepalanya, berusaha menghilangkan perasaan itu dan melangkah ke meja yang sama seperti sebelumnya.
Dinda segera datang menghampiri, membawa secangkir kopi. "Malam, Mas. Sama seperti kemarin, ya? Kopi panas?"
Rehan mengangguk, kali ini tidak secepat kemarin. “Iya, terima kasih, Dinda.” Ia memutuskan untuk langsung mengungkapkan apa yang mengganggu pikirannya. “Tadi, waktu kita ngobrol soal perasaan dan cinta... Gue cuma mau tahu, apa menurut lo itu benar-benar hanya reaksi kimia?”
Dinda menatapnya dengan tatapan yang agak bingung, namun tidak terkejut. "Kenapa lo tanya gitu?" tanyanya dengan suara yang lembut.
“Aku cuma berpikir, kalau cinta itu bisa dijelaskan dengan sains, kenapa bisa ada banyak orang yang merasa seperti... jatuh cinta begitu aja? Bukankah itu terlalu kompleks untuk hanya dijelaskan dengan neurotransmitter dan hormon?" Rehan berhenti sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Apa ada yang lo rasa dari perasaan itu yang nggak bisa dijelaskan?”
Dinda tersenyum tipis, menatap Rehan dengan pandangan yang seakan bisa membaca pikirannya. "Lo ini orang yang penuh dengan logika, ya, Mas? Semua harus ada penjelasan. Tapi menurut gue, perasaan itu bukan sesuatu yang bisa dijabarkan secara langsung dengan rumus matematika atau hukum fisika. Cinta itu... lebih tentang pengalaman, tentang bagaimana kita merasakannya, dan bukan hanya tentang apa yang terjadi di otak kita."
Rehan merasa sedikit tersentuh dengan kata-kata Dinda. Meskipun ia sering menganggap bahwa segala sesuatu bisa dijelaskan dengan sains, ada sesuatu dalam ucapan Dinda yang membuatnya merasa... bingung. Ia tidak tahu apakah itu perasaan yang wajar atau hanya karena keinginan untuk membuktikan sesuatu yang selama ini ia anggap mustahil.
"Apa lo nggak penasaran tentang... perasaan itu? Apa lo nggak pernah merasa ingin tahu kenapa kita bisa merasa jatuh cinta sama orang?" tanya Dinda lagi.
Rehan terdiam, mempertimbangkan jawaban yang tepat. "Jujur, nggak pernah. Gue selalu merasa kalau itu bisa dijelaskan. Cinta itu pasti ada sebab-akibatnya, seperti hal lainnya."
Dinda menatapnya dengan penuh pengertian. “Gue ngerti lo, Mas. Lo berusaha untuk mencari penjelasan tentang segala hal, tapi kadang, perasaan itu datang tanpa alasan yang jelas. Lo nggak bisa selalu pakai logika buat ngejelasin itu semua.”
Rehan merasa ada sedikit perasaan yang menyesak di dadanya, sesuatu yang tidak bisa ia kontrol. Ia ingin berbicara lebih banyak, namun ia merasa semakin bingung. Seakan ada bagian dari dirinya yang tidak bisa ia kontrol. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak, mencoba menenangkan pikirannya.
“Gue nggak tahu, Dinda. Terkadang, logika gue justru bikin gue jadi lebih bingung,” ujar Rehan, sedikit terbuka tentang perasaan yang selama ini ia pendam.
Dinda tersenyum, senyum yang begitu hangat, membuat Rehan merasa sedikit lebih tenang. “Mungkin itu memang yang terjadi. Kadang-kadang, kita cuma butuh berhenti sebentar dan... merasakannya tanpa berpikir terlalu banyak.”
Rehan hanya diam, terjebak dalam kebingungannya. Hujan di luar semakin deras, namun ia merasa ada sesuatu yang lebih besar terjadi di dalam dirinya. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan hanya dengan logika.
Malam itu, saat ia meninggalkan warkop dan berjalan pulang ke kosan, ada satu hal yang tetap menghantui pikirannya: apakah benar cinta itu hanya tentang reaksi kimia di otaknya, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu ia pahami? Hujan yang terus turun seolah menjadi saksi bisu perjalanan pikirannya yang semakin kompleks.