Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Berlanjut
***
"Mas udah ngobrol sama Mama dan Papa soal kamu yang balik kerja, keduanya nggak masalah selagi kamu tidak melupakan tugasmu menjaga Alin dan Javas. Lalu untuk masalah resepsi akan tetap dilaksanakan karena ini permintaan Ibu. Baik Mama dan Ibu udah ketemu beberapa pihak WO untuk ngurusin semua."
Aku hanya mengangguk saat merespon kalimat panjang Mas Yaksa.
Terlalu bingung hendak bereaksi apa jadi aku hanya mampu mengangguk seadanya. Sama seperti sebelum-sebelumnya tugasku memang mengikuti kemauan mereka kan?
"Aku juga sempet mampir ke rumah kemarin."
"Ngapain?" Kali ini aku mengalihkan pandanganku ke arah Mas Yaksa sepenuhnya.
"Ngobrol sama Ibu."
"Terus hasilnya?" tanyaku penuh harap.
Namun, sesuai tebakan Mas Yaksa merespon dengan gelengan kepala. Ya memang apa yang bisa diharapkan?
"Ibu bersikekeuh minta kamu fokus ngurus Alin dan Javas."
"Dan Mas Yaksa," sambungku kemudian.
"Mas nggak akan membatasi kamu, Ge. Lakukan apapun yang kamu suka, kalau kamu mau berhenti bekerja dan lanjut kuliah lagi pun Mas dukung."
Kala menyinggung soal kuliah, tiba-tiba egoku tersentil. Padahal jauh sebelum menikah dengan Mas Yaksa aku memiliki akan untuk kembali mengenyam pendidikan lagi. Tapi mendengar Mas Yaksa bilang demikian aku mendadak tersinggung, meski aku sadar 100% kalau niat Mas Yaksa itu tulus dan bersungguh-sungguh.
"Mas, kamu malu dengan background pendidikan aku? Malu karena aku cuma seorang perawat?"
Mas Yaksa menarik napas panjang sebelum akhirnya berkomentar. "Geya, yang enggan mengakui pernikahan kita itu kamu, bukan Mas. Dan seharusnya yang tanda demikian itu aku bukan kamu. Mungkin kamu yang malu karena menikah dengan duda dua anak kayak Mas."
Setelah menumpahkan kekesalannya, Mas Yaksa memilih diam. Aku pun enggan menanggapi, selain karena malas berdebat di jam sepagi ini, aku sungkan terhadap Pak Joko kalau harus menyaksikan perdebatan kami di jam sepagi ini.
Di antara kami berdua sama-sama tidak ada yang sudi menurunkan ego alhasil kami hanya saling bungkam.
"Pak saya turun di depan situ aja," ucapku menginstruksi Pak Joko agar segera menghentikan mobil.
Mas Yaksa langsung menoleh ke arahku, kedua matanya terlihat penuh dengan amarah tapi sekuat tenaga ingin ia tahan.
Aku tidak peduli karena kenyataannya aku pun demikian.
"Baik, Bu."
"Makasih, Pak, saya duluan." Pandanganku kemudian beralih pada Mas Yaksa, aku mengulurkan sebelah tangan, "Geya turun duluan, Mas." Yang direspon Mas Yaksa seadanya.
Tidak apa-apa, aku tidak mengharapkan apapun. Aku hanya ingin turun dan segera menghindar dari Mas Yaksa meski hanya untuk beberapa jam saja.
"Eh, eh, lo udah tahu belum kalau Pak Yaksa Dirut muda kita udah nikah lagi."
Seketika aku langsung menajamkan kedua telingaku guna mengetahui lebih lanjut apa yang mereka bahas. Posisi kami masih berada sedikit jauh dari lokasi rumah sakit. Aku memilih menguping pembicaraan staf rumah sakit yang tidak kukenal siapa mereka ini.
"Halah, itu sih berita lama." Suara lainnya menyahut dengan sedikit snewen, "basi. Gue bahkan denger beliau nikahnya nggak lama setelah istrinya dulu meninggal."
"Terus soal istrinya lo denger belum?"
Karena penasaran aku memilih menunggu mereka menyelesaikan percakapannya.
"Dokter Ema sih katanya. Masuk akal juga kan, ternyata mereka sering keluar makan siang bareng kalau dokter Ema nggak lagi ada tindakan. Gue denger gosip bahkan dokter Ema sering dianter-jemput."
Hah? Gosip ngawur dari mana itu? Kenapa tidak mendasar sekali.
"Berarti lo ketinggalan gosip." Suara yang tadi memulai percakapan ini mencibir, "gue denger gosipnya bukan dokter Ema. Justru kalau beneran dokter Ema sih gue setuju aja, soalnya ya seperti yang kita semua tahu dokter Ema ini kan cantik, ramah, spesialis pula. Cocok banget lah kalau harus bersanding dengan Pak Dirut."
"Terus kalau bukan dokter Ema siapa?"
"Lo pernah denger istilah turun ranjang?"
"Pernah. Tapi gue nggak terlalu paham maksudnya. Emang itu apaan maksudnya?"
Aku memejamkan kedua mata sambil mengigit bibir bawah. Apakah aku sudah ketahuan? Tapi aku rasa tidak juga, mengingat tidak banyak yang tahu kalau aku adik ipar Mas Yaksa.
"Nikahin adiknya."
"Maksudnya?"
"Jadi Pak Dirut kita nikahin adik iparnya sendiri."
"Gila!" Suaranya terdengar mendesis tidak percaya, "sebegitu nggak maunya putus hubungan dengan keluarga Pak Adijaya kali ya makanya sampe suruh nikah sama adiknya?"
"Gue rasa sih iya, karena kan keluarga istri Pak Dirut yang dulu bukan dari keluarga konglomerat juga kan? Dari keluarga biasa aja gitu gosipnya, bahkan gosipnya dari keluarga miskin sampe adiknya yang sekarang jadi istrinya itu biaya kuliahnya ditanggung keluarga Pak Dirut. Bisa lo bayangin seapes apa keluarga Pak Dirut. Ya ampun, gue jadi kasian deh. Udah kehilangan istri yang dicintainya, eh, malah disuruh nikah sama adik ipar sendiri yang bisanya cuma morotin duitnya. Emang keluarga Pak Adijaya tuh baiknya kebangetan mau-mau aja dimanfaatin gini."
Telapak tanganku terkepal kuat. Aku morotin uang Mas Yaksa? Gila, asumi konyol macam apa itu barusan. Mereka nggak tahu apa yang terjadi tapi berlagak paling tahu segalanya. Dasar manusia.
"Iya, makanya gue kasian. Terutama sama Pak Dirut kita, meski berumur Pak Dirut kan masih keliatan fresh banget, nggak kayak bapak-bapak anak dua. Masih keliatan hot juga kan, eh, malah dapet nasib apes gini. Kayak sebagian dalam diri gue tuh nggak terima gitu loh. Ah, kesel, kenapa Pak Dirut nggak milih dokter Ema aja sih yang jelas-jelas lebih setara."
"Ya kalau bisa memilih udah jelas dan pasti Pak Dirut milih dokter Ema lah, Put. Gue yakin sih posisi Pak Dirut sebelum menikah lagi posisinya pasti dipaksa."
Benar. Kalau soal ini aku membenarkan kalimatnya. Memang tidak salah, karena aku pun dipaksa. Kami dipaksa keadaan yang mengharuskan kami untuk menikah.
"Tapi untung nasib kita masih bisa milih calon sendiri sih ya."
"Yee, kalau jadi adik almarhum istrinya Pak Dirut sih menang banyak. Nggak bisa milih sendiri juga nggak bakalan rugi, kalau yang dinikahinya modelan Pak Dirut kita itu."
"Saking nggak mau ruginya, dia juga nggak mau ngurus anak-anak Pak Dirut loh."
"Heh, ngawur banget lo. Masa ya begitu, kalau begitu Pak Dirut rugi banyak dong? Wah, nggak bisa dibiarin nih, harus kita protes," ucap perempuan itu sambil tertawa.
"Protes ke mana?" Yang lain menimpali.
"Ke istri barunya lah."
"Emang lo tahu?"
"Ya enggak, kalau pun tahu, mana berani gue protes, anjir, mau gimanapun juga kan udah jadi istri Pak Dirut. Nggak sebanding dengan karyawan biasa macem kita, kecuali gue bosen sama kerjaan, baru deh tuh bisa kita protes. Udah ah, yuk, masuk! Kita udah kebanyakan gosip nih kita."
Teman-temannya yang lain mengangguk. "Abis seru sih, gue jadi penasaran deh sama sosok istri baru Pak Dirut."
Seketika tubuhku melemas. Bagaimana ya kalau mereka tahu kalau istri Mas Yaksa modelanku?
To be continue,
author nya dah pintar nih......... ☺