Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Pilihan yang Salah
LIKE, LOVE, AND VOTE
* Happy Reading ....
Hujan belum juga reda, seolah langit pun ikut meratapi nasib Naura.
Di ruang tamu, suasana tegang terus menguasai.
Ayah Naura duduk di kursi kayu dengan wajah gelap, memandang kosong ke depan. Entah apa yang berlalu lalang di kepalanya.
Sesekali, tangannya mengepal, seperti berusaha menahan emosi yang siap meledak kapan saja.
Tanpa memperdulikan waktu yang sudah lewat tengah malam, ia mengambil ponsel dari meja dan mengetik nomor ayah Bimo dengan gemetar.
"Pak, jangan sekarang. Kita tunggu pagi," ujar ibu Naura sambil meraih lengannya, mencoba menenangkan dan menahan.
"Tunggu apa lagi, Bu? Anak kita sudah diinjak harga dirinya! Apa kita harus diam saja?" bentak ayah Naura, nada suaranya penuh amarah.
Naura yang duduk di lantai dengan wajah pucat hanya bisa menunduk tanpa kata.
Ia merasa dirinya menjadi penyebab semua kekacauan ini. Hatinya remuk, tapi ia tidak punya keberanian untuk menghentikan ayahnya.
Setelah nada sambung ketiga, suara berat ayah Bimo terdengar di seberang.
"Halo? Pak Hartono? Ini sudah malam, ada apa menelepon saya di jam seperti ini?"
Ayah Naura menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya yang sudah di ubun-ubun.
"Pak Raharja, maaf saya mengganggu malam-malam. Tapi ini masalah penting. Saya ingin keluarga Bimo datang ke rumah kami besok pagi untuk menyelesaikan masalah ini."
"Maksud Anda?" Suara di ujung telepon terdengar bingung.
"Anak Anda, Bimo, mempermainkan anak saya, Naura! Kami sudah berusaha diam selama ini, tapi sekarang dia menghamili perempuan lain!" suara ayah Naura meninggi, membuat istrinya memegangi lengannya, takut ia kehilangan kendali.
"Pak Hartono, tolong jaga kata-kata Anda!" balas ayah Bimo dengan nada tajam. "Saya tidak tahu apa yang terjadi, tapi tuduhan seperti ini tidak bisa disampaikan sembarangan."
"Tuduhan? Anak Anda sendiri yang melakukan ini! Kalau Anda tidak percaya, tanyakan langsung pada Bimo. Saya minta Anda dan keluarga datang besok pagi, atau saya sendiri yang akan mendatangi rumah Anda!"
Telepon terputus tanpa jawaban.
Ayah Naura melempar ponselnya ke meja dengan keras, napasnya terengah-engah karena marah.
"Pak, jangan gegabah," ujar ibu Naura, berusaha tetap tenang meski wajahnya pucat.
"Gegabah? Kamu lihat sendiri anak kita seperti apa sekarang! Apa aku harus diam sementara harga diri keluarga kita diinjak-injak?"
Naura masih duduk membisu, merasa semakin tenggelam dalam rasa bersalah.
"Pak, Bu... Maafkan aku. Semua ini salahku. Aku nggak seharusnya percaya sama Mas Bimo," ucapnya dengan suara lirih, matanya yang sembab penuh air mata.
Ibunya mendekat dan memeluk Naura erat.
"Nak, ini bukan salahmu. Kamu hanya korban dari semua kebohongan ini. Tapi kita harus kuat, ya? Kita akan selesaikan ini bersama."
Ayah Naura bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang tamu.
"Besok pagi mereka harus datang. Kalau tidak, aku nggak akan segan-segan membuat masalah ini besar!" ancam Ayah Naura dengan raut tegang.
***
Matahari belum sepenuhnya terbit ketika keluarga Naura berkumpul di ruang tamu. Suasana masih penuh ketegangan.
Ayahnya duduk dengan sikap tegas, sementara ibu Naura berusaha menenangkan suasana.
Sekitar pukul delapan pagi, suara mobil terdengar di depan rumah. Naura menatap ke arah pintu dengan jantung berdebar.
Ia tahu siapa yang datang, dan ia tidak yakin siap menghadapi mereka.
Pintu terbuka, menampakkan sosok Bimo yang masuk terlebih dahulu, diikuti oleh kedua orang tuanya.
Wajah Bimo tampak lelah, sementara ayah dan ibunya terlihat tegang.
"Selamat pagi," sapa ayah Bimo dengan nada datar, berusaha tetap menjaga wibawa.
"Selamat pagi, Pak Raharja," balas ayah Naura dingin.
"Silakan duduk. Kita akan bicara baik-baik, tapi saya harap Anda membawa itikad baik juga."
Bimo duduk di samping ayahnya, sementara ibunya tetap berdiri, memandang Naura dengan sorot mata dingin.
"Naura, apa kamu baik-baik saja?" tanya Bimo, suaranya terdengar cemas.
Naura hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia tidak bisa menatap langsung ke mata Bimo.
"Pak Raharja, saya tidak ingin berlama-lama. Saya ingin tahu, bagaimana keluarga Anda akan mempertanggungjawabkan perbuatan anak Anda? Naura adalah anak perempuan satu-satunya. Saya tidak bisa menerima jika dia dipermainkan seperti ini." Ayah Bimo memecah keheningan.
Ayah Bimo menghela napas panjang. "Pak Hartono, saya paham perasaan Anda. Tapi, saya rasa kita harus mendengar penjelasan dari Bimo terlebih dahulu sebelum membuat keputusan."
Semua mata tertuju pada Bimo. Pemuda itu menunduk, tampak gelisah.
"Pak, Bu, Naura ... Aku nggak pernah berniat menyakiti Naura. Semua ini terjadi di luar kendaliku."
"Di luar kendali?" potong ayah Naura dengan nada tinggi.
"Kamu menghamili perempuan lain, dan kamu bilang itu di luar kendalimu? Kamu pikir ini lelucon?"
Bimo mengangkat wajahnya, mencoba menjelaskan.
"Aku nggak tahu kalau dia hamil. Aku bahkan sudah lama nggak berhubungan dengannya. Dia hanya mencoba menghancurkan hubungan kami."
"Jangan membela diri, Bimo!" bentak ayah Naura. "Fakta sudah jelas, dan Naura sudah cukup menderita karena kebohonganmu!"
Suasana semakin memanas. Ibu Bimo akhirnya angkat bicara, nadanya tajam.
"Pak Hartono, kami tidak pernah memaksa pernikahan ini. Kalau memang Naura merasa tidak cocok, kenapa dia tidak mengatakannya dari awal? Jangan menyalahkan anak saya sepenuhnya."
Ucapan itu membuat Naura menatap ibu Bimo dengan mata berkaca-kaca.
"Bu, saya nggak pernah berpikir untuk menyalahkan siapa pun. Saya hanya ingin tahu, apa saya benar-benar diinginkan di keluarga ini atau tidak."
Kata-kata Naura membuat suasana ruangan menjadi hening. Ayah Bimo akhirnya bicara lagi.
"Pak Hartono, kami akan mempertimbangkan apa yang terbaik untuk kedua belah pihak. Kami akan bicara dengan Bimo dan memastikan dia bertanggung jawab."
Naura merasa hatinya semakin hancur mendengar kata-kata itu.
Ia merasa seperti barang yang sedang diperdagangkan, bukan seorang manusia dengan perasaan. Sakit bukan?
Di tengah ketegangan itu, ayah Naura berdiri.
"Baik, kalau begitu kami akan menunggu keputusan kalian. Tapi ingat, jangan sampai kalian mempermainkan kami lagi."
"Ya, kami butuh waktu berunding dulu sekeluarga," tutur Ayah Bimo.
"Berunding? Masalah sudah sebesar Bapak bilang berunding? Jangan macam-macam ya, Pak," geram Ayah Naura mendorong tubuh Ayah Bimo.
Situasi semakin panas kala itu.
Naura enggan menatap wajah Bimo meski sebentar.
"Saya yang akan bertanggung jawab, saya selesaikan dulu. Setelah selesai masalah saya, secepatnya akan kembali ke sini," ucap Bimo berusaha meredam situasi.
"Saya tunggu itikad baikmu. Anak saya ini mau diapakan? Kamu pikir dia ayam, hah?" Ayah Naura berbicara dengan wajah merah padam.
"Ya begini kalau beda kasta," cetus ibu Bimo yang sengaja memancing emosi.
"Sudah, kita pulang saja," ajak Bimo tak berani menatap wajah Naura dan juga Ayahnya.
Mungkin saja ia merasa bersalah? Entah.
Setelah keluarga Bimo pergi, Naura kembali ke kamarnya dengan air mata yang terus mengalir.
Ia tahu, apa pun keputusan yang diambil, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan