Rania, seorang barista pecicilan dengan ambisi membuka kafe sendiri, bertemu dengan Bintang, seorang penulis sinis yang selalu nongkrong di kafenya untuk “mencari inspirasi.” Awalnya, mereka sering cekcok karena selera kopi yang beda tipis dengan perang dingin. Tapi, di balik candaan dan sarkasme, perlahan muncul benih-benih perasaan yang tak terduga. Dengan bumbu humor sehari-hari dan obrolan absurd, kisah mereka berkembang menjadi petualangan cinta yang manis dan kocak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat Spesial dan Kenangan yang Terlupakan
Bab 6: Tempat Spesial dan Kenangan yang Terlupakan
Pagi itu, Rania berdiri di depan kosnya, menunggu Bintang. Udara masih segar, langit biru tanpa awan, dan burung-burung berkicau seolah menyambut hari yang baru.
Tepat pukul sepuluh, suara motor terdengar dari kejauhan. Bintang muncul dengan helm cadangan yang tergantung di spion, tersenyum lebar seperti biasa.
“Siap, Mbak Barista?” tanyanya sambil menyerahkan helm.
Rania mengambil helm itu dengan tawa kecil. “Siap, Mas Pahit. Jadi, kita mau ke mana?”
“Rahasia.” Bintang mengedipkan mata. “Tapi gue jamin lo nggak bakal nyesel.”
Mereka melaju pelan, melewati jalanan kota yang mulai sibuk. Rania merasa aneh tapi nyaman. Perjalanan ini terasa seperti petualangan kecil, sesuatu yang spontan dan tak terduga.
---
Setelah hampir setengah jam perjalanan, mereka tiba di sebuah area perbukitan yang hijau dan sejuk. Bintang memarkir motornya di dekat sebuah kedai kecil yang tampak sederhana tapi nyaman.
“Kita ngopi lagi?” Rania mengerutkan kening, bingung.
Bintang tertawa. “Bukan cuma ngopi. Ini lebih dari itu. Ayo.”
Mereka masuk ke kedai, disambut oleh aroma kopi yang khas dan suara gemericik air dari taman kecil di belakang. Seorang pria paruh baya dengan senyum ramah menghampiri mereka.
“Bintang! Lama nggak kelihatan, Nak.”
“Halo, Pak Herman.” Bintang berjabat tangan dengan pria itu. “Ini Rania, teman gue.”
Pak Herman mengangguk ramah. “Selamat datang, Rania. Bintang sering cerita soal tempat ini?”
“Nggak pernah, malah.” Rania melirik Bintang dengan curiga.
Pak Herman tertawa. “Dia memang suka bikin kejutan. Ayo, duduk. Saya buatkan kopi spesial.”
---
Mereka duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap ke lembah hijau. Suasana tenang, hanya suara angin dan burung yang terdengar. Pak Herman datang dengan dua cangkir kopi yang mengepul hangat.
“Coba dulu, baru kasih komentar,” kata Bintang sambil menyeruput kopinya.
Rania mengikuti, mencicipi kopi itu dengan hati-hati. Rasanya berbeda—lembut, sedikit manis, dan meninggalkan jejak rasa buah di akhir.
“Ini... enak banget,” gumam Rania kagum.
Bintang tersenyum puas. “Gue tahu lo bakal suka. Ini kopi fermentasi alami. Pak Herman yang ngurus sendiri dari tanam sampai seduh.”
Pak Herman tertawa kecil. “Bintang sering bantuin saya dulu. Anak ini punya rasa ingin tahu yang besar soal kopi.”
“Lo pernah kerja di sini?” tanya Rania, terkejut.
Bintang mengangguk. “Dulu, sebelum gue jadi penulis. Gue suka belajar langsung dari Pak Herman. Dia yang ngajarin gue kalau kopi itu bukan cuma minuman, tapi seni.”
Rania menatap Bintang dengan pandangan baru. “Kenapa lo nggak pernah cerita?”
“Gue nggak tahu gimana cara cerita soal ini.” Bintang mengangkat bahu. “Tapi gue pikir, lo harus lihat sendiri.”
---
Setelah menikmati kopi, Bintang mengajak Rania berjalan-jalan di sekitar kebun kopi milik Pak Herman. Udara segar dan pemandangan hijau membuat suasana semakin nyaman.
“Gue nggak nyangka lo punya sejarah sama kopi,” kata Rania sambil memetik satu buah kopi.
Bintang tertawa kecil. “Ya, kita punya kesamaan, kan? Sama-sama cinta kopi.”
“Lo serius banget waktu ngomong kopi bisa nyimpen rahasia.”
Bintang menatap Rania, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius. “Iya. Karena gue percaya, setiap cangkir kopi yang lo buat, ada cerita di baliknya. Cerita lo, cerita pelanggan lo, cerita tentang harapan dan mimpi.”
Rania terdiam, merenungi kata-kata itu. “Lo bener. Gue nggak pernah mikir sejauh itu.”
“Makanya, jangan cuma bikin kopi. Bikin cerita juga.”
Rania tersenyum kecil. “Mungkin gue butuh lo buat bantuin bikin cerita.”
“Gue siap.” Bintang tersenyum lebar. “Kita bisa kolaborasi. Lo bikin kopinya, gue tulis ceritanya.”
“Deal.”
Mereka berjabat tangan, seolah mengikat janji yang tak terucap. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang lebih besar—sebuah awal dari perjalanan baru yang penuh cerita dan rasa.
To be continued...