Di tengah kota yang selalu bising, ada sebuah arena rahasia tempat para petarung dari berbagai latar belakang berkumpul untuk menguji kemampuan mereka dalam pertarungan tanpa aturan. Riko, seorang pemuda biasa dengan masa lalu yang penuh dengan kesulitan, tiba-tiba terjun ke dunia yang keras ini setelah menerima tantangan yang tak bisa ditolak. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, Riko siap menghadapi musuh-musuh terberatnya, termasuk Kuro, legenda petarung yang namanya sudah terkenal di seluruh arena.
Namun, hidupnya tak semudah itu. Selain fisik yang harus terus dilatih, Riko harus belajar bagaimana mengendalikan emosinya, memahami strategi pertarungan, dan yang terpenting—mengenal dirinya sendiri. Dalam dunia yang keras ini, setiap kekalahan bisa menjadi pukulan besar, tapi setiap kemenangan juga membawa tantangan yang lebih berat.
Dengan dukungan sahabat sejati, Tatsu, dan berbagai teman baru yang ditemuinya di sepanjang jalan, Riko berusaha untuk bertahan hidup, mengatasi rasa t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desa Bayangan dan Misteri Penduduk yang Hilang
Perjalanan menuju desa yang disebut dalam surat itu memakan waktu beberapa jam. Mereka bertiga menyusuri jalan setapak yang mulai menurun menuju lembah. Langit perlahan berubah menjadi jingga saat senja tiba, memberikan nuansa tenang namun aneh.
“Serius nih, desa yang kita tuju di tengah hutan kayak gini?” Riko menggerutu sambil menendang kerikil di jalan. “Kenapa nggak ada jalan tol atau setidaknya ojek online?”
Tatsu yang memimpin di depan menoleh dengan senyum santai. “Bro, lo harus lebih menghargai petualangan. Ini pengalaman sekali seumur hidup. Siapa tahu, kita nemu tempat makan legendaris di ujung jalan.”
Ryo, yang berjalan sambil membaca peta dari surat tadi, menggelengkan kepala. “Tatsu, lo sadar nggak sih? Desa ini katanya udah lama hilang dari peta. Penduduknya lenyap tanpa jejak. Makan mungkin jadi hal terakhir yang bisa kita pikirin.”
Tatsu mengangkat bahu. “Lo aja yang kurang santai, Ryo. Kalau penduduknya hilang, ya kita cari mereka. Mungkin mereka lagi pesta di tempat rahasia. Siapa tahu.”
Riko menahan tawa. “Pesta di desa kosong? Lo kebanyakan nonton film, Tas.”
Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam, hanya suara langkah kaki dan angin malam yang menemani. Setelah beberapa waktu, mereka tiba di sebuah gapura batu tua dengan tulisan yang sudah hampir pudar.
“Desa Bayangan,” baca Ryo dengan suara pelan. “Ini dia tempatnya.”
Masuk ke Desa yang Sunyi
Mereka melangkah masuk ke desa yang tampak seperti berhenti di waktu lampau. Rumah-rumah kayu berdiri berjejer di sepanjang jalan utama, tetapi tidak ada satu pun tanda kehidupan. Semua jendela tertutup, dan pintu-pintu terkunci rapat.
“Ini... creepy banget,” Riko bergumam, matanya terus mengawasi sekitar. “Gue nggak suka tempat kayak gini.”
Tatsu memasukkan tangannya ke saku jaket dan berjalan santai di tengah jalan desa. “Relax, bro. Kalau ada yang aneh, kita hadapi. Kan kita udah sering ngalamin hal-hal absurd.”
Namun, langkah mereka terhenti saat mendengar suara samar dari sebuah rumah di ujung jalan. Suara itu seperti seseorang yang mengetuk pintu dari dalam, perlahan tapi terus-menerus.
“Lo dengar itu?” tanya Riko dengan suara berbisik.
“Jelas,” jawab Ryo, mengambil posisi siaga. “Ayo kita periksa.”
Mereka bertiga mendekati rumah itu dengan hati-hati. Pintu kayunya tua dan penuh dengan ukiran aneh yang tampak seperti simbol-simbol kuno. Tatsu mengetuk pintu pelan.
“Halo? Ada orang di dalam?”
Tidak ada jawaban. Hanya suara ketukan itu yang terus terdengar. Riko mencoba mendorong pintu, tapi terkunci.
“Gue nggak suka ini,” katanya lagi. “Tas, lo yakin ini ide bagus?”
Tatsu mengeluarkan sesuatu dari sakunya—obeng kecil yang entah dari mana dia dapatkan. “Tenang aja. Gue pernah belajar buka pintu di game survival.”
“Gue rasa itu nggak relevan sama situasi ini, Tas,” Ryo mengingatkan.
Namun, sebelum Tatsu sempat mencoba, pintu terbuka sendiri dengan suara berderit yang panjang. Ruangan di dalamnya gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari lilin yang hampir habis.
“Ayo masuk,” bisik Tatsu.
Mereka melangkah masuk dengan hati-hati. Ruangan itu penuh dengan benda-benda aneh—topeng kayu, boneka-boneka kain, dan lukisan yang semuanya menggambarkan orang-orang dengan mata tertutup.
“Ini... serem,” Riko berkata, suaranya nyaris bergetar.
Tiba-tiba, pintu menutup sendiri dengan keras. Mereka bertiga berbalik, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
“Gue nggak suka ini sama sekali,” Riko mengulang, kali ini lebih tegas.
Di tengah ruangan, ada meja dengan sebuah buku besar di atasnya. Buku itu terbuka pada halaman yang penuh dengan tulisan tangan dan gambar simbol aneh.
Ryo mendekat dan membaca beberapa baris. “Ini semacam ritual pemanggilan… atau mungkin penyegelan. Gue nggak yakin.”
“Lo ngerti tulisan itu?” tanya Tatsu.
“Sedikit,” jawab Ryo. “Tapi intinya, mereka nyoba ngurung sesuatu di sini. Sesuatu yang nggak seharusnya keluar.”
Seolah merespons ucapan Ryo, lilin di sudut ruangan tiba-tiba padam satu per satu. Suasana menjadi gelap gulita.
“Ini nggak bagus,” Riko berkata, menyalakan senter dari ponselnya.
Tatsu, yang entah kenapa masih santai, mengeluarkan sisa martabak mini dari sakunya. “Tenang, bro. Gue yakin kita bisa ngadepin ini. Martabak selalu bawa hoki.”
“Serius, Tas?” Riko menatapnya dengan tatapan tak percaya.
Namun, sebelum Riko bisa melanjutkan protesnya, bayangan hitam mulai muncul di dinding, bergerak dengan cepat dan mengelilingi mereka.
“Siap-siap,” Ryo memperingatkan. “Kita nggak tahu apa yang bakal muncul.”
Bayangan itu semakin mendekat, dan dari tengah ruangan, sosok tinggi dengan jubah hitam dan topeng kayu perlahan muncul. Suaranya rendah dan menggema di seluruh ruangan.
“Kalian… tidak seharusnya ada di sini.”
Tatsu, dengan martabak di tangan, tersenyum kecil. “Bro, kita cuma nyasar. Tapi kalau lo mau ngobrol, kita bisa atur.”
Sosok itu mendekat dengan langkah lambat, namun penuh ancaman. Riko dan Ryo bersiap bertempur, sementara Tatsu tetap dengan sikap santainya.
“Jadi, lo suka martabak atau nggak?” Tatsu bertanya dengan nada santai, mengacungkan martabak mini ke arah sosok itu.
Bersambung di Bab 29.