Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Kepungan Tak Terduga
Jakarta masih gelap ketika Raka, Nadia, dan Surya bersiap untuk langkah besar berikutnya. Dengan rencana yang sudah dipetakan semalaman, mereka tahu bahwa waktu bukan sekutu mereka. Setiap menit yang berlalu, Viktor semakin dekat mengetahui keberadaan mereka. Namun, tujuan mereka jelas: menyusup ke gudang pengiriman Viktor yang terletak di kawasan pelabuhan tua.
Raka memasukkan pistol kecil ke dalam jaketnya sambil melirik Nadia, yang sedang memeriksa alat komunikasi mereka. Surya, meskipun tampak lebih santai, memiliki mata yang selalu awas. Ia mungkin terlihat seperti pria yang menyerah pada hidup, tetapi pengalaman hidupnya di bawah Viktor membuatnya selalu siap menghadapi yang terburuk.
"Jadi, kita masuk lewat sisi utara," ujar Surya sambil menunjuk peta yang terbentang di atas meja. "Keamanan di sana lebih longgar, karena mereka fokus menjaga pintu utama dan area pengiriman. Tapi, jangan remehkan mereka. Viktor tidak pernah main-main soal penjagaannya."
Nadia mengangguk sambil menyusun kabel kecil di tas ranselnya. "Aku akan mengurus pengawasan. Jika kita bisa menonaktifkan kamera dan alarm, kita punya waktu sekitar lima menit sebelum mereka menyadari ada yang salah."
Raka menatap keduanya, memastikan bahwa semua orang sudah paham tugasnya. "Ini bukan hanya soal menyusup," katanya tegas. "Kita harus mendapatkan bukti—data pengiriman, siapa saja yang terlibat, dan ke mana tujuan barang itu. Itu satu-satunya cara untuk menjatuhkan Viktor secara permanen."
Surya terkekeh kecil, meskipun nadanya pahit. "Berani sekali kau bicara soal menjatuhkan Viktor. Kalau ini berhasil, aku akan beri kau minuman gratis seumur hidup."
Raka tersenyum tipis, tetapi matanya tetap serius. "Aku akan mengingat tawaran itu."
**Penyusupan Dimulai**
Jam menunjukkan pukul dua pagi ketika mereka tiba di kawasan pelabuhan tua. Tempat itu sepi, hanya ada deretan kontainer yang membentuk labirin gelap. Lampu-lampu besar yang menggantung di atas kepala menciptakan bayangan panjang yang tampak seperti penjaga hantu.
Surya, yang memimpin jalan, membawa mereka ke arah sisi utara gudang. Di sana, seperti yang diprediksi, hanya ada dua penjaga yang terlihat setengah mengantuk.
"Ini giliranmu," bisik Surya kepada Nadia, yang sudah memegang alat pengacak sinyal kecil.
Nadia mengaktifkan alat itu, dan dalam hitungan detik, kamera-kamera di sekitar area itu mulai mati satu per satu. Penjaga tidak menyadari apa-apa, terlalu sibuk dengan ponsel mereka untuk memperhatikan sesuatu yang aneh.
Mereka bertiga menyelinap masuk dengan hati-hati, bergerak di antara kontainer seperti bayangan. Raka merasa adrenalinnya meningkat, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak boleh ceroboh. Sekali salah langkah, mereka bisa tertangkap.
Di dalam gudang, mereka menemukan sebuah ruangan kecil yang tampak seperti kantor pusat operasi. Komputer dan dokumen berserakan di meja.
"Aku akan memeriksa data di komputer," bisik Nadia sambil mulai bekerja. "Kalian berjaga di pintu."
Surya dan Raka berdiri di dekat pintu, telinganya awas terhadap setiap suara langkah. Waktu terasa berjalan lebih lambat, tetapi Nadia akhirnya berseru pelan.
"Aku menemukannya," katanya dengan suara penuh semangat. "Ini dia—daftar pengiriman, kontak, dan bahkan bukti pembayaran. Ini cukup untuk menjatuhkan Viktor!"
Namun, sebelum mereka bisa merayakan, suara langkah berat terdengar mendekat.
"Kita ketahuan," bisik Surya dengan nada cemas.
Raka langsung meraih pistolnya. "Kita harus keluar sekarang."
Mereka bertiga berlari keluar dari ruangan, tetapi penjaga sudah mulai menyebar di sekitar gudang. Tembakan pertama terdengar, membuat mereka bersembunyi di balik kontainer.
"Bagaimana kita bisa keluar dari sini?" tanya Nadia, napasnya terengah-engah.
Surya menunjuk ke arah barat. "Ada jalan keluar darurat di sana, tapi kita harus melewati setidaknya lima penjaga."
"Pilihan lain?" tanya Raka sambil mengintip dari balik kontainer.
"Pilihan lain adalah mati di sini," jawab Surya datar.
Raka mengambil keputusan cepat. "Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kalian berdua lari ke pintu darurat. Jangan berhenti sampai kalian aman."
"Tidak!" protes Nadia. "Kita tidak akan meninggalkanmu."
"Ini bukan tentang aku," jawab Raka dengan nada tegas. "Ini tentang menghancurkan Viktor. Kalau aku harus jadi umpan, maka biar begitu."
Nadia terdiam, tetapi matanya penuh emosi. Ia tahu Raka benar, tetapi itu tidak membuat keputusan ini lebih mudah.
"Berhati-hatilah," bisiknya akhirnya, sebelum ia dan Surya mulai bergerak menuju pintu darurat.
Raka keluar dari persembunyiannya, menembakkan beberapa peluru ke arah penjaga untuk menarik perhatian mereka. Penjaga-penjaga itu segera mengejar Raka, meninggalkan jalur yang lebih aman bagi Nadia dan Surya.
**Kejaran yang Mematikan**
Raka berlari secepat yang ia bisa, berusaha menjauh dari Nadia dan Surya. Di belakangnya, suara langkah dan tembakan semakin mendekat. Ia tahu bahwa ia tidak bisa bertahan lama, tetapi setiap detik yang ia habiskan di sini adalah kesempatan bagi Nadia untuk melarikan diri.
Namun, ketika ia mencapai ujung gudang, ia menyadari bahwa ia terjebak. Tidak ada jalan keluar lagi, hanya tembok tinggi yang menghalangi jalannya.
Penjaga-penjaga itu mengepungnya, senjata mereka terarah langsung ke arahnya.
"Menyerahlah," salah satu dari mereka berkata. "Kau tidak punya pilihan lain."
Raka menatap mereka dengan mata penuh tekad. "Aku selalu punya pilihan."
Ia mengangkat pistolnya, siap untuk pertarungan terakhir. Tetapi sebelum ia bisa menembak, suara lain menghentikan semua orang.
"Jangan tembak," kata seseorang dengan suara tegas.
Raka menoleh dan melihat sosok Viktor berdiri di sana, wajahnya penuh senyum dingin.
"Ah, Raka," kata Viktor pelan. "Aku tahu kau akan mencoba sesuatu yang bodoh. Tapi aku harus mengakui, kau lebih tangguh daripada yang kukira."
Raka tidak mengatakan apa-apa, tetapi matanya menunjukkan kebencian yang mendalam.
Viktor melangkah mendekat, tangan di belakang punggungnya. "Kau tahu, aku sebenarnya suka orang sepertimu. Kau punya keberanian, sesuatu yang jarang kutemukan di orang lain. Tapi kau membuat kesalahan besar dengan melawan aku."
Raka tetap diam, tetapi ia tahu bahwa ini adalah akhir untuknya—atau setidaknya, begitulah yang Viktor pikirkan.
Di luar gudang, Nadia dan Surya berhasil mencapai jalan utama. Napas mereka terengah-engah, tetapi mereka tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti.
"Kita tidak bisa meninggalkan Raka di sana," kata Nadia dengan suara gemetar.
"Kita tidak punya pilihan," jawab Surya. "Kalau kita kembali, kita semua mati."
Meskipun kata-kata Surya masuk akal, Nadia merasa hatinya hancur. Ia tidak bisa membiarkan Raka menghadapi Viktor sendirian.
Di tempat lain, Viktor menatap Raka dengan senyum puas. "Kita akan bersenang-senang, Raka. Tapi pertama-tama, aku ingin tahu apa yang kau rencanakan."
Ketika Viktor berdiri di hadapan Raka, tatapan dingin dan senyumnya penuh kesombongan. Di belakangnya, penjaga-penjaga berdiri dengan senjata siap digunakan, seperti patung-patung bayangan yang mengintai.
Raka, terpojok di sudut gudang, memegang pistol yang sudah tidak memiliki peluru lagi. Tangannya tetap terangkat, meskipun ia tahu bahwa senjatanya tak berguna sekarang.
"Berani sekali kau mencoba melawan aku," Viktor berbicara pelan, tetapi setiap kata yang keluar seperti pisau yang menusuk.
"Kau pikir kau bisa menghancurkan aku dengan menyelinap masuk dan mencuri beberapa dokumen? Dunia ini jauh lebih rumit daripada itu, Raka."
Raka hanya menatap Viktor, wajahnya penuh kemarahan.
"Mungkin aku memang tidak bisa menghancurkanmu sekarang, tapi aku tahu satu hal—kau takut. Itulah sebabnya kau berdiri di sini dengan seluruh pasukanmu. Kau takut seseorang sepertiku akan mengungkap siapa kau sebenarnya."
Viktor terkekeh pelan, seolah-olah Raka baru saja melontarkan lelucon yang menggelitiknya. "Takut? Kau pikir aku takut? Tidak, Raka. Aku hanya tidak suka orang-orang yang mencoba mengacaukan bisnis yang sudah kubangun dengan susah payah."
Ia memberi isyarat kepada salah satu penjaganya, yang kemudian meraih tangan Raka dan menahannya dengan kasar. Raka meringis, tetapi ia tidak menunjukkan tanda menyerah.
"Aku punya rencana untukmu," Viktor melanjutkan, suaranya lebih rendah sekarang. "Kau akan bekerja untukku. Bukan sebagai sekutu, tetapi sebagai alat. Jika kau tidak setuju, aku punya cara lain untuk memastikan kau tetap berguna—bahkan jika itu berarti kau hanya jadi mayat yang mengingatkan orang lain untuk tidak melawan aku."
Sementara itu, di luar gudang, Nadia dan Surya berhasil mencapai jalan utama. Napas mereka masih tersengal-sengal setelah berlari sejauh mungkin, tetapi pikiran Nadia tidak bisa lepas dari Raka. Ia berdiri di tepi jalan yang sepi, memandangi gudang di kejauhan dengan mata berkaca-kaca.
"Kita harus kembali," Nadia berkata tegas, meskipun suara gemetar memperlihatkan keraguannya.
"Dan mati?" Surya memotong dengan tajam. "Kau tidak paham, Nadia. Viktor sudah tahu kita ada di sini. Jika kita kembali, kita hanya akan menyerahkan diri."
"Tapi kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja!" Nadia berteriak, tangannya mengepal. "Dia sudah melakukan terlalu banyak untuk kita, Surya. Kalau kita pergi sekarang, kita sama saja dengan pengecut."
Surya menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu kau peduli pada Raka, tapi kau harus memikirkan gambaran yang lebih besar. Kita punya bukti. Kalau kita bisa membawa ini ke tangan yang tepat, kita punya peluang untuk menjatuhkan Viktor. Raka... dia tahu risiko yang dia ambil."
Mata Nadia berkaca-kaca, tetapi ia tidak menjawab. Ia tahu Surya benar, tetapi perasaan bersalahnya semakin berat. Pikirannya dipenuhi bayangan Raka, yang mungkin sedang menghadapi Viktor sendirian di dalam gudang itu.
"Aku tidak bisa melakukannya," Nadia akhirnya berkata dengan suara lemah. "Aku tidak bisa meninggalkan dia."
Surya menatapnya tajam, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tahu bahwa keputusan sudah dibuat. Nadia mulai bergerak kembali ke arah gudang, dan meskipun Surya merasa itu adalah langkah yang bodoh, ia tetap mengikutinya.
Di dalam gudang, Raka masih berdiri teguh meskipun Viktor terus berbicara dengan nada mengancam.
"Kau tahu," Viktor melanjutkan, "aku suka orang-orang seperti kau. Penuh keberanian, penuh tekad. Tapi pada akhirnya, itu semua tidak berarti apa-apa di hadapan kekuatan. Kau bisa menjadi seberani yang kau mau, tetapi kau tidak bisa menang melawan aku."
Raka menatap Viktor tajam. "Kekuatanmu hanya sementara. Pada akhirnya, orang-orang akan tahu siapa kau sebenarnya, dan ketika itu terjadi, semua yang kau bangun akan runtuh."
Viktor tersenyum kecil.
"Orang-orang sudah tahu siapa aku, Raka. Tapi mereka tidak peduli. Uang bisa membeli segalanya, termasuk kesetiaan dan kebisuan. Kau, di sisi lain, hanyalah seorang pria kecil yang berpikir dia bisa melawan sistem."
Penjaga-penjaga di sekitar mereka tertawa kecil, tetapi Raka tetap tidak menunjukkan rasa takut. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini mungkin akhir baginya. Namun, ia juga tahu bahwa Nadia dan Surya memiliki kesempatan untuk melarikan diri dengan bukti yang mereka dapatkan.
Ketegangan di ruangan itu meningkat ketika tiba-tiba terdengar suara langkah cepat dari arah pintu. Semua orang menoleh, dan Nadia muncul dengan pistol di tangannya.
"Lepaskan dia!" teriak Nadia, matanya penuh kemarahan.
Penjaga-penjaga langsung mengangkat senjata mereka, tetapi Viktor mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka berhenti. Ia menatap Nadia dengan ekspresi tertarik.
"Ah, kau lagi," kata Viktor sambil tersenyum. "Gadis pemberani. Apa yang kau rencanakan sekarang? Menyelamatkan temanmu dengan pistol kecil itu?"
Nadia tidak menjawab, tetapi tangannya tetap kokoh memegang pistol.
Raka, yang masih berada dalam cengkeraman salah satu penjaga, berteriak, "Nadia, pergi! Jangan bodoh!"
Namun, Nadia tidak bergerak. Ia tahu bahwa langkah ini sangat berisiko, tetapi ia tidak bisa meninggalkan Raka.
"Kalau kau ingin membunuhnya, kau harus membunuhku dulu," katanya dengan suara tegas.
Viktor tertawa kecil. "Kau benar-benar menarik. Tapi sayang sekali, ini bukan dunia film, Nak. Di sini, orang seperti kau hanya akan mati sia-sia."
Namun, sebelum Viktor bisa memberikan perintah apa pun, suara sirene polisi tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Semua orang di ruangan itu langsung siaga, termasuk Viktor.
"Siapa yang memanggil polisi?" tanya Viktor dengan nada tajam.
Raka memanfaatkan momen kebingungan itu untuk melawan. Ia menendang penjaga yang menahannya, lalu meraih pistolnya kembali. Dalam hitungan detik, suasana di gudang berubah menjadi kekacauan.
Ketika sirene semakin dekat, Viktor menyadari bahwa ia harus pergi. Dengan tatapan dingin, ia menatap Raka dan Nadia untuk terakhir kalinya sebelum memberi perintah kepada anak buahnya.
"Kita pergi. Ini belum selesai."
Viktor dan anak buahnya menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan Raka dan Nadia yang terengah-engah di tengah gudang yang kini kosong. Surya muncul beberapa detik kemudian, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Kita harus pergi sekarang sebelum polisi sampai di sini," katanya.
Raka menatap Nadia, yang masih menggenggam pistolnya dengan tangan gemetar. "Kau seharusnya tidak kembali," katanya pelan.
"Tidak mungkin aku meninggalkanmu," jawab Nadia dengan suara tegas.
Raka tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa hubungan mereka semakin kuat. Meski dunia mereka penuh bahaya, mereka tidak akan menyerah.