NovelToon NovelToon
Reina: Become Trouble Maker

Reina: Become Trouble Maker

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Pembaca Pikiran
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.

Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Althea duduk di depan pintu rumah, air matanya mengalir deras, seolah tidak bisa berhenti menangis. Tangannya memeluk lututnya, tubuhnya terguncang dengan setiap isakan. Suasana di luar rumah terasa semakin sunyi, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekat. Leon dan Reina tiba di hadapannya, keduanya berdiri tegak dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Leon mengangkat alis, suaranya penuh dengan sindiran. "Sampai kapan kau menangis di sini? Sampai penjahat mencarimu dan memasukkanmu ke dalam rumah pelacuran?" suaranya terdengar tajam dan dingin, menyentuh hati yang rapuh.

Althea mendongak, menatap keduanya dengan mata yang masih basah oleh air mata. Wajahnya penuh kebingungan dan ketakutan, tapi juga ada sedikit perasaan marah yang mulai muncul.

"Aku... aku..." suaranya tercekat, seperti ada sesuatu yang menghalangi kata-katanya.

Reina, yang berdiri di samping Leon, menyeringai sarkastis. "Jangan salah paham. Kota sedang kacau akhir-akhir ini. Apa kau mau ditangkap dan menjadi koleksi di rumah pelacuran? Aku nggak mau buang-buang tenaga untuk itu." Reina berbicara dengan nada yang tidak peduli, suaranya seakan tak terpengaruh dengan tangisan Althea.

Althea menatap Reina dengan tatapan yang sulit dijelaskan, kebingungannya semakin besar. “Aku... aku cuma ingin diakui… dipedulikan,” jawabnya pelan, merasa begitu terasing dalam situasi ini.

Leon menghela napas, seolah merasa lelah. "Kau memang anak yang rumit, Althea. Tapi jangan pikir bahwa menangis di luar sana akan menyelesaikan apapun. Dunia tidak akan peduli, dan kau akan terus seperti ini jika tidak ada yang mengubahnya."

Reina menatap Althea dengan sedikit kasihan, meski wajahnya tetap penuh dengan sarkasme. "Kami memang bukan keluarga yang sempurna. Tapi kau harus berhenti jadi korban dalam hidupmu."

Althea merenung dalam, mendalamkan pikiran atas kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Leon dan Reina. Air matanya mulai mengering, meski hatinya masih dipenuhi kebingungan dan perasaan yang tak terdefinisikan. Setelah beberapa detik, ia mengangguk perlahan, seakan menemukan keputusan kecil dalam dirinya untuk mulai berubah.

Dengan langkah yang sedikit ragu, Althea bangkit dan mendekati Reina. "Terimakasih," ucapnya dengan suara pelan namun tulus, lalu memeluk Reina dengan hati yang bergejolak.

Reina terkejut dan langsung melepaskan ekspresi kesalnya. "Hei, jangan peluk aku!" serunya dengan nada tajam, berusaha melepaskan diri dari pelukan Althea.

"Aku harus berubah. Selama ini aku hidup dalam bayang-bayang ibu. Aku membiarkan ibu mengendalikan ku dan membuat keluarga orang lain hancur. Aku nggak mau hidup seperti ibu." Pikir Althea.

Reina mulai mendengar isi pikiran Althea, sebuah perubahan kecil yang mencoba berubah, seringai tipis muncul di wajahnya. Meskipun wajah Reina tetap kaku dan dingin, ada sedikit penghargaan dalam cara dia menatap Althea.

"Kalau kau ingin berubah, lakukan. Jangan cuma omong kosong aja," kata Reina, suaranya masih terdengar tajam, tapi ada sedikit nada yang menyiratkan penerimaan yang lebih lembut.

Althea, meski masih terisak, hanya mengangguk pelan, tidak berniat melepaskan pelukannya. Tanggapan Reina membuatnya merasa sedikit lebih baik, meskipun tahu bahwa perubahan tidak akan mudah. Melihat itu, Reina hanya bisa menepuk-nepuk punggung Althea dengan pelan, terpaksa menerima pelukan itu, meskipun dalam diam. Sebuah perasaan yang rumit menyelubungi keduanya, namun dalam keheningan itu, ada harapan kecil yang mulai tumbuh.

"Jadi, Ibu ingin menjodohkan kami dengan seorang pria yang sudah beristri? Ibu gila!" teriak Althea dengan marah setelah mendengar fakta dari mulut Arina. "Apa Ibu nggak berpikir bagaimana hancurnya masa depan kami dengan ide bodoh itu?! Om Leon benar, Ibu memang nggak berguna!" Umpat Althea dengan keras, kata-katanya terasa berat dan tajam, membuat Reina terkejut sejenak, lalu tersenyum sinis sambil mengamati reaksi Althea. Leon hanya mengangkat sebelah alisnya, wajahnya tetap datar, tetapi matanya menunjukkan rasa tertarik pada drama yang terjadi di depannya.

Arina yang terkejut mendengar hinaan itu, berusaha membela diri. "Ini demi kebaikan kalian! Khususnya kau, Althea! Kau bisa hidup nyaman tanpa perlu bekerja keras!" ujar Arina dengan nada tegas, mencoba membenarkan rencananya.

Althea memandang ibu kandungnya dengan penuh kebencian dan kesedihan. "Maksudnya, Ibu ingin aku menderita seperti mu, kan? Aku sudah memilih jalan hidupku, Bu!" jawab Althea dengan suara bergetar, penuh penolakan. Matanya berkaca-kaca, namun dia berusaha keras untuk menahan air matanya.

Reina menatap Althea dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada kekaguman yang muncul karena akhirnya Althea bisa berbicara begitu tegas, tetapi juga ada sedikit rasa puas karena melihat keretakan dalam hubungan antara Althea dan ibunya. "Kalau begitu, teruskan jalan hidupmu. Dunia ini nggak butuh orang lemah," ujar Reina dengan dingin, namun di balik kata-katanya, ada semacam pengakuan terhadap keberanian Althea.

Leon memandang situasi itu dengan sikap yang tenang, seolah sudah terbiasa melihat perdebatan seperti ini. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa konflik ini belum selesai, dan perasaan Althea adalah hal yang paling penting saat ini.

"Kalau kamu nggak mau menuruti kata Ibu, kamu bukan anakku lagi!" seru Arina dengan nada penuh ancaman.

Althea mengepalkan tangannya, menahan gemuruh amarah yang selama ini ia tekan. Selama bertahun-tahun, ia selalu tunduk pada ancaman ibunya. Namun, setelah mendengar kebenaran dari Leon—bagaimana Arina menjebak pria itu secara tidak terhormat dan berencana menjodohkannya dengan pria beristri—rasa hormat dan cinta pada ibunya perlahan runtuh.

"Nggak apa-apa, Bu," jawab Althea dengan suara dingin dan tenang yang membuat suasana semakin mencekam. "Pergilah. Toh, dari dulu kau tidak pernah memperlakukan aku seperti anakmu. Kau hanya menyuruhku bersikap manis supaya bisa memanfaatkanku. Ibu bahkan nggak malu menghancurkan rumah tangga orang lain, tapi Ibu sendiri nggak mampu mengurus rumah. Aku benar-benar jijik padamu, Bu."

"Althea!" teriak Arina, wajahnya memerah karena marah dan malu.

Althea memejamkan matanya sejenak, mencoba mengendalikan emosi yang meluap. Kemudian, ia membuka matanya dan menatap Reina. Tatapannya datar, namun dalam suaranya tersirat kelelahan yang mendalam. "Ibu nggak akan pernah berubah, Kak. Aku capek menjadi boneka Ibu. Aku izin ke kamar dulu."

Reina hanya mengangguk kecil, matanya mengikuti langkah Althea yang pergi dengan punggung tegak, meski ada sedikit gemetar di bahunya. Di balik senyum sinisnya, Reina tahu gadis itu sedang mencoba menahan tangis.

Leon, yang berdiri diam di sudut ruangan, melirik Arina dengan pandangan tajam namun tetap dingin. "Kau baru saja menghancurkan hubungan terakhir yang kau miliki," ucapnya datar, tanpa sedikitpun emosi.

Arina terdiam, tubuhnya bergetar oleh amarah, malu, dan rasa tak berdaya yang menghantamnya sekaligus. Kata-kata Leon menusuk ke dalam hatinya, tetapi ia tidak bisa membantah. Seluruh kebohongan dan manipulasi yang ia bangun selama ini perlahan-lahan runtuh di depan mata.

“Reina, Leon, ini semua salah kalian!” Arina melotot ke arah mereka. “Kalian yang membuat Althea berani melawanku! Dia berubah gara-gara kalian!”

Reina tertawa sinis, menyilangkan tangan di dada. “Oh, jadi kami yang salah? Lucu sekali, Tante. Padahal, kalau dipikir-pikir, kami cuma memberikan Althea kebebasan untuk berpikir sendiri. Tapi kurasa, buat seseorang yang terbiasa memanfaatkan orang lain, kebebasan itu kelihatan seperti ancaman, ya?”

Leon menyeringai tipis, tidak menanggapi dengan kata-kata. Ia hanya menatap Arina dengan mata penuh sindiran, seolah menegaskan bahwa Reina benar.

“Reina! Jangan sok tahu!” Arina berteriak, menunjuk gadis itu dengan gemetar. Namun, suaranya kini terdengar seperti desahan putus asa, bukan ancaman seperti sebelumnya.

Reina mengangkat bahu acuh tak acuh. “Terserah. Yang jelas, Althea akhirnya sadar. Itu hal terbaik yang pernah terjadi pada dia.” Reina melirik Leon. “Ayah, aku lapar. Kita makan aja yuk. Kasihan lambungku kalau harus dengar drama terus.”

Leon mengangguk pelan. “Kau benar. Ini pemborosan waktu.” Ia berbalik tanpa melihat Arina lagi, melangkah menuju pintu. “Kalau kau mau merusak hidupmu sendiri, jangan libatkan anak-anak.”

Sebelum keluar, Reina menoleh ke Arina satu kali lagi. “Dan, Tante, satu saran dari aku. Coba sekali-sekali introspeksi, ya? Bukan hanya menyalahkan orang lain. Siapa tahu hidupmu jadi lebih baik.”

Tanpa menunggu jawaban, Reina mengekor Leon keluar, meninggalkan Arina yang berdiri mematung di ruang tamu, ditemani kehancuran yang ia ciptakan sendiri.

Reina melangkah masuk ke ruang tengah dengan ekspresi ceria, mendapati Arina tengah sibuk menulis sesuatu di buku catatannya. Tanpa ragu, gadis itu duduk di hadapan wanita itu sambil menatapnya penuh rasa ingin tahu.

"Tante, aku punya hadiah menarik untukmu," ucap Reina, bibirnya melengkung dalam senyum yang sulit ditebak.

Arina mendongak, menyipitkan matanya curiga. "Apa yang kau inginkan sekarang, Reina?"

Reina mengabaikan nada sinis itu dan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Bukankah Tante ingin pekerjaan cepat yang menghasilkan banyak uang? Kebetulan, aku baru saja mendapatkan tawaran yang sempurna. Tapi kupikir, Tante yang lebih cocok untuk pekerjaan ini. Dengan kemampuan Tante, aku yakin Tante bisa menjadi orang terkaya di kota ini."

Arina terdiam sejenak, memandang Reina dengan penuh pertimbangan. Tawaran itu terdengar menggoda, dan Reina tahu bagaimana memainkan ekspresi meyakinkan.

"Benarkah? Apa pekerjaannya?" tanya Arina akhirnya, nada suaranya mulai melunak.

Reina tersenyum lebih lebar. "Tante hanya perlu menemui orang ini," katanya, menyelipkan selembar alamat yang dia tulis di atas kertas. "Dia akan menjelaskan semuanya."

Arina tanpa curiga, mengangguk. Tawaran itu terdengar terlalu baik untuk dilewatkan.

---

Namun, hanya beberapa jam setelah itu, Arina tersadar akan kenyataan pahit. Dia mendapati dirinya berdiri di depan rumah pelacuran terkenal di kota, wajahnya memerah antara marah dan malu.

"REINA!" teriaknya keras ketika menyadari apa yang telah terjadi. Para penjaga pintu hanya menatapnya dengan ekspresi bingung, sementara salah satu dari mereka menyerahkan dokumen kontrak.

Di sisi lain, Reina sudah tertawa puas bersama Leon dan Althea di teras rumah. Dia menyeruput jusnya santai, mengabaikan suara teriakan marah yang bergema dari kejauhan.

"Jadi, kau benar-benar melakukannya?" tanya Althea dengan nada tak percaya, meski senyum kecil mulai muncul di wajahnya.

Reina mengangkat bahu tanpa rasa bersalah. "Tentu saja. Aku hanya memberi Tante kesempatan emas untuk belajar dari bawah. Siapa tahu, dia benar-benar jadi orang terkaya seperti yang dia impikan."

Leon memutar matanya, lalu meneguk kopinya. "Kalian benar-benar keluarga bermasalah."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!