Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Centhini dan Camelia
“Serius kalian ngomongin budaya? Kok ra takon aku wae, Yan? Kenapa nggak tanya aku aja kalau kamu bener-bener mau tahu.”
“Lho, kamu ngerti apa, Mbak, emangnya?”
“Wah, ini, nyepeleke bener kamu. Selama ini yang kasih informasi sama kamu soal budaya Cina siapa? Mosok ya nggak kenal sama mbaknya sendiri. Ya kan piye-piye aku iki Cino, lho, Yan. Sedikit banyak ya cari tahu latar belakang budayaku, lah.”
“Iya, iya. Cuma, emangnya kamu tahu soal wacinwa?”
“Ya tahu lah. Bukan wacinwa aja, kamu tahu, Yan, kalau ada pagelaran ketoprak Jawa yang ceritanya sebenarnya berasal dari cerita Cina?”
Dihyan melongo.
“Masak iya, Mbak?”
Centhini menepuk dadanya sendiri.
“Di salah satu pagelaran kesenian ketoprak Jawa, kan ada tuh judul lakonnya Panglima Sudiro. Nah, meskipun berkesan sangat Jawa, cerita itu diadopsi dari cerita rakyat Tionghoa yang terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Tang. Sudiro itu memang nama Jawa, tapi diserap dari nama aslinya yaitu Sie Djien Koei. Tokoh itu jagoan kungfu, atau silat lah kalau di Jawa. Dia punya ajian bisa mengubah sukmanya menjadi macan putih. Dia juga punya nama lain, yaitu Sie Ting San, yang tentu saja diubah dalam bahasa Jawa menjadi Sutrisno.”
Centhini menepuk dadanya sendiri dengan gaya yang dipongah-pongahkan ketika melihat Dihyan seperti terkejut karena Centhini tahu mengenai informasi ini.
Ketoprak sendiri sebenarnya adalah seni pertunjukan rakyat yang berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Seni pertunjukan ini menggabungkan berbagai unsur seperti drama, tari, sastra, karawitan, bahkan seni bela diri.
Centhini memang iseng bertanya mengenai apa yang dibicarakan Dihyan dan Septiani di warung makan tadi, soalnya mereka terlihat lumayan serius. Centhini sendiri heran, mengapa mendadak Dihyan tertarik mencari tahu dan membahas tentang kebiasaan dan budaya Tionghoa. Lucunya lagi, sepertinya Dihyan tebang pilih saja. Ia hanya ingin tahu hal-hal tertentu saja. Itu sebabnya Centhini menjadi penasaran.
Namun, setelah percakapannya dan Centhini tersebut, di dalam mobil, di perjalanan ke Singkawang, Dihyan kembali merenung. Pikirannya membayang semakin mendetail mengenai pertanyaan demi pertanyaan yang berhubungan dengan budaya Cina-Jawa, serta keris Semar Mesem yang masih dengan aman dan nyaman berada di dalam saku celananya.
Centhini jelas sudah memperhatikan perilaku adiknya itu sedari awal. Centhini baru saja mau menegur adiknya itu ketika gawainya berdering.
Centhini meraih gawai dari dalam tas kecilnya. Wajahnya mendadak ceria ketika melihat apa yang terpampang di layar.
“Haloow honey, how are ya?” seru Centhini.
Dihyan tersentak dari lamunannya, tetapi kemudian berpura-pura untuk tidak memperhatikan Centhini dan siapa yang sedang berbicara dengan kakaknya di telepon tersebut. Namun, sesungguhnya, dengan mudah Dihyan tahu siapa yang menghubungi kakaknya itu.
“Mau lihat Singkawang gimana? Oke, matikan aja dulu. Aku video call ya?”
Dihyan mulai merasa tidak tenang. Ia bingung harus bersikap seperti apa, padahal ia hanya tinggal duduk di dalam mobil. Telepon Centhini tidak ada urusannya sama sekali dengan dirinya.
“Kami masih dari perjalanan ke kota Singkawangnya.”
“Terus, sekarang dimana, nih?”
“Kampung halamanku, Monterado namanya. Lihat tuh, kami menuruni bukit. Kampungku ternyata di puncak bukit.” Centhini melihatkan sekeliling yang dilalui mobil ke arah sosok yang ada pada panggilan video tersebut.
Centhini menceritakan sebaik mungkin pengalaman mereka di Singkawang dan Monterado dengan sesingkat-singkatnya. Ia juga mengatakan bahwa setelah sampai di Singkawang, Centhini berjanji untuk menceritakan lagi semuanya.
Dihyan berpura-pura melongok ke luar jendela, memperhatikan entah apa. Tapi, tetap saja, ia ingin sekali melihat sosok itu. Maka, ia menoleh dengan cepat, tetapi sebisa mungkin berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan.
Pandangannya berserobok dengan Cemelia Green yang ada di layar gawai Centhini.
Jantung Dihyan berpacu liar, walaupun persinggungan itu tak lebih dari satu detik sebelum Dihyan memalingkan wajahnya.
“Eh, salam buat your mom and dad, and Dihyan as well, ya.”
DEG!
Camelia ingat namaku, dan menyebutkannya pula!
Batin Dihyan.
“Siap, bos. Nanti telepon lagi deh ya. Muach … see you soon,” balas Centhini sebelum menutup panggilan video tersebut.
Ah, Cemelia Green, puncak kecantikan yang hakiki. Andai ia bisa bermimpi dengan Camelia seperti ia bermimpi mengenai Stefani, apalagi sampai seperti mimpi mengenai Septiani, mungkin ia akan menolak untuk bangun dari tidurnya.
Gadis Indo-Inggris itu begitu agung dan tinggi, melebihi kecantikan siapapun di muka bumi ini. Berkhayal mengenai Camelia saja Dihyan merasa tak pantas, apalagi sampai memimpikannya. Bisa-bisa di dalam mimpi ia menjadi sosok yang sama, pecundang. Ia bakal memalukan di dalam mimpi, bukan menjadi laki-laki alfa yang mempesona dan penuh kuasa.
“Ngelamun lagi, Yan? Mikir apa sih? Kalau masih penasaran soal budaya Cina, tanya aku boleh kok. Atau kita bahas sama-sama. Jarang-jarang kan adikku tertarik sama hal ginian.” Suara Centhini menyadarkan Dihyan dari lamunannya.
“Eh, Mbak. Tahu soal, apa ya … soal magis atau gaib gitu yang ada hubungannya sama Jawa dan Cina?”
“Lah, makin aneh aja pertanyaannya. Kamu lagi cari informasi apa sih sebenarnya?”
“Pengin tahu aja lah, Mbak. Masak nggak boleh. Tadi katanya mau bantu jawab.”
“Iya, iya. Sini aku coba ceritakan sesuatu. Kamu tahu Gunung Kawi dan legenda pesugihannya, kan?”
Dihyan mengangguk. “Gunung Kawi di Malang itu kan?” ia terlihat bersemangat dengan awal kisah yang akan diceritakan oleh Centhini.
Centhini sendiri tersenyum tipis mengetahui perilaku adiknya tersebut. Ia memulai cerita dengan suara yang direndahkan dan gaya yang sedikit didramatisir.
“Nah, kita tahu kalau Gunung Kawi itu dikenal sebagai tempat orang untuk mendapatkan ilmu pesugihan. Macam-macam cara dan jenisnya, dari sekadar mendapatkan tuyul sampai praktik-praktik pesugihan yang lebih mengerikan. Biasanya pesugihan Gunung Kawi ini meminta korban nyawa dan jiwa dari salah satu anggota keluarga. Tapi, itu biasa di dalam kisah-kisah pesugihan. Yang tidak biasa, selain ada makam Kanjeng Kyai Zakaria II atau dikenal sebagai Eyang Jugo dan Raden Mas Imam Soedjono, yaitu para tokoh bangsawan kerajaan yang menentang Belanda di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, serta candi-candi serta peninggalan petilasan pada masa kerajaan Hindu Kediri, juga ada klenteng atau pesarean yang kerap dikunjungi orang-orang Cina. Bahkan sebenarnya legenda bahwa Gunung Kawi bisa dijadikan tempat untuk mendapatkan kekayaan itu berasal dari orang Tionghoa.”
“Hah? Serius, Mbak?”
“Iya. Seru kan?” ujar Centhini senang Dihyan semakin tertarik dengan ceritanya.
“Dulu, Gunung Kawi meski dikenal sebagai pesarean, atau wilayah pemakanan yang penting bagi sejarah, belum dianggap sebagai tempat keramat yang dapat membantu pesugihan. Setelah seorang laki-laki dari Cina dataran datang ke Gunung Kawi, mulailah cerita itu tersebar.”
“Kok bisa, Mbak?”
Dihyan mendadak mendapatkan semacam pencerahan mengenai hubungan budaya Jawa dan Cina melalui mbaknya tersebut. Kali ini malah dari sisi magis dan gaib, yang memang sedang menjadi ketertarikannya.
“Nah, begini ceritanya,” ujar Centhini dengan tidak mengurangi gaya dramatisnya.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh