Semesta Asmara Pria Pecundang

Semesta Asmara Pria Pecundang

Dihyan Danumaya

Bila ada kontes bagi laki-laki pecundang, Dihyan Danumaya pasti akan ikut serta. Mungkin ia belum tentu menang, tetapi sepuluh besar sudah pasti ada di tangannya. Bayangkan saja, bagaimana bisa kedua orang tuanya memberinya nama yang begitu berat? Dihyan berarti matahari dan Danumaya berarti bersinar. Luar biasa menyilaukan harusnya kehidupannya. Lucunya, nama yang begitu berat saking agungnya ini tidak membuatnya sakit sewaktu masih kecil. Maka, tidak ada upacara atau ritual khusus yang diselenggarakan ayah ibunya sehingga namanya tidak lantas diubah menjadi Tono, atau Budi, atau Deni, atau Adit misalnya.

Jadilah Dihyan membopong nama berat itu di punggungnya sampai sekarang.

Dihyan sudah setahun kuliah di kota ini, sebut saja sebuah kota kepulauan. Tak perlu lah dunia tahu apa nama kota itu, pikir Dihyan. Ia tak mau hidupnya yang sudah mosak masik dan masai seperti rambutnya itu kembali dipermalukan di depan wajah dunia.

Dihyan bertubuh kurus, tapi tinggi menjulang. “Bapakmu makan bambu ya, Yan, waktu kamu masih di dalam perut?” tanya teman sekolahnya dulu.

Dihyan mengedikkan kedua bahunya cuek. “Iya kalik,” jawabnya asal.

Rambutnya acak-acakan. Tukang cukur manapun menyerah menggarap rambut Dihyan. Belahannya tak beraturan. “Aduh, Mas, ini rambutnya ngelawan,” ujar tukang cukur di depan rumah sakit swasta besar di kota itu suatu saat.

“Hah, ngalawan gimana, Pak?” tanya Dihyan bingung.

Sang bapak tukang cukur terkekeh. “Kalau disisir ke kanan, dia lari ke kiri. Kalau disisir ke kiri, dia lari ke kanan. Kalau di belah tengah …”

“Udah, Pak, jangan di belah tengah. Nanti teman-teman mengejek saya. katanya saya sok-sokan mau mirip Jong Kook-nya BTS.”

“Ha? Jongkok?” ujar si bapak pencukur dengan bingung. Hidungnya naik, dan jidatnya berkerut.

“Ah, nggak usah dipikir. Itu artis cowok Korea gitu, Pak. Ya sudah, pokoknya dipotong pendek saja, tapi jangan terlalu pendek, Pak,” ujar Dihyan pasrah.

Padahal, Dihyan bukan tidak punya tampang, malah sebaliknya. Hidungnya mancung, matanya tajam, rahangnya tegas. Sialnya dengan tampang dan perawakan seperti ini, Dihyan sedari kecil sudah menjadi sasaran mutlak perundungan dan ejekan.

“Bule kampung!” atau “Bule tersesat” atau “Bule kere”. Intinya selalu ada kata “bule” menyertai kreatifitas para pengejek.

“Jadi, Bapak ini memang sebenarnya bule ya, Pak?”

“Piye to, maksudmu, Mas?” tanya sang ayah dengan logat Jawa yang kental (Dihyan curiga selama ini ayahnya sengaja menggunakan logat itu untuk menutupi cara bicaranya yang asli).

“Ya itu, Bapak bule to sebenarnya?” ulang Dihyan.

“Kalau Bapakmu bule, Bapak sudah main sinetron atau jadi bintang iklan, Mas.” mendadak sang ibu muncul dari dalam kamar.

“Nah, itu yang aku mau tanyakan ke Bapak dan Ibu. Kalau Bapak bule, kok kita masih kere kayak gini?”

Bapak dan Ibunya tertawa.

“Huss, kamu itu lho. Harus banyak bersyukur. Siapa bilang kita kere?” ujar sang Ibu.

“Lah, ‘kan aku yang bilang tadi.”

Plak**!**

Satu tamparan telah menghajar kepala Dihyan. Tidak keras, tapi lumayan membuat Dihyan tersentak.

“Kamu itu, malah ndagel, ngelucu,” kata Bapak Dihyan. Baliau juga yang menampar kepala anaknya tersebut.

Dihyan mengelus-elus kepalanya yang sebenarnya tak sakit itu.

“Kita sudah hidup berkecukupan. Mungkin tidak berlebihan, tetapi kita juga nggak sampai miskin, nggak mengais-ngais makan di tempat sampah,” ucap Ibu Dihyan. Suaranya lembut.

Dihyan menghela nafas. “Keluarga kita ini lucu lho, Pak, Bu. Coba lihat, ada yang salah nggak sih sama Bapak? Bapak itu tinggi, kulitnya terang, malah cenderung pucat, terus hidungnya mancung, matanya dalam dan tajam, rahang dan dahinya juga tegas. Kalau nggak bule, minimal indo lah.”

“Ya, terus. Kamu juga ‘kan tinggi, mancung juga hidungnya, kulitnya juga putih, sama ‘kan seperti Bapak? Lha, terus opo masalahe, le?”

Dihyan menyerang untuk berbicara dengan Bapak dan Ibunya yang setiap menit cekikikan melihat respon Dihyan yang menunjukkan rasa frustasinya.

Yang ingin ia utarakan sebenarnya, mengapa keluarganya ini bukan orang kaya atau terkenal? Padahal ayahnya terus terang memiliki paras tampan dan khas orang kulit putih. Sang ibu, tidak kalah menawannya. Ada semburat wajah Jawa klasik tetapi berpadu dengan entah Timur Tengah, Persia, atau malah Spanyol dan Italia.

Namun, lihatlah keadaan mereka saat ini. Sang ayah adalah seorang pegawai pemerintahan. Yak, benar, si bapak bule itu adalah seorang PNS atau ASN sekarang istilahnya. Masih sangat aktif dan masih lumayan jauh sampai usia pensiun.

Sang ibu, membuka warung kelontong di rumah. Ibunya sangat cantik. Dihyan sudah bosan mendengar tetangga datang beli rokok atau satu sachet sampo dengan menghabiskan waktu berlama-lama di warung mereka untuk menggoda ibunya. Yah, Dihyan tak bisa menyalahkan betapa cantik sang ibu, sih memang, walau untuk melayani para pembeli, ibunya hanya bermodal daster.

“Mau gimana, wong ibumu pancen ayu kok,” ujar sang bapak suatu saat, mengakui bahwa memang sang ibu sangat cantik nan menarik. Tidak ada kecemburuan disana. Toh, sang ibu juga tidak menunjukkan perilaku ganjen dan genit. Kedua orang tuanya ini sangat harmonis, dan romantis.

Ini yang membuat Dihyan sangat nelangsa.

“Aku nggak punya pacar. Mana ada yang mau sama aku, pecundang gini.”

“Oh … oh … oh …, jadi, selama ini alasan kamu itu merasa tidak bahagia berada di dalam keluarga kita ini karena kamu nggak punya pacar, gitu?” ujar Centhini, sang kakak suatu saat.

Centhini menambahkan keunikan, atau anggap saja keanehan, di dalam keluarga Dihyan. Kakaknya itu adalah anak angkat. Seorang gadis Tionghoa yang semakin dewasa semakin menunjukkan kecantikannya. Sewaktu masih bayi, Centhini diambil dari satu keluarga Tionghoa yang miskin. Saking miskinnya, keluarga Centhini waktu itu dikutuk oleh keluarga besarnya. Dianggap sebagai keluarga yang malas, bodoh, karena tidak mampu bekerja keras seperti kebanyakan keluarga peranakan lainnya di negeri ini.

Centhini diangkat anak awalnya sebagai pancingan bagi ayah dan ibu Dihyan. Hanya dalam beberapa bulan, sang ibu hamil. Syukurnya, tidak ada perbedaan sama sekali pada perlakuan keluarga ini kepada Centhini. Buktinya, Centhini lah yang paling sering mengganggu dan merundung adiknya itu.

“Ya, itu ‘kan berarti tampang bule Bapak dan wajah cantik Ibu nggak ada gunanya, Mbak,” ujar Dihyan.

“Ah, kamu aja yang nggak ada gunanya. Udah syukur punya tinggi dan tampang turunan Bapak Ibu. Eh, kamunya yang nggak becus. Nggak bisa memanfaatkan berkat, nih.”

Centhini menjambak rambut adiknya itu dan memberantakkannya.

“Aduh, sana pergi dari kamarku, Mbak. Ganggu aku aja kerjanya.”

“Gimana mau survive bullying kalau kamu sendiri yang minta dibully. Huu …” sang kakak ngacir pergi dari kamarnya.

Memiliki kakak angkat berbeda ras, apalagi fisik, dan hampir sebaya, merupakan beban yang lebih besar lagi. Centhini sungguh adalah sosok perempuan yang cantik. Rambutnya panjang, lurus dan sehitam jelaga. Sepasang matanya yang sipit itu kerap bersinar ceria. Bibirnya merah terang, kontras dengan kulitnya yang seputih susu.

Dihyan dan Centhini, walaupun berbeda setahun usinya, bersekolah bersama, bahkan sampai kuliah. Bila keduanya berjalan berdampingan, tidak sedikit teman kampus yang menggoda mbaknya itu. Dan, Dihyan merasa tidak ada harganya sama sekali karena tidak dianggap. Tidak ada yang segan dengan Dihyan ketika mereka bersama. Dihyan tidak pernah dianggap saudara Centhini, pun tak seorang pun pernah salah beranggapan bahwa Dihyan berpacaran dengan Centhini.

“Karena aku adalah seorang pecundang,” ujar Dihyan selalu di depan cermin, menatap ke arahnya sendiri.

Terpopuler

Comments

◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Diferyza Firdaus🌺

◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Diferyza Firdaus🌺

novel baru lagi, mantap om🤗

2024-10-16

1

🍁 ოαհҽs 💃🆂🅾🅿🅰🅴❣️

🍁 ოαհҽs 💃🆂🅾🅿🅰🅴❣️

aku orang kepulauan.. kepulauan Riau tepatnya kepulauan Anambas 😅

2024-11-14

0

𝕃α²¹ℓ 𝐒єησяιтα 🏡🇵🇸🇮🇩

𝕃α²¹ℓ 𝐒єησяιтα 🏡🇵🇸🇮🇩

Izin baca pak Nikodemus 👌

2024-10-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!