"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Bertepatan dengan itu, Bang Dio baru sampai rumah dan masuk. Ia melihat kejadian di antara kami.
Aku menggeleng pelan pada Bang Dio. Berharap dia mengerti. Rupanya dia tidak mengerti akan apa yang aku isyaratkan. Bang Dio malah berlalu.
Dani memastikan tidak ada siapapun di ruangan ini kecuali kami berdua. Dia menghampiriku. Kakiku semakin lumpuh. Aku ketakutan setengah mati. Detak jantungku sangat cepat dan kuat, sampai-sampai aku bisa mendengarnya di telingaku sendiri.
"Voordat je iemands vrouw wordt. Ik zal van je lichaam genieten in het bijzijn van je man." Kalimat yang tidak aku mengerti.
Bang Dio datang dan menendang Dani hingga pria itu tersungkur.
Setelah melihat Dani yang agak jauh dariku. Aku benar-benar terduduk di lantai.
"Voordat jij de toekomst van mijn kleine broertje vernietigt, zal ik die van jou vernietigen!" ucap Bang Dio.
Aku mulai mengerti, mereka berbahasa Belanda. Bang Dio sejak kecil sudah tinggal di negara itu. Tentunya dia mengerti akan apa yang Dani ucapkan tadi.
"Bang, udah!" ucapku sebab melihat Bang Dio menghampiri Dani dengan tangan yang mengepal keras.
~Bugh! Bugh! Bugh! Aku tak bisa berkata-kata lagi. Sebab perlakuan Dani kali ini benar-benar sudah kelewatan. Dia menerorku. Jadi, aku biarkan saja dia dipukuli habis-habisan oleh Bang Dio. Setelah Dani tak sadarkan diri. Entah pingsan, entah mati. Bang Dio menyeretnya ke dalam mobil.
Setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Aku melihat ada beberapa bercak darah di lantai dan segera kuhapus dengan keset kaki.
***
Kuceritakan semuanya pada Arzio. Dia langsung menemui bapakku dan membahas bahwa pernikahannya akan dipercepat sebelum tanggal yang aku rencanakan.
Semuanya dilakukan secara mendadak untuk meminimalisir perbuatan Dani yang aneh-aneh.
"Saaahhh!!" Suara gema dari para saksi.
Tak kupercayai, hari ini, tanggal yang tak kuduga, tak kurencanakan, tak kunantikan, malah menjadi tanggal yang paling berharga untukku.
Siang selepas ijab kabul antara bapakku dan Arzio, aku langsung diboyong oleh suami dan keluarganya ke Belanda demi menghindari Dani.
Kami mendiami salah satu rumah yang dulu diwariskan untuk Bang Dio. Sebab dia belum menikah, maka warisan itu diberikan pada Arzio terlebih dahulu.
Aku baru saja selesai menyimpan barang-barang. Arzio datang menghampiriku dan memelukku dengan erat. Kubalas pelukan tersebut.
~Cup! Cup! Cup! Cup! Cup! Dia mengecup bibirku berkali-kali. Dia tampak gemas tapi aku malah merasa lucu melihat ekspresinya yang begitu.
Aku menarik leher Arzio untuk menjadi lebih dekat. Kuciumi dia lebih lama. Sekarang tidak akan ada Bang Dio yang mengganggu. Begitu pikirku.
Arzio tak melepaskan ciumannya, menggiringku ke pintu. Rupanya dia mengunci pintu terlebih dahulu. Padahal di sini kami hanya tinggal berdua. Untuk apa dikunci?
"Ik houd van je," ucapnya.
"Artinya apa?" tanyaku.
"I love you," jawabnya.
Aku tersenyum. "I love you too," balasku.
Arzio kembali menciumiku, kali ini lebih kasar sampai aku terkejut dibuatnya. Aku terbaring di kasur sebab ingin melepaskan ciuman yang kasar itu. Bisa-bisa aku sariawan dibuatnya.
"Kenapa?" tanya Arzio.
"Kok gitu sih? Sakit!" jawabku.
"Aku juga udah sakit ini," balasnya.
"Sakit apaan?! Kamu yang nyium, kok kamu yang sakit," omelku.
Tiba-tiba aku bisa merasakan sesuatu yang menonjol menyentuh pahaku.
"Eh!" pekikku menatap Arzio yang kini tersenyum. "Arzio, aku belum siap! Aku ... aku ... Arzio! Zio! Jio! Jangan!" ucapku kalang kabut.
Dia tak menghiraukanku. Tangannya mulai menyusup dan menggeledah ke segala arah, membuatku merasa geli.
"Aargh! Ha ha ha! Jangaaaan!" teriakku tak tahan merasa dikelitik olehnya.
"Aku boleh ga?" tanyanya memberi isyarat pada gundukan di dadaku.
"Tapi aku kayaknya masih agak ...." Kutarik napas lebih dalam sebab ini pertama kalinya. Merasakan dan melihat tangan Arzio menyentuhku seperti ini. Kukira dia hanya ingin bermain seperti itu. Tapi ....
Tangan Arzio malah memasuki lapisan bajuku.
~Tik! Bunyi pengait itu terlepas.
"Sayang, aku belum siap," ucapku manja.
Arzio terus menciumiku sampai aku tak bisa berkata-kata lagi. Dia menyingkap semua bajuku. Dan kurasakan mulutnya menyentuh pucuk-pucuk kenikmatan.
"Aaghss!" desisku sebab merasa geli.
Napas Arzio menggebu. Aku tak tahu kenapa. Tapi aku bisa mendengar napasnya memburu seperti Dani di waktu itu.
Setiap kali lidahnya menyentuh puncakku. Aku berusaha menjauhkan kepalanya dariku, sebab itu sangat menggelikan. Arzio menghentikan permainannya secara tiba-tiba.
"Kenapa?" tanyaku.
Dia langsung berhambur di tubuhku. Rupanya dia sudah tidak menggunakan apapun.
"Eh, kok—" Arzio tak membiarkan aku bersuara. Dia langsung menciumiku lagi.
Untuk pertama kalinya aku merasakan hal yang luar biasa tak pernah aku bayangkan ada di dunia ini.
"Udah unboxing?" Suara mama yang terdengar hingga ke kamar. Rupanya Arzio sudah bangun sedari tadi. "Ini obat biar ga pegel. Kasih ke Arlita," lanjutnya.