Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Begitu sampai di tempat tujuan, Joano dan Luna langsung masuk ke sebuah gerai es krim. Itu gerai langganan sejak mereka masih kecil. Tidak ada kenangan lain dari tempat itu selain es krim yang enak dan tempat yang nyaman.
Pengunjung gerai yang tidak terlalu ramai, cocok untuk Luna yang tidak suka mengeluarkan banyak energi menghadapi hiruk pikuk manusia. Namun, keinginannya untuk melepas penat seketika hilang begitu melihat Bella datang dari arah yang berlawanan.
Gadis itu memasang wajah semringah saat melihat kedatangan mereka. Tidak, mungkin Bella hanya semangat karena ada teman sebangkunya, Joano.
"Kamu ke sini juga, Jo?" Bella bertanya basa-basi.
Joano membalas Bella dengan senyuman terbaiknya. "Iya Bel. Udah datang dari tadi?"
"Baru banget, baru aja pesan. Oh ya, boleh nggak kalau aku gabung kalian? Aku sendirian soalnya." Tanya Bella penuh harap. Dia juga melirik Luna untuk meminta persetujuan.
Luna tersenyum kaku, mengangguk setuju. "Boleh, Bel. Tambah seru kalau ramai-ramai." Jawabnya berbohong.
"Makasih ya, Luna. By the way, kalian mau duduk di mana? Kalau di sana, gimana?" Bella menunjuk salah satu bangku dekat jendela sebagai tempat rekomendasinya.
"Boleh." Luna mengangguk, langsung mengiakan saran yang Bella berikan. Sebenarnya dia terlalu malas untuk memilih tempat yang lain, karena itu dia langsung menyetujui.
"Kalau gitu gue pesan dulu, ya?" Kata Joano. Setelah mendapat anggukan dari dua orang di hadapannya, dia melenggang ke kasir.
Tak selang berapa lama mereka duduk di tempat itu, es krim yang Bella pesan akhirnya datang. Seorang pelayan meletakkan pesanan gadis itu dengan hati-hati, kemudian undur diri setelah selesai melakukan pekerjaannya.
Sementara itu dari meja kasir, Luna melihat Joano memberi isyarat bahwa dia akan pergi sebentar.
Bella mengulum senyum melihat kedekatan yang terjalin antara keduanya, keinginannya untuk berteman dekat dengan Joano pun semakin kuat.
"Luna." Bella sempat ragu saat akan mengucapkan sesuatu, hingga pada akhirnya dia memberanikan diri.
"Kamu sama Joano beneran cuma teman?"
Luna diam. Haruskah dia menjawab pertanyaan itu? Rasanya dia tahu ke mana arah pembicaraan itu akan dimulai.
"Luna kamu nggak papa?" Bella bertanya begitu melihat Luna larut dalam pikirannya.
Luna tersentak. "Sorry, Bella. Gue malah kepikiran hal lain. Tadi gimana?"
Bella tersenyum lalu kembali mengulang pertanyaannya. "Kamu sama Joano beneran cuma teman?"
"Iyalah, cuma teman. Kenapa emangnya? Kok lo tiba-tiba nanya gitu?"
"Soalnya kalian kelihatan akrab banget."
Luna tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Bella.
"Iya, itu karena kita berteman sejak kecil, tetanggaan lagi."
Bella menganggukkan kepalanya. "Luna." Dia tiba-tiba memasang wajah serius.
"Iya." Luna menatap Bella dalam-dalam. Entah mengapa perasaan gadis itu tiba-tiba gelisah, seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
"Mau nggak kamu bantu aku biar bisa lebih dekat sama Joano?"
Tenggorokan Luna mendadak kering, bahkan saat menelan ludah saja dia merasa kesakitan. Perkataan Bella seperti bom waktu baginya.
"Sebenarnya aku udah suka sama Joano sejak hari pertama sekolah. Tapi karena aku nggak tahu gimana caranya bisa dekat sama dia, jadi aku mau minta tolong sama kamu.”
Melihat gelagatnya, Luna tahu kalau Bella menyukai Joano. Tapi dia tidak mengira kalau gadis itu akan meminta bantuannya secara langsung.
Padahal saat mereka makan bersama di warung dekat sekolah, Luna sudah meyakinkan dirinya bahwa dia akan baik-baik saja jika Bella menyukai sahabatnya itu, bahkan mendukungnya. Tapi perasaan aneh tiba-tiba menyergap Luna saat Bella berkata demikian.
Joano bukan barang yang bisa dia tahan saat seseorang berusaha untuk memilikinya, bukan juga barang yang bisa direbut saat dia tidak rela. Joano punya hak atas perasaannya, punya hak atas dirinya, tapi mengapa Luna tidak rela? apa yang membuatnya merasa keberatan?
Apakah karena saat ini dia butuh sandaran makanya dia tidak rela? Lalu mengapa saat itu dia baik-baik saja saat Bella menunjukkan ketertarikannya pada Joano? Apa karena saat itu ada Daniel dan Bianca makanya dia baik-baik saja saat temannya diperhatikan oleh orang lain? Lantas jika saja Daniel dan Bianca tiba-tiba muncul di hadapan mereka, apakah Luna akan tetap baik-baik saja? Rasanya tidak, Luna tetap tidak rela. Dia tetap keberatan.
Apa mungkin karena saat itu perasaannya sedang gembira makanya dia tidak keberatan? Apa karena saat ini dia sedang tidak baik-baik saja makanya dia merasa terluka? Sungguh karena itu?
"Gimana, Lun? Mau nggak?"
Kalau Luna menjawab tidak mau, apa Bella akan berhenti menyukai Joano? Tidak, kan? Yang ada dirinya hanya akan dipandang egois dan tidak berperasaan. Masa iya, dia tidak ingin melihat sahabatnya bahagia. Meski sebenarnya tidak rela, Luna harus pura-pura bahwa dia baik-baik saja. Meski hatinya ganjal sampai rasanya ingin menangis, tapi dia harus tersenyum di hadapan Bella. Dia tidak ingin dipandang kasihan hanya karena perasaannya yang tidak pasti. "Iya, Bel. Gue bakal bantu sebisanya."
Bella menghela napas lega, tersenyum lebar. Dia berterima kasih pada Luna.
Selain pintar dan mudah bergaul, Joano memang mempunyai wajah rupawan. Jadi tak mengherankan kalau banyak perempuan mencoba mendekatinya, termasuk Bella. Gadis itu bahkan langsung jatuh hati di hari pertama masuk sekolah. Jadi Luna memaklumi itu.
"Sorry ya, agak lama. Toiletnya tadi lagi dibersihin." Joano datang dan langsung menarik kursi di samping Luna.
"Nggak lama-lama banget kok, kopi yang kamu pesan juga belum datang." Kata Bella yang sepanjang ucapannya selalu diiringi senyuman manis.
"Syukur deh kalau begitu. Oh ya, lo sering ke sini sendiri, Bel?" Joano membuka obrolan.
"Nggak sering juga, sih, kadang-kadang. Enak tahu pergi ke sini sendiri." Bella tampak antusias saat Joano bertanya mengenai dirinya. Pertanyaan basa-basi memang, tapi bukankah berawal dari pertanyaan seperti itu hubungan seseorang bisa menjadi lebih dekat? Ya, itu baru permulaan.
Dalam beberapa hal Luna merasa iri pada Bella. Bukan hanya cantik secara fisik tapi gadis itu juga pintar membawa diri, makanya tidak heran kalau banyak orang jatuh hati pada pesonanya. Apalagi tutur katanya yang lembut dan halus, membuat siapa saja betah berlama-lama bersamanya.
Sekarang Luna mengerti mengapa Bella dijadikan primadona baru di sekolah. Bukan, bukan hanya karena cantik secara fisiknya, tapi juga karena pembawaannya. Luna memang belum mengenal baik kepribadian Bella, tapi selama dia duduk di meja yang sama dengan gadis itu, Luna tahu kalau Bella adalah orang yang menyenangkan. Dia seperti magnet yang bisa menarik perhatian orang di sekelilingnya.
Hampir tiga puluh menit telah berlalu, es krim yang mereka pesan juga sudah tak bersisa, namun topik pembicaraan Joano dan Bella tak kunjung ada habisnya. Mereka asyik mengobrol ini dan itu, membicarakan masa sekolah Bella sebelum pindah sampai mengenai cinta pertama gadis itu.
Joano menyimak dan memberi respons sesuai apa yang Bella inginkan. Saking asyiknya, mereka bahkan tidak sadar telah melupakan keberadaan Luna.
Terkadang Luna merasa kesal dengan dirinya sendiri yang tidak bisa luwes bersosialisasi dengan orang lain. Dia hanya bisa berbicara banyak di hadapan orang-orang yang sudah lama mengenalnya, namun akan menjadi pendiam jika berhadapan dengan orang baru atau yang tidak sejalan dengannya.
Tapi siapa yang peduli dengan kepribadiannya? Dalam pergaulan, orang akan menuntut respons terbaik yang bisa diberikan. Orang lain tidak akan peduli energinya habis atau tidak, jika terus-terusan tenggelam dalam diam maka dia akan dilupakan, hal itu seolah sudah menjadi hukum alam yang tidak bisa ditawar. Dan Luna terjebak dalam masalah ini.