Alaish Karenina, wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu belum juga menikah dan tidak pernah terlihat dekat dengan seorang laki-laki. Kabar beredar jika wanita yang akrab dipanggil Ala itu tidak menyukai laki-laki tapi perempuan.
Ala menepis semua kabar miring itu, membiarkannya berlalu begitu saja tanpa perlu klarifikasi. Bukan tanpa alasan Ala tidak membuka hatinya kepada siapapun.
Ada sesuatu yang membuat Ala sulit menjalin hubungan asmara kembali. Hatinya sudah mati, sampai lupa rasanya jatuh cinta.
Cinta pertama yang membuat Ala hancur berantakan. Namun, tetap berharap hadirnya kembali. Sosok Briliand Lie lah yang telah mengunci hati Ala hingga sulit terbuka oleh orang baru.
Akankah Alaish bisa bertemu kembali dengan Briliand Lie?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfian Syafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Menunggumu
"Apakah Alaku ini sedang galau?" tanya Laras.
Sejak tadi Laras perhatikan Ala banyak diam, bahkan tidak merespon siapapun yang mengajaknya bercanda. Aura cueknya mulai muncul lagi. Mungkin khodam macam putih sedang merasuki Ala, senggol dikit langsung bacok. Jadi nggak ada yang berani mengusik dirinya. Bahkan supervisor line pun tidak berani bertanya apapun. Ada permakan ambil, udah jadi balikin. Target dapat, hati senang tapi galau karena QC nya diam aja nggak seperti biasa.
Saat istirahat waktu yang tepat buat nanya, tapi rupanya Ala memilih menyendiri. Makan pop mie sama kopi buatan sendiri. Selesai makan, Ala tiduran di pinggir gedung, beralas karton rusak yang memang biasa digunakan untuk alas tidur karyawan lain.
Ala menatap bintang di langit yang menyinari malam. Sinarnya memberi kebahagiaan dan kehangatan dihati Ala. Tiba-tiba kenangan itu muncul dengan sendirinya tanpa Ala inginkan dan pikirkan.
"Lihat bintang yang ada di dekat bulan itu," ucap Brian menunjuk ke arah langit. Dimana bulan sabit terlihat ditemani satu bintang disampingnya.
"Bintang itu adalah aku dan kamu bulannya. Jika langit hanya ada bintang tanpa bulan, maka terasa ada yang kurang. Jika aku tanpa kamu rasanya hidup aku hampa. Kamu selalu menerangi hidupku layaknya bulan menyinari malam dan membuat bintang itu terlihat bersinar terang. Mereka saling memberikan cahaya sehingga langit nampak begitu indah," kata Brian. Tatapan masih ke arah langit.
Mereka sedang duduk berduaan dikebun belakang rumah Brian. Malam ini mereka habiskan dengan bercerita apa saja. Meski malam minggu, mereka nggak kemana-mana. Cukup bertemu dan cerita apapun itu sudah membuat Brian dan Ala bahagia.
"Jangan pernah pergi dari hidupku ya, karena kamu yang membuat hidupku lebih bersinar." Brian mengusap lembut wajah Ala.
Gadis yang selalu terlihat dingin itu pun tersenyum. Hanya Brian yang bisa melihat senyuman Ala. Dia tidak akan pernah tersenyum kepada orang lain.
"Bisakah aku bertahan? Jika kamu mengulangi kesalahan kembali?" tanya Ala.
Memaafkan Brian yang telah mendua sudah Ala lakukan, bertahan meski rasa sakit itu ada tapi kalah dengan rasa sayang dan cinta Ala kepada Brian. Nyatanya ikhlas itu tidak semudah yang dibayangkan. Luka itu tetap ada, tapi untuk pergi Ala tidak bisa dan memilih bertahan. Yakin pada kata hatinya bahwa hubungan ini akan baik-baik saja kedepannya.
Ala terjebak pada masa lalu yang begitu indah, sampai lupa caranya mencintai seseorang. Lupa apa itu bahagia dan bagaimana caranya tersenyum dengan tulus. Selalu tersenyum tipis hingga orang tidak tahu jika senyum Ala yang sebenarnya sangatlah manis.
Kesadaran Ala kembali ketika mendengar suara Laras yang bertanya kepadanya.
Ala menoleh, menatap Laras yang sudah duduk di sampingnya entah sejak kapan. Lalu kembali menatap langit. Siapa sangka itu adalah cara Ala menyembunyikan air mata yang hendak menetes. Hati Ala sakit untuk yang ketiga kalinya, melihat status Brian yang sebentar lagi akan menikah. Rasanya ... Dunia Ala berhenti berputar sejak saat itu.
"Kata siapa gue galau?" jawab Ala.
"Dari tadi lo diem aja, La. Nggak ada sepatah katapun dan senyum tipis itu tidak terlihat. Ada apa? Kalau ada masalah cerita kek, gue kenal lo itu bukan sebulan dua bulan ya, udah lama banget kita kenal dan bareng-bareng!" protes Laras.
Rasanya Laras ini seperti tidak dianggap sahabat sama Ala. Kalau ada apa-apa nggak pernah mau cerita. Selalu dipendam sendiri. Laras nggak sekali ini aja lihat Ala begini, awalnya Laras memaklumi mungkin sedang ada tamu bulanan. Makin kesini Laras berpikir jika Ala sedang ada masalah entah dengan siapa. Ala selalu memilih diam tanpa bercerita. Padahal ada tempat bercerita dan berkeluh kesah yaitu Laras.
Hanya saja Ala tidak pernah mau terbuka. Semua hal tentang Ala pun, Laras hanya mengetahuinya sedikit saja. Tentang keluarga, soal masa lalu Ala dan hal apa yang Ala hadapi juga Laras nggak tahu.
Ala hanya menghela napas panjang, tidak menanggapi ucapan Laras. Membuat sahabatnya itu geram.
"Gue udah memaklumi lo, La. Kalau mungkin lo belum mau cerita apapun sama gue karena baru kenal beberapa bulan. Setahun, dua tahun, berlalu gue pikir lo bakal curhat apapun tentang lo, tapi sampai persahabatan ini terjalin lama ... Lo masih tertutup, La. Seenggaknya gue pengen bisa jadi tempat lo bersandar ketika beban dipundak lo banyak. Lo selalu ada buat gue, jadi gue juga mau kalau gue juga selalu ada buat Lo," ucap Laras.
Selama ini dia memendam unek-unek itu, pada akhirnya keluar juga karena Ala selalu saja menyimpan semua masalahnya sendiri. Entah supaya orang lain nggak tahu atau karena nggak mau ngerepotin siapapun. Padahal kalau Laras ada apa-apa selalu curhat sama Ala dan gadis itu selalu membantunya. Sementara ... Ala tidak pernah curhat apapun atau minta tolong sama dia.
"Maaf, Ras ... Gue cuma bingung aja ceritanya. Sementara gue juga nggak tahu apa yang sedang gue rasain," kata Ala.
Kisah hidupnya terlalu rumit untuk diceritakan. Jadi Ala lebih baik diam dan menyimpan semua masalahnya sendiri. Sejak dulu memang Ala sudah terbiasa menyimpan semua masalahnya sendiri. Tidak ada yang mendengar semua keluh kesahnya, seolah Ala ini nggak boleh mengeluh, nggak boleh cerita apapun tentang apa yang dia alami.
Saat duduk di kelas lima sekolah dasar dulu, Ala mulai bercerita tentang apa saja yang dialami di sekolah. Namun, ibunya tidak menanggapi. Malah menyuruhnya membantu pekerjaan rumah atau beli sesuatu di warung. Ala punya satu kakak perempuan tapi sibuk dengan dunianya. Bapak Ala juga sibuk bekerja dan pulang malam. Jadi .... Tidak ada tempat untuk Ala bercerita.
Ibu yang di rumah sibuk dengan pekerjaan rumah dan menjahit pakaian. Nggak banyak pesanan tapi selalu ada sih. Jadi waktu untuk Ala nyaris tidak ada. Gadis itu tumbuh tanpa perhatian keluarganya.
"Cerita aja apa yang pengen lo ceritain, La. Biar gue juga tahu semua tentang lo. Kehidupan lo atau kisah cinta lo supaya gue bisa hati-hati lagi dalam bertindak." Laras nggak mau lagi jodohin Ala kayak kemarin. Sudah kapok karena anaknya ngambek.
"Makasih ya, tapi nanti aja gue mau ke kamar mandi dulu. Kebelet!" Ala langsung berlari menuju kamar mandi. Ingin buang air kecil.
Selain mau buang air kecil, dia juga menghindari Laras yang terus bertanya-tanya. Bukan nggak mau cerita, ucapan Laras memang benar. Kalau dia selalu menyimpan semua masalahnya, Laras nggak tahu apa yang terjadi. Sementara Laras selalu terbuka sama Ala.
Usai buang air kecil, Ala menuju wastafel untuk cuci muka biar seger. Disaku seragamnya ada sabun cuci muka yang memang tadi sudah Ala bawa waktu istirahat. Jika yang lain setelah makan bisa tidur, Ala memilih nggak tidur daripada pusing. Istirahat ketika shift malam memang agak lama. Satu jam setengah supaya bisa tidur sejenak.
"La, lo beneran jadian sama Agung?" tanya Rina, QC Hd di linenya.
"Nggak, kata siapa emang?" Ala balik tanya. Tahu kalau Rina ini suka sama Agung. Sayangnya Agung suka sama Ala.
Meski begitu Rina nggak memusuhi Ala kayak yang lain. Ada beberapa yang nggak suka sama Ala karena deket sama Agung. Padahal ya Agung yang deket-deket. Ala nya aja cuek karena dihati Ala hanya ada Briliand Lie.
"Tadi lo diboncengin Agung, satu pabrik aja heboh! Lo nggak nyadar apa?" ucap Rina. Dia membuka jilbab lalu mencuci wajahnya dengan sabun milik Ala.
Sudah biasa kalau minta nggak bilang. Memang Ala beli khusus untuk dipabrik buat bareng-bareng. Rina mengeringkan wajahnya dengan tissue. Lalu mengoleskan make up supaya lebih segar.
Ala nggak pakai apa-apa. Nggak suka pakai make up, tapi cuma pakai cream bibir aja biar nggak pecah-pecah bibirnya kadang juga pakai pelembab wajah itu kalau mau berangkat kerja aja. Kalau sudah berkeringat ya udah biarin aja paling cuci muka doang.
"Ah biarin aja, lagian gue nggak ada apa-apa sama Agung," kata Ala. Dia sudah selesai olesin bibir pakai cream biar seger.
Lalu mengusap perlahan pakai tissue biar nggak terlihat banget. Ala memperhatikan Rina yang sedang pakai bedak. Sudah pakai entah apa itu lalu bedak terakhir lipstik. Ribet banget lihatnya.
"Galau berjamaah, La. Mana so sweet banget! Agung dari tadi juga kelihatan bahagia," ledek Rina.
"Bodo amat! Gue mau balik ke line," pamit Ala.
Rina terkekeh, lalu membenarkan jilbabnya kembali sebelum keluar dari kamar mandi. Sudah oke, dia pun menghampiri Ala buat balikin sabun.
Ala rebahan dibawah meja, sambil membuka gawainya. Kali ini dia nggak kepoin akun Brian tapi membaca kembali tulisannya sebelum diposting pada aplikasi novel online. Takut ada kata yang kurang pas atau typo.
Menulis adalah cara Alaish agar terlihat baik-baik saja, juga dengan menulis itu Ala bisa mencurahkan isi hatinya tanpa harus bercerita kepada siapapun.
Rasa kecewanya teramat besar, tidak pernah didengar dan juga tidak diberi dukungan. Ala tetap bertahan dan berusaha untuk menggapai apa yang dia inginkan. Hanya Brian, laki-laki yang selalu membuat Ala menjadi diri sendiri dan merasa bebas dari segala aturan yang selama ini mengikat dirinya.
Bersambung
Hay, terima kasih ya sudah berkenan membaca karya Ala ini. Jangan lupa like, komen dan subscribe yaa untuk mendukung othor semangat menulisnya.
semangat kakak,
udu mmpir....
btw...ni pnglman pribadi y????
🤭🤭🤭