Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Beberapa hari kemudian, tepatnya hari Rabu, yang berarti jam keduanya adalah pelajaran bahasa Inggris—pelajaran yang sangat dibenci Alana. Ia duduk di meja dengan malas, mengurut pelipisnya yang terasa pening, sambil menatap kosong ke arah buku tulisnya.
Suasana kelas tampak ramai, teman-teman sekelasnya berisik membicarakan berbagai hal tentang bahasa Inggris.
"Hanin, yang ini gimana bacanya 'acquaintance'...?" tanya salah satu dari mereka, terdengar kebingungan.
"Kalau bagian ini?" timpal yang lain, frustasi dengan latihan soal yang tak kunjung usai.
"Ini sangat susah, huhu..." keluh mereka serentak, mengabaikan keberadaan Alana yang hanya bisa mendengus pelan.
Teman-teman sekelasku tiba-tiba mulai bersiap-siap untuk kelas bahasa Inggris. Belajar di jam istirahat? Kenapa mereka begitu bersemangat? gumam Alana dalam hati. Ia merasa tidak mengerti dengan semua antusiasme itu, sementara dia hanya melakukan hal seperti biasa.
Ceklek…!
“Aah… dia datang!!” bisik para siswi, matanya menyala penuh semangat saat Zidan memasuki kelas.
“Pagi, anak-anak!” seru Zidan, senyum lebar menghiasi wajahnya.
“PAGI JUGA PAAK!!!” teriak para siswa dengan semangat.
Iya…” sahut Zidan, merasa konyol dengan sambutan meriah tersebut. Dia tertegun sejenak, lalu menyunggingkan senyuman.
“Wah, kalian semangat sekali ya? Ngomong-ngomong, ada satu hal yang dititipkan Bu Lina sebelum cuti,” lanjut Zidan sambil mengeluarkan beberapa lembar kertas HVS dari tasnya. Kertas-kertas itu berisi tulisan kecil yang padat.
Suasana kelas seketika berubah. Para siswi bergidik ngeri, saling pandang dengan ekspresi cemas.
“Jangan-jangan…” desis salah satu dari mereka, matanya membesar seolah tidak percaya dengan firasat buruk yang mulai muncul.
“Hei, perasaan ku mulai nggak enak nih…” keluh yang lain, dengan raut khawatir.
Zidan menyaksikan reaksi panik mereka dan tidak bisa menahan senyumnya. Dia menikmati momen tegang itu, seolah menjadi sutradara dari sebuah drama.
Ia mengamati seluruh siswa di ruangan untuk menambah ketegangan lalu berkata “Ulangan!” ia tersenyum menyeringai.
"Aaah~ paaak!" Keluh siswa bersamaan.
Sementara Alana tampak melamun jiwanya seolah melayang jauh meninggalkan raganya yang terpaku di bangku. Shock yang di alaminya membuat suara di sekitarnya meredup.
"Hei sadarlah..." Ucap Zayn yang memperhatikan Alana yang tampak kosong.
Zidan mulai membagikan lembaran kertas ulangan kepada setiap siswa di kelas 11. Suasana hening saat semua siswa menerima kertas itu, mengamati pertanyaan-pertanyaan yang tertera di sana.
Alana meraih kertasnya dengan tangan gemetar, merasakan kepalanya yang semakin berat. Ia mulai membaca, “Apa maksud dari pertanyaan ini?” keluhnya dalam hati. Membacanya saja sudah terasa sulit, apalagi menjawabnya.
“Hei, Za…” bisik Alana, tetapi Zayn tampak terlalu terfokus jadi tak mendengar.
“Zayn…” panggil Alana lirih, kali ini lebih keras, berharap suaranya bisa menembus konsentrasi Zayn.
Akhirnya, Zayn menoleh ke arahnya, alisnya berkerut menanyakan maksud dari panggilan alana.
Alana segera mengisyaratkan dengan menunjuk empat jari yang menutupi mulutnya, sambil menggerakkan bibirnya. " Nomor empat?!” ia melirik zayn dan Zidan secara bergantian dengan gugup.
“Jangan mencontek!” seru Zidan dari depan kelas.
Alana segera menunduk, berpura-pura menulis dengan wajah yang sudah memerah. Ah, dia pasti melihatnya...? Gimana ini? Dia jadi tahu kalau aku tidak bisa bahasa Inggris...aku malu banget. Gumamnya dalam hati dengan rasa cemas dan panik yang mulai menyergap.
Setelah selesai mengerjakan ulangan, masih ada waktu tersisa. Zidan memanfaatkan waktu tersebut untuk melakukan reading practice—latihan membaca teks bahasa Inggris—agar bisa meningkatkan kemampuan membaca, pemahaman, dan keterampilan bahasa Inggris secara keseluruhan.
"Baiklah, berhubung hari ini tanggal 7, jadi absen nomor 7, baca paragraf selanjutnya," kata Zidan.
Hanin sebagai siswa dengan nomor absen 7 segera bangkit dari tempat duduk dan mulai membaca, “Thank you for noting that he refused to put on a suit we made the offer for.”
"Wah..." teriak teman-teman sekelas dengan kagum.
“Hanin, kamu pernah tinggal di luar negeri ya? Bacaanmu bagus!” seru Zidan.
“Gila, kamu sampai dibilang begitu sama Pak Zidan, wah!” puji teman yang lain.
“wah, aku juga mau, di puji...” batin Alana dengan rasa iri. Seketika, dia merasa kemampuan bahasa Inggrisnya tertinggal dan itu membuatnya malu.
Zidan tertawa mendengar bacaan siswanya yang terdengar sedikit lucu. Hal itu tentu saja tidak luput dari perhatian Alana.
Ternyata dia tersenyum seperti itu pada semua orang ya, pikirnya.
Zidan membawa hasil ulangan setelah pelajaran selesai, berencana memeriksanya saat di rumah.
sore harinya, Zidan sudah siap dengan secangkir kopi hangat dan setumpuk kertas ujian siswa di hadapannya. Ia mengenakan kacamata bulat yang selalu dipakainya ketika membaca atau bekerja. Kacamata itu membantunya lebih fokus saat membaca.
"Kelas satu, hasilnya bagus-bagus, ya?" gumam Zidan sambil memeriksa kertas ujian di depannya. Ia menyesap kopi hangatnya dengan nyaman, merasa optimis. "Sekarang, coba lihat kelas dua," ucapnya, berpindah perhatian ke tumpukan kertas ujian yang lain.
Namun, belum sempat ia menikmati kopi itu, tiba-tiba... byur! Zidan menyemburkan kopi yang baru saja ia teguk.
Seketika, ingatannya melayang kepada ucapan Bu Lina.
Pak Zidan, kira-kira ada dua murid di kelas 11 yang akan membuat jantung bapak kaget. Siapkan hati bapak dan lakukan dengan sungguh-sungguh, ya~
Saat itu ia tak mengerti maksud Bu lina, namun ia langsung faham saat memeriksa hasil ujian Alana dan Airin, yang sama-sama mendapat nilai 20.
"Haa... jantungku! Wah, ini... Aku sudah lalai..." ucapnya.
Zidan mengelus dadanya, mencoba menenangkan diri. "Mereka berdua memang lawan yang kuat, ya... Tapi mereka sudah menulis dengan sungguh-sungguh..." gumamnya, menyadari bahwa meskipun nilai mereka rendah, usaha yang telah mereka lakukan patut dihargai.
Adegan beralih ke Alana, yang menaiki tangga menuju atap rumahnya, berencana untuk melihat renjana yang indah sebagai cara untuk mengusir rasa penat di pikirannya.
Setibanya di atap, ia disambut oleh panorama langit yang berubah warna, oranye dan merah yang sangat cantik. Namun, keindahan itu kontras dengan ekspresi Alana yang muram dan frustrasi.
Dengan lembut, ia merebahkan tubuhnya di atas meja kayu yang ada di atap, menatap langit senja yang perlahan menggelap. Pikiran-pikirannya melayang, mengingat semua kesulitan yang dihadapinya, terutama dalam pelajaran bahasa Inggris.
“Haaah…” keluh Alana, memejamkan mata untuk sejenak merasakan ketenangan.
Tiba-tiba, bayangan seseorang menutupi wajah Alana. “Asyik ya kamu,” suara itu membuatnya terkejut.
Alana langsung membuka matanya. “Om… eh, Pak Zidan?!” teriaknya, kebingungan dan kaget bercampur. Ia segera bangkit dari posisinya.
“Ngagetin ya, La,” kata Zidan sambil tersenyum. “Kamu lagi mikirin apa sih? Serius banget.”
“Apa mungkin… bahasa Inggris?” tebaknya, dengan nada bercanda. Zidan lalu duduk di sebelah Alana.
“Hemm... Kok dia bisa tahu…?” Alana tampak merenung, berpikir. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada dan memiringkan kepalanya.
“Sebentar…” Kepala Alana menegak. Ia mulai menyadari sesuatu yang membuatnya gelisah dan segera menurunkan tangannya yang mulai melemas.
Ekspresinya seketika berubah panik. Ia menoleh, membelalak ke arah Zidan. “Apa Bapak habis memeriksa hasil ulangan bahasa Inggris-ku?!” pekiknya.
“Hahaha…” Zidan tertawa renyah, membuat Alana semakin cemas.
“Serius, Pak?” tanya Alana lirih, wajahnya memerah. Ia segera menutup mukanya dengan kedua telapak tangan, tetapi masih mengintip Zidan dengan gugup dari sela-sela jarinya yang ia regangkan.
Zidan tersenyum. “Gak apa-apa,” ucapnya mencoba menenangkan Alana.
“Duh! Seharusnya aku nggak boleh begini,” keluh Lana. “Rasanya aku pengen sembunyi…” Ia semakin menunduk dan menyembunyikan wajahnya di antara rambut panjangnya, sementara tangannya masih menutupi mukanya.
Akhirnya, Alana mengangkat wajahnya. “Aku nggak tahu boleh nanya ini apa nggak,” ujarnya sambil membuka sedikit tangannya dan menoleh ke Zidan. “Apa nilai ku… di atas 20?” Matanya mulai berkaca-kaca, menatap Zidan penuh harap. Bibirnya sudah mengerucut, melengkung ke bawah, menunjukkan betapa cemasnya dia menanti jawaban.
Bukannya menjawab, Zidan malah terbahak. "Hahaha!"
"Kok Bapak malah ketawa sih?! Nilaiku segitu jeleknya ya?" Alana menggigit bibirnya dan menunduk.
Zidan tersenyum hangat sambil mengelus pucuk kepala Alana dengan lembut. "Memangnya kenapa kalau tidak di atas itu Kalau belajar pasti bisa. Nanti Bapak bantu,” ujarnya, terkekeh sambil tangannya masih mengelus kepala Alana.
“Jadi... tatap kedua mataku dan coba berkonsentrasi,” kata Zidan.
Alana mendongak, menatap Zidan yang semakin intens menatapnya. Perlahan, ia mulai menghitung dalam hati setiap detiknya.
Satu...
Dua...
Ti...
Alana langsung menunduk, mengalihkan pandangannya ke tanah. "Tiga detik... aku hampir menatap matanya selama tiga detik," batinnya, merasakan suara debaran jantungnya yang makin kencang. "Suara jantungku pasti terdengar…"
Tiba-tiba, dering ponsel Zidan berbunyi, memecah keheningan yang canggung.
“Halo...?” jawab Zidan. Ia terdiam sejenak. “Kamu ada di depan rumahku?” lanjutnya. Ia segera berdiri dan melangkah mendekati pagar pembatas di atap, lalu melihat ke bawah. “Tunggu ya, aku akan ke sana,” ucapnya sebelum mengakhiri telepon.
Zidan segera berlari menuruni tangga, tanpa sadar meninggalkan ponselnya di atap. Alana melirik ke arah ponsel yang masih menyala, dan melihat nama penelponnya: Zahra.
Alana melirik ke bawah, ke arah Zidan dan Zahra yang baru saja bertemu. Zahra terlihat dewasa dan cantik, dengan rambut pendek yang stylish. Apa Pak Zidan suka tipe yang kayak gitu, ya? batin Alana, sedikit merasa tidak percaya diri saat mengamati rambut panjangnya yang bergelombang dengan gaya yang monoton.
Melihat mereka tertawa bersama, Lana merasakan ada gelenyar aneh yang menjalar di hati, membuatnya merasa sedikit tak nyaman dan gelisah.
Nama Zahra disimpan di HP... dan dia bisa bertemu kapanpun saat menelepon… Kira-kira hubungan mereka seperti apa ya…?
Lana menarik nafas dalam. Terkadang ada saatnya merasa kesal karena tidak tahu apa-apa.
Kemudian kata-kata Zidan saat dirinya menangkap serangga beberapa hari yang lalu, terbersit di kepalanya.
Tanggal 15 Mei adalah hari ulang tahun orang yang berharga.