Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - Larangan Cinta
"Pagi, Mbak?"
"Pagi, Mas Andre."
Hari ini aku izin pada Pak Bima untuk menemui kepala janitor. Hendak mengutarakan niatku untuk mundur dari pekerjaan. Dan pagi ini, seperti biasa, Mas Andrean menyambutku di lorong kelas.
"Kenapa, ya? Baru kemarin masuk kerja, besoknya tidak masuk lagi." Katanya.
Aku cuma memutar bola mata. Ini pasti dampak pertemuan kemarin lusa yang penuh drama. Aku tak punya pilihan lain selain mengiyakan ucapannya. Tapi, ini tidak berarti aku menerima jika serta merta orang lain bilang aku tak setia pada pekerjaan. Bagaimanapun, ada banyak hal yang harus kupertimbangkan.
"Anak asuh saya sakit, Mas. Jadi, saya harus jaga dia."
"Anaknya Profesor Bima?"
Kujawab pertanyaan Mas Andrean dengan satu anggukkan.
"Kalau cuma anak asuh, kok bisa sampai sejauh itu panggil kamu 'Mama'."
"Agak aneh ya, Mas?"
"Sangat aneh," tutur Mas Andrean.
Pendapat Mas Andrean bisa diterima. Mengingat, aku hanyalah pengasuh rendahan. Dan mungkin kebanyakan dari orang lain berfikir bahwa aku lah yang mengajari Lily, semacam curi-curi kesempatan begitu. Tapi, ya sudahlah aku tak harus perdulikan masalah begitu.
"Saya tidak ambil-ambil kesempatan kok, Mas." Kubuka pintu dapur, dan Mas Andrean masih mengikutiku dari belakang. "Saya paham sekali posisi saya sebagai apa di rumahnya Pak Bima."
Dia malah tertawa, membuatku makin tidak enak saja.
"Jangan salah paham dulu, Mbak. Aku tidak bilang kalau Mbak ambil kesempatan, tapi yang aneh itu Pak Bima!"
Untuk menghindari rasa bingung, aku bertanya lagi; "Maksudnya bagaimana, Mas."
"Bagaimana ya Mbak. Pak Bima itu single parents, dia juga orang kaya, kalau memang butuh pengasuh seharusnya kan bisa cari pengasuh dari yayasan. Kenapa harus pilih Mbak Julia yang kerja di sini? Tempat yang sama dengan tempat dia kerja?"
"Dia pasti punya maksud lain, Mbak." Lanjutnya, dan dia terkekeh sambil menggaruk kepala.
Lalu bagaimana denganku, bila Pak Bima sendiri dipandang serendah itu oleh mahasiswanya sendiri? Orang dengan wibawa dan kehormatan seperti Pak Bima dianggap selayaknya lelaki tua yang cabvl.
"Mas, jangan ngomong kejauhan." Ujarku dengan mata melotot. "Pak Bima bukan orang yang seperti itu, lagi pula Mas tidak tahu ceritanya bagaimana sampai saya kerja sama Pak Bima dan anaknya panggil saya 'Mama'. Jangan bikin persepsi yang tidak jelas, Mas. Nanti didengar orang lain, kasihan Pak Bima."
"Oh, oke-oke. Jangan marah ya, Mbak. Aku tidak bermaksud menjelek-jelekkan Pak Bima. Sungguh!"
Aku mendengus dan mulai menyusun peralatan bersih-bersih.
Biasanya kami saling mengerti dan saling menghargai. Mungkin karena aku terlalu tenggelam dalam perasaanku, atau karena dia terlalu baik memikirkan jikalau ada orang berniat tak baik padaku. Kami membisu. Mas Andrean menaikkan bingkisan miliknya ke atas meja, sementara aku memandang korek api Pak Bima yang sengaja kusita semalam.
"Pak Bima, kamu ternyata tidak baik-baik saja seperti yang sering kamu tunjukkan." Aku menggumam.
Hanya saja, kenapa aku sejauh itu berani menyita barang miliknya? Astaga. Karena korek api itu, aku jadi teringat lagi pada kejadian semalam. Saat dia bersandar di bahu ku, lalu aku memarahinya;
"Pak Bima memang perokok?"
"Dulu, tapi sejak adopsi Lily dan dia sering ada penyakit sesak napas, aku berhenti."
"Terus kenapa sekarang merokok lagi?"
"Mulutku masam."
"Alasan," sergahku. "Sini, berikan!"
"Apa?"
"Rokok dan pemantiknya. Berikan padaku."
Dan lucunya, dengan wajah lugu Pak Bima menuruti perintahku. Dia yang tadinya kutakuti, majikan yang seharusnya lebih berani membentakku. Malah tunduk, layaknya bocah ingusan yang dimarahi ibu.
"Bukan cuma demi Lily, tapi ini juga demi kesehatan Pak Bima sendiri. Memangnya profesor tidak bisa baca? 'Merokok membunuhmu'..."
Ingatan soal semalam itu, hadir. Mengusik pikiran ku. Sendu, dan malu-malu, begitulah rasanya.
Aku terdiam lama, memikirkan bagaimana sebuah korek api mampu meningkatkan dunia yang sudah berlalu. Hingga Mas Andrean menarik lenganku, membangunkan aku dari lamunan.
"Mbak sedang mikir apa, coba?" Katanya dengan seringai ramah. "Dari tadi kupanggil cuma diam melamun saja."
Dia menarikkan kursi, dan membantu ku duduk di sana.
"Aku belikan sarapan untuk Mbak Julia."
Begitu lamanya aku melamun, sampai tidak ketahuan Mas Andrean menyiapkan bingkisannya di meja secepat itu.
"Aku pikir Mbak Julia mungkin sudah bosan dengan menu yang itu-itu saja. Tapi, masalahnya aku tak tahu yang jadi seleranya Mbak Julia itu apa." Jelasnya dengan singkat seperti tengah berpresentasi di depan civitas akademika. "Jadi, aku belikan ayam bakar. Semoga suka ya!"
"Ayam bakar?"
"Iya, kenapa Mbak?" Mas Andrean menatapku. "Tidak suka ya Mbak?"
Ternyata bukan cuma korek api yang mengingatkan aku pada Pak Bima. Tapi, bahkan sepiring ayam bakar pun demikian. Ini menu yang semalam dibelikan Pak Bima untukku. Ahhhhhh!
"Bukan, Mas." Jawabku. "Saya tidak pilih-pilih makanan kok Mas."
"Syukurlah. Kalau begitu kenapa diam saja?"
"Ayo dimakan Mbak, belum sarapan kan?" Lanjutnya.
Ini memang bukan kali pertama Mas Andrean bersikap baik begini padaku. Hampir setiap hari, dia mentraktir ku makanan seperti ini. Membantu sih, terlebih untukku yang harus selalu berhemat. Dan aku yakin Mas Andrean peka tentang itu.
"Terima kasih, ya Mas."
Kuambil bagianku, dan makan ditemani dia.
"Mbak,"
Aku lantas mendongak begitu kudengar Mas Andrean memanggilku. Kupandangi dia dengan sorot seolah bertanya.
"Soal Pak Bima tadi, aku minta maaf ya Mbak. Tapi, jujur aku kesal lihatnya."
Kutelan makananku kasar, "Kesal? Kenapa Mas?"
"Bukan apa-apa kok, Mbak." Dia tersenyum. "Cuma aku agak terganggu dengan caranya membiarkan anak bertingkah berlebihan. Aku kesal dia santai saja saat anaknya panggil kamu 'Mama'."
"Mas Andre masih permasalahkan soal itu?" Aku menyela omongannya sejenak, "Kan barusan sudah saya bilang Mas. Apa yang terjadi antara saya dan majikan, itu adalah kesepakatan kami berdua. Jadi, Mas tidak usah berpikir macam-macam. Terlebih, Pak Bima itu bukan lelaki sembarangan, dia orang berpendidikan."
"Tapi tetap saja, Mbak. Kamu harus hati-hati."
"Ya, Mas. Saya paham."
"Atau Mbak Julia juga menaruh perasaan ke Pak Bima seperti sebagian perempuan di kampus ini?"
Aku menatap piring makan ku, malas. Untung isinya sudah kuhabiskan. Benar-benar tak mengerti dengan ucapan Mas Andrean hari ini. Lalu, tanpa menjawab pertanyaannya kudorong kursi dan meninggalkannya ke arah wastafel.
"Mbak bisa berhenti kerja saja tidak?"
"Saya memang mau berhenti kerja, Mas."
"Berhenti kerja jadi pengasuh anaknya Pak Bima, kan Mbak?"
"Bukan, saya mau berhenti jadi petugas kebersihan di kampus ini."
"Kenapa Mbak? salahnya kampus apa sampai Mbak mau resign dari sini? seharusnya Mbak mundur jadi pengasuh anaknya Pak Bima." Dia mengulangi kalimat yang sama. "Kalau Mbak Julia berhenti dari kampus, itu artinya kita tidak bisa ketemu lagi, Mbak."
Kuhela napas berat, sungguh aku pusing dengan omongan Mas Andrean. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan, cuma yang aku tahu ini pertama kalinya dia bertingkah begini. Mas Andrean yang ku kenal bukan lelaki yang suka menjelekkan orang lain, apalagi yang ngotot memaksakan kehendaknya.
Alhamdulillah... selamat ya kk🤗
Sukses selalu