Sang penjaga portal antar dunia yang dipilih oleh kekuatan sihir dari alam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon faruq balatif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Dunia Nyata
Setelah melalui lorong dimensi yang gelap dan mencekam, Evlin akhirnya tiba di dunia nyata bersama Araya dan roh-roh jahat yang berkumpul di sekelilingnya. Araya, yang setengah tersadar dari efek ritual, mulai merasakan tanah keras di bawah kakinya dan udara dunia nyata yang dingin. Namun, ketakutan lebih mendominasi daripada kelegaan. Ini bukan kebebasan yang ia bayangkan.
Evlin berdiri dengan senyum puas di bawah langit malam yang suram. Di sekeliling mereka, roh-roh jahat bergerak seperti asap hitam, mengeluarkan suara mendesis yang tak pernah terdengar di dunia manusia sebelumnya. Tanah yang mereka pijak perlahan-lahan menghitam dan mati, seolah kehidupan di tempat itu terserap oleh aura mengerikan yang dibawa oleh roh-roh jahat.
Araya berusaha mengumpulkan tenaga untuk melawan, namun tubuhnya terasa begitu lemah. Setiap kali ia mencoba bergerak, roh-roh di sekitarnya berputar cepat, mengunci tubuhnya dengan tekanan mengancam. Evlin menyadari gerakan kecil itu dan dengan dingin menatap Araya.
“Jangan melawan, Araya,” bisik Evlin, suaranya seperti racun. “Bukankah kau mempercayaiku selama ini? Sekarang kau harus mempercayai bahwa ini adalah jalan yang benar, satu-satunya cara untuk membawa kekuatan sejati ke dunia ini.”
Mata Araya menatap penuh kebencian, namun ada kesedihan juga di sana. “Mengapa, Evlin? Apa tujuanmu sebenarnya? Bukankah kau ingin menyelamatkan dunia ini dari kehancuran?”
Evlin tertawa kecil, tawa yang seolah tak lagi manusiawi. “Oh, Araya, kau sungguh polos. Dunia ini penuh dengan kepalsuan dan kelemahan. Aku hanya ingin menggantinya dengan kekuatan yang lebih murni, kekuatan yang tak terhentikan.” Ia melangkah mendekat, tangannya terulur seakan ingin meraih wajah Araya. “Dan kau, kau adalah kunci dari semua itu. Bersamamu, aku bisa membuka portal ini lebih luas, membawa seluruh kekuatan para roh ke dunia ini.”
Perlahan, roh-roh jahat mulai memadat di sekitar mereka, membentuk dinding hitam yang menyekap Araya. Di langit, awan gelap bergerak, menciptakan pusaran yang tampak mengerikan. Hawa dingin memenuhi tempat itu, dan suara jeritan samar terdengar dari jauh, seakan-akan roh-roh jahat itu memanggil sesuatu yang lebih besar dari kegelapan.
Evlin memejamkan mata, tangannya terulur ke langit sambil mengucapkan mantra. Pusaran di langit semakin kuat, dan kilat mulai menyambar. Setiap sambaran petir membawa energi hitam yang merambat melalui tubuh Evlin, mengalir melalui Araya, dan masuk ke tanah di sekitar mereka. Perlahan-lahan, dari dalam tanah, muncul sosok-sosok roh jahat yang lebih besar—makhluk-makhluk yang selama ini tersegel di balik dimensi.
Araya yang tak berdaya mulai merasakan energi jahat itu menyatu dengannya, mencoba merasuki dirinya. Ia menjerit, mencoba mengusir kekuatan itu, tapi tubuhnya tak mampu menolak. Kegelapan itu begitu pekat, menyesakkan setiap pori tubuhnya.
Namun di dalam hatinya, Araya merasakan sesuatu yang lain. Sebuah harapan, nyala kecil yang tersisa. Ia memikirkan Vaneca, Dom, dan semua yang berjuang untuknya. Mereka pasti akan menyusulnya. Dengan segenap kekuatannya yang tersisa, Araya mencoba melawan ritual itu, menutup dirinya dari aliran energi jahat.
Evlin, yang menyadari usaha kecil Araya itu, marah dan merapalkan mantra yang lebih kuat. “Kau tak bisa menolakku, Araya. Kau adalah pembuka gerbang ini, suka atau tidak.”
Namun, di saat yang sama, dari kejauhan terdengar gema suara panggilan yang terasa jauh namun sangat jelas. Araya mengenal suara itu, suara Una dan Fran yang terus memanggilnya, berusaha menyadarkannya dari pingsan.
Araya tiba-tiba tersentak sadar, kini berada di tempat yang berbeda. Dia bingung karena yang ada di hadapannya adalah teman-temannya. Ia tak mampu mencerna apa yang terjadi dan hanya berkata, “Di mana aku? Kenapa aku bisa ada di sini?” Suaranya serak dan penuh ketakutan.
“Kau terjatuh dari kapal dan hanyut di sungai. Kami dibantu oleh Pak Mur, warga sini, untuk mencarimu menyusuri sepanjang aliran sungai,” ucap Fran dengan senyum gembira, senang melihat Araya sudah sadar.
“Kami kira kau sudah mati,” lanjut Una sambil menangis haru. “Kami menemukan tubuhmu tanpa pakaian di tumpukan daun dan ranting. Pak Mur yang melihat sesuatu yang aneh karena ada begitu banyak kupu-kupu menghinggapi tumpukan ranting itu, langsung menepikan perahunya. Dan kami menemukanmu tergeletak di situ.”
Araya mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa tak berdaya dan begitu lemas. Mereka memberinya minum dan berusaha membantunya duduk bersandar. Araya memegang tangan Una, merasakan keadaan di sekelilingnya. Ia masih tak percaya kalau yang ia alami selama ini adalah mimpi. “Tetapi, ini sangat nyata,” gumamnya dalam hati.
Araya, yang masih ingat akan semua detail yang ia alami, sadar akan kalung miliknya dan kemudian menggenggamnya. “Ibu, apakah semua itu nyata?” ucapnya dalam hati sambil memejamkan mata.
Seolah mampu menggunakan kekuatannya, pandangan Araya menembus dimensi dan melihat jelas pertarungan yang sedang dihadapi Vaneca dan lainnya. Kemudian terdengar suara samar yang tak asing baginya.
“Kau adalah pemilik kuasa atas portal antar dimensi. Kau adalah anakku,” suara Viline muncul, menjadi penegas bahwa ia tidak sedang bermimpi.
Araya membuka matanya dan mulai memikirkan apa yang harus ia lakukan. Kini, dia yakin bahwa semua ini nyata. Ia hanya perlu mencari cara menggunakan kekuatannya. Dengan suara yang masih serak dan tubuh yang lemah, ia meminta bantuan Una dan Fran, mencoba mencari informasi tentang dunia sihir.
Araya tidak menjelaskan apa yang ia alami kepada kedua temannya itu. Dia yakin mereka tidak akan percaya, maka ia hanya berusaha segera pulang untuk bertemu dan bertanya pada neneknya di rumah.
Disisi lain, Evlin sangat terkejut karena Araya menghilang secara tiba-tiba. Evlin berteriak marah, dengan perasaan bingung. Menduga bawha ada yang melakukan sesuatu terhadap jasad Araya hingga mebuat jiwanya terpanggil kembali kedalam raganya. Namun, senyum dan tawa jahat Evlin kembali, karena dia yakin bahwa rencana jahatnya tetap akan berjalan walaupun tanpa Araya.