NovelToon NovelToon
BANGSAL 13

BANGSAL 13

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: bobafc

Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rumah Sakit Tirtonegoro

Saat ini, mereka terjebak dalam suasana mencekam di rumah sakit milik Dokter Lista, tempat yang seharusnya menjadi arena praktik bagi mahasiswa keperawatan. Namun, bukan hanya alat-alat medis dan ruangan berwarna putih yang menyita perhatian, melainkan juga keberadaan makhluk tak kasat mata yang sering kali mengganggu Agvia. Beberapa kali, ia merasakan embusan angin dingin menyapu kulitnya, disertai suara binatang malam yang menggaung, menciptakan atmosfer yang semakin menakutkan. Ketakutan Agvia kian mendalam, hingga di suatu titik, ketegangan itu membuatnya kehilangan kontrol—kencing di celana.

Tawa Kusuma yang tak tertahan terlepas begitu saja, seakan tak ada kejadian menyeramkan yang terjadi. Setelah menyelesaikan tugas membersihkan koridor yang basah bukan karena hujan, mereka berdua melanjutkan langkah menuju tempat Bilqis berada.

"Kusuma, antar aku ke rumah Suci, ya!" pinta Agvia, melingkarkan kedua tangannya di lengan Kusuma dengan wajah memelas. Dalam keraguannya, Kusuma hanya mengangguk, tanpa kata, sambil berusaha menenangkan diri.

Langkah demi langkah mereka telusuri dengan hati-hati.

Dalam hening, Kusuma teringat akan kejadian yang menimpanya sore tadi. "Agvia, kamu ingat tadi sore? Ketika aku terpisah dari kalian?" tanyanya, suaranya perlahan.

Agvia mengangguk, "Iya, aku ingat. Kenapa? Ada yang aneh, kan?"

Kusuma menggigit bibir, mencoba mengontrol ketakutannya. "Sore tadi, aku mendengar suara tawa menggema di seluruh ruangan. Ruangan itu bercat putih dan terasa sangat angker," katanya, matanya melirik ke arah sudut ruangan.

"Ah, jangan bilang kamu juga melihat sesuatu yang menakutkan?" Agvia menatapnya dengan cemas.

"Ya.. aku melihat lima orang di dalam ruangan itu. Dua di antaranya adalah tentara Jepang, dan mereka sedang mengeksekusi satu keluarga Belanda," ujar Kusuma, suaranya bergetar.

Agvia terdiam, menggenggam lengan Kusuma lebih erat. "Apa kamu yakin itu bukan cuma halusinasi?" tanyanya ragu.

Kusuma menggeleng. "Aku melihat mereka terikat di ranjang, ada seorang pria paruh baya, wanita yang sepertinya istrinya, dan seorang gadis kecil cantik. Semua terlihat sangat ketakutan."

“Kaki dan tangan gadis itu terikat oleh tali dengan simpul mati yang sangat kuat. Di hadapannya, wajah para tentara tampak bengis, seakan mereka sedang menikmati pemandangan yang mengerikan. Dengan santai, mereka memotong dan menyayat tubuh yang sudah tergeletak tak bernyawa, kecuali untuk gadis kecil yang terjebak dalam kengerian ini. Ia meronta dan berjuang keras untuk melepaskan diri, namun jeritan pilu dan rintihan kesakitannya sama sekali tak mendapat perhatian dari para pelaku kekejaman tersebut.” Ujar Kusuma.

Dari sudut ruangan, Kusuma melanjutkan ceritanya, menyalurkan semua rasa takut dan empatinya. Di sampingku Kusuma, terdapat Agvia menyimak setiap kata yang terucap dengan penuh perhatian, tidak ingin melewatkan satu pun detail.

“Lalu bagaimana?” tanyanya, wajahnya penuh rasa ingin tahu.

Kusuma menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Gadis itu berteriak, meminta mereka berhenti memotong tubuh kedua orang tuanya. Suaranya begitu lantang, bahkan urat di lehernya terlihat menegang ketika ia mengeluarkan suara sekuat tenaga.”

Kusuma melanjutkan, “Salah satu tentara, yang bertubuh tinggi, mendekatinya dan berkata, 'Tenanglah, Sayang. Kau akan mendapat bagian!' Sambil mengatakan itu, ia menggigit bibir gadis itu hingga mengeluarkan darah, menciptakan lukisan luka yang tak terhapuskan di wajahnya.”

Kusuma melanjutkan ceritanya, mengabaikan rasa mual yang mulai menyergap. “Gadis itu meronta, meraung menahan sakit. Rintihan pedihnya keluar dari mulut mungilnya, seiring air mata yang mengalir deras di setiap lekuk pipinya. Sakit fisik itu begitu nyata, tetapi sakit di hati yang melihat orang tua terbunuh tepat di depan matanya jauh lebih mendalam. Keadaan terikat membuatnya tak berdaya.”

Agvia, terhanyut dalam cerita itu, menahan napas ketika Kusuma mengungkapkan bagian berikutnya. “Tentara berkepala botak bertanya, 'Apa ini sudah cukup kecil?' sambil mengibaskan potongan daging berlumuran darah merah segar. Rekannya yang lain hanya mengangguk, tersenyum miring, dan melanjutkan aktivitas mengoyak bagian perut tanpa rasa jijik.”

Kusuma merasakan mual, “Aku meringis, menahan sesuatu agar tidak keluar. Mata ini membulat sempurna saat kapak jagal memenggal kepala gadis itu. Darah muncrat ke segala arah, disertai gelak tawa bahagia dari kedua tentara. Dalam hati, aku mengutuk, ingin membalas semua ini, tetapi tubuhku seolah terkunci.”

Kusuma menggenggam tangan Agvia, merasakan ketakutan yang menyelimuti dirinya. “Saat satu delikan tajam dari tentara berkepala botak mengarah padaku, tubuhku gemetar. Keringat dingin mengucur deras di setiap lekuk wajahku. Dia mendekat, mengayunkan kapak… Namun, satu teriakan nyaring berhasil membawaku kembali ke kenyataan. Meski selamat, jantungku berdetak sangat cepat, seolah mengingatkan betapa dekatnya aku dengan kengerian itu.”

"Kusuma, kamu kenapa?" tanya Agvia, mencubit pipi Kusuma untuk menyadarkannya dari lamunan.

Kusuma yang terhenyak oleh kenangan mengerikan sore tadi, akhirnya tersadar. Ternyata, sedari tadi ia hanya terkurung dalam pikirannya, tidak menceritakan semua yang dialaminya pada Agvia. Di luar, dari koridor rumah sakit, terlihat cahaya lampu mobil memasuki pelataran, membelah gelap malam. Kusuma melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya; jarum menunjukkan pukul sembilan malam.

"Agvia, nggak usah ganti celana dulu! Sebentar lagi jam kerja kita selesai," ucapnya, berusaha mengalihkan perhatian dari rasa tidak nyaman yang menggelayuti Agvia.

Agvia hanya terdiam, merasa risih dan malu karena celananya masih basah. “Diam dulu, Kusuma! Lihat Bilqis, tidak biasanya dia bertingkah seperti itu. Gadis tomboy itu ternyata bisa manis juga di depan laki-laki,” sindirnya, sambil menatap sepupunya yang tampak centil di hadapan pria tampan yang baru mereka lihat.

Kusuma menarik tangan Agvia, “Ayo, beres-beres, terus kita balik ke kamar.”

Di sudut, Bilqis asyik berbicara dan tertawa terbahak-bahak, melihat celana Agvia yang basah. “C’mon, Agvia, kamu ini,” ucap Bilqis sambil menahan tawa. Agvia, merah padam karena malu, akhirnya menceritakan kejadian yang menimpanya tadi.

Tiba-tiba, seorang pria datang dengan mobil yang diparkirkan di halaman. Pria itu adalah Shaka Buana, sosok yang sangat dicintai Bilqis. Jangkung dan tampan, Shaka berdiri cemas di lobi, menanti kesempatan untuk berbicara dengan Bilqis. Sebagai dokter muda yang baru menyelesaikan spesialisasi kandungan, ia terpaksa harus bermalam di rumah sakit untuk menemui Dokter Lista, pemilik rumah sakit.

“Bilqis, Agvia, kalau mau, aku bisa tinggal di sini sebentar, hanya untuk menemani kalian,” tawarnya, dengan nada lembut.

Bilqis bersorak. “Eh, tidur sekamar dengan Agvia saja,” saran Bilqis, bersemangat.

Kusuma yang sedang sibuk membereskan berkas, sesekali melirik Shaka. Pandangannya bukan karena terpesona oleh ketampanannya, tetapi karena ia melihat sosok perempuan berwajah buruk rupa yang mengikutinya, seakan menempel.

Di rumah Suci, Kusuma dan Bilqis segera tidur untuk melepas lelah, sementara Shaka dan Agvia masih saling bercengkerama di dalam kamar.

“Dok, nanti kalau saya wisuda dan sudah mendapatkan surat izin kerja, boleh ya, Dok, melamar kerja di sana?” tanya Agvia dengan semangat, matanya berbinar penuh harapan.

Shaka hanya tersenyum, mengacungkan ibu jari dan jari telunjuknya yang rapat hingga membentuk simbol 'ok'. Melihat hal itu, Agvia merasa lega. Dia senang bisa mendapatkan teman sekamar yang menghibur di tengah kekacauan pikirannya. Di sisi lain, Shaka hanya berbaring di ranjang dengan gelisah, pikiran melayang-layang sebelum ia tiba di Tirtonegoro, tempat di mana banyak harapan dan ketakutan menanti.

**

Sebagai seorang dokter spesialis kandungan, Shaka setiap hari disibukkan dengan keluhan pasien yang datang hampir setiap jam. Namun, bukan hal itu yang membuatnya cemas. Ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya, seolah bayang-bayang yang tak ingin pergi. Keringat menetes dari dahinya, menunjukkan betapa seriusnya ia memikirkan masalah yang menggerogoti hatinya.

“Git, aku tinggal dulu selama dua hari. Aku ingin keluar kota. Ada dinas soalnya. Kamu enggak apa-apa kan?” tanya Shaka kepada asistennya dengan nada yang sedikit terbata, seakan berat untuk meninggalkan rutinitas.

“Baik, Dok!” jawab Git, sang asisten, dengan suara ceria yang berusaha menghapus kekhawatiran Shaka.

Segera, Shaka melangkah pergi dari ruangannya, memasuki mobil pribadinya. Namun, ada sesuatu yang tak tenang di dalam hatinya, seperti ada sesuatu yang buruk mengintai. Pikiran-pikiran negatif berputar dalam benaknya, membuatnya semakin gelisah.

Dengan membawa pakaian seadanya, Shaka menyalakan mesin mobilnya. Tangan kanannya meraih secarik kertas yang bertuliskan Rumah Sakit Tirtonegoro beserta alamat lengkapnya. Ia membaca ulang, mencoba meyakinkan diri.

“Apa benar ini alamatnya, ya? Sudahlah, daripada aku terus-menerus seperti ini,” gumamnya pelan, menghela napas panjang untuk mengusir rasa cemas yang menggerogoti.

Sinar matahari mulai meredup, mengingatkannya bahwa waktu tidak menunggu siapa pun. Jalanan gelap seiring bertambahnya malam, dikelilingi pepohonan yang berdiri tegak di pinggiran, seakan-akan menyapa setiap kendaraan yang melintas. Namun, tiba-tiba sebuah kain putih terbang melintas, membuat Shaka menghentikan mobilnya secara refleks.

'Ku datang... membawa duka mendalam, heningnya malam mencekam....'

Lagu tembang kenangan mendadak terdengar dari radio mobilnya, mengalun lembut di antara keheningan malam.

Ingin rasanya sang dokter berteriak, melepaskan semua ketegangan yang terakumulasi di dadanya. Namun, ia tetap berusaha tenang, berpegang pada kendali saat kembali melajukan mobilnya. Belum selesai mengatasi gangguan dalam pikirannya, ia menekan tombol untuk mematikan radio, berharap kesunyian akan membantunya fokus. Namun, saat itu juga, pria berhidung mancung itu mendengar suara ketukan yang pelan, tetapi jelas, dari belakang—seperti ada seseorang yang mengetuk jendela kaca mobilnya.

Spontan, hawa dingin menjalar di punggung hingga ke lehernya, merambat menelusuri tulang belakangnya. Ingin rasanya melihat ke belakang, tetapi rasa takut yang membelit hatinya mengurungkan niatnya. Dengan tangan gemetar, sang dokter menatap cermin yang menggantung di depannya. Secara perlahan, ia mencoba mencari tahu apa yang ada di belakangnya. Namun, hanya kursi kosong yang gelap terlihat, tanpa satu pun kendaraan lain yang mengikuti.

“Kamu tidak sendirian..”

Bisikan itu muncul, jelas dan memecah keheningan malam yang pekat. Suara itu seperti cahaya yang menerobos kegelapan, menambah ketegangan dalam dirinya. Shaka mulai merasakan panik merayap ke dalam jiwanya, membuatnya mempercepat laju kendaraannya. Suara-suara aneh mulai bermunculan, mulai dari tawa kecil yang menggigit, hingga rintihan dan tangisan yang menggerogoti ketenangan malam, menambah rasa takut yang sudah mengakar.

“Diam... aku bilang, diam! Kau tidak lihat aku sedang menyetir!” seru sang dokter, suaranya bergetar, berusaha melawan rasa takutnya yang terus menerus mengintai. Perjalanan yang terasa amat panjang, bagaikan terowongan yang tak berujung, membuatnya meracau seperti orang gila, berusaha menenangkan pikirannya yang kalut.

Hingga tak lama setelah itu, sebuah rumah sakit bergaya kolonial Belanda tampak di kejauhan, berdiri anggun di lereng gunung, dikelilingi kegelapan malam.

“Akhirnya sampai juga,” ucapnya pelan, dengan napas lega. Namun, rasa syukur itu bercampur rasa was-was, seakan tempat itu menyimpan banyak rahasia yang tak ingin terungkap.

1
marshmello
wagelaseh!
Kayla Callista
keren Thor
Wina Yuliani
kerennnnn bikin tegàng & bikin ikutan ngeden berasa mau lahiran lagi 🤗
Beatrix
cerita favoritku, cuma pengen terus membacanya thor!
Shinichi Kudo
Buatku melek sepanjang malam.
Desi Natalia
Pokoknya 10 of 10 banget deh, mantap author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!